5

746 104 12
                                    

Tidak ada yang lebih enak dibandingkan dengan menghisap rokok. Menghisapnya dalam-dalam memenuhi paru-paru, menghembuskannya ke udara dengan rasa yang nikmat, ditemani suara keramaian kota Bronx. "Kamu disini?" Eloise yang datang mengahampiri, duduk disampingku. Menatap gedung-gedung bertingkat di sore hari yang ramai. 

Aku menawarkan rokok untuknya. "Tidak." Senyumnya. Dia adalah Eloise. Temanku dan sekaligus tetangga. Aku mengenalinya saat kami satu tempat rehabilitasi dan juga memiliki dokter yang sama. Sayangnya, aku harus rutin  sekali ke dokter, sedangkan Eloise sudah tidak. 

Aku tatap wajahnya yang memiliki rambut ash blonde hair color . "Bagaimana harimu, Am?" dia menatap, mata coklatnya yang berwarna indah. Ku palingkan wajah,  menghisap rokok dan menghembuskanya, memohon agar kepulan asap membawa semua masalahku. 

"Begitulah, membosankan." Dia mengangguk mengerti. "Ya, aku rasa hari ini tidak ada aduan terhadap penjaga gedung prihal suara kalian," senyumnya.

Aku tersenyum pahit. Cukup menyedihkan mendengarnya. Risiko tinggal di apartemen murah dengan keluarga yang berantakan. "Aku harap, suaraku tak menganggu tidurmu." 

Eloise tersenyum mengayunkan kedua kakinya seperti anak kecil, "Terkadang kalian menjadi alaramku saat tidur." Ya, dia sedikit memiliki selera humor yang baik. Aku kembali menghisap rokok dengan suara-suara keributan kota yang tak pernah diam. Kami berdua berada diatap gedung dengan menikmati pemandangan sore hari. 

"Amber," 

"Ya," Jawabku singkat.

Aku bisa merasakan Eloise menatapku. Jarak kami hanya sejengkal tangan saja, aroma tubuhnya lembut. "Tadi aku bertemu dengan Krystal," mata ini langsung menatapnya. Ntah mengapa begitu cepat. 

Eloise tersenyum, senyuman yang manis. "Dia bertanya mengenaimu." Kami berdua saling bertatapan. "Apa?" tanyaku singkat. Wanita itu, wanita bermata biru. Sebiru lautan, begitu tenang, begitu mematikan. Wajahnya yang menyebalkan, senyumnya, bahkan suaranya. Aku benci itu! 

"Dia bertanya, mengapa sudah dua hari ini kamu tidak sekolah?" Aku terdiam sejenak. Kembali menghisap rokok yang sudah hampir habis. 

Untuk apa dia bertanya seperti itu? tahu darimana aku tak masuk sekolah selama dua hari? apa yang dia lakukan, apa yang dia inginkan? "Aku rasa kamu cukup akrab denganya." Akrab? justru aku ingin mengusirnya dari kepalaku! ingin mencabik-cabik wajahnya dari isi kepalaku. 

Eloise berkata, "Aku tidak tahu kamu berteman dengan Krystal." Tidak, tentu tidak. Ingin sekali rasanya meneguk segelas bir penuh. "Aku tidak berteman dengannya, Eloise." Ku buang puntung rokok dan mengambil rokok yang baru. Akan tetapi, Eloise memegang tanganku yang hendak mengambil sebatang rokok lagi. "Sudah cukup, Am. Apa kamu tidak mementingkan kesehatanmu?" Eloise menatap dengan tatapan yang lembut. Aku tak bisa menatap mata seseorang terlalu lama. Baiklah, itu rokok terkahir untuk sore ini.

"Aku pikir kamu berteman dengan krystal, setidaknya kamu memiliki teman di sekolah," ucap Eloise dengan senyum manisnya.

Aku hanya tersenyum kecut,  aku tidak ingin mengenal mereka. Aku tidak butuh mereka.

Eloise menatap dengan tatapan penuh harapan, penuh keyakinan saat dia mengatakan, "Aku ingin kamu benar-benar berhenti minum, klub malam, Am. Apakah-"

Amber mendengus. "Stop. Aku sedang tidak ingin membicarakan hal itu. Sungguh, aku tidak butuh ceramahmu, Eloise. Aku sudah sangat bosan mendengarnya." Jantungku berdebar, aku merasa marah, marah dengan cepat. Tidak ada yang bisa mengatur kehidupanku, termasuk Eloise. 

Eloise kembali memegang tanganku. Berusaha menenangkan monster yang mulai bangkit di dalam dada. "Amber, jika kamu ada masalah---" ku tepis tangannya. Aku menatap wajahnya yang tak lagi tersenyum. "Jangan ikut campur urusanku, Eloise. Biarkan ini menjadi urusanku. Aku bisa mengatasi masalahku sendiri."

The Night We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang