8

599 87 8
                                    

Malam ini terasa cerah, bertabur bintang yang menjadi lukisan malam. Suara-suara keramaian masih terdengar dengan sederet lampu jalanan kota. Aku suka malam hari, lebih tenang, lebih hikmat, lebih cantik dari pagi, siang dan sore. Malam memiliki waktu yang panjang menyelimuti langit dengan kegelapan, membuat hatiku tenang. Membuat langit hitam menggoreskan kuas bintang dan bulan yang berkelip. 

"Apa yang kamu lihat di langit sana?" Suaranya membangunkan lamunan. Dia berdiri tak jauh dariku. Matanya seterang bintang, wajahnya indah seperti. "Mystic Mountain." ucapku begitu saja. Krystal menatap heran dengan melipat kedua tangan di dada, kini dia memilih duduk di bangku plastik berwarna coklat menatapku bingung. "Apa itu? semacam makanan?"

"Tidak."

"Lalu?" 

Krystal menunggu jawaban dengan wajah penasaran. "Sedikit rumit dan aku yakin kamu tidak akan mengerti." Aku duduk tak jauh darinya, duduk di pipa panjang yang tebal. "Jelaskan saja." Nadanya terkesan dingin dan penuh perintah. Baiklah, jika itu mau dia. "Mystic Mountain, merupakan salah satu keindahan alam semesta disana." Krystal menatap jariku yang menunjuk langit malam. "Merupakan aktivitas bintang berenergi tinggi di dalam Nebula Carina yang lebih besar. Terlempar dari jet akresi khas bintang yang dilahirkan. Semua aktivitas memakan-"

"Hufhh bisa kamu singkat saja, zombie?" Wajah Krystal mulai bosan. Memainkan kakinya yang dilipat. Aku mendekatinya, menjelaskan seperti di dalam diskusi kelompok Astronomi dengan gestur tangan. "Singkatnya, atau mudahnya untuk masuk ke dalam otak kecilmu adalah seperti lukisan alam semesta dengan mencampurkan warna dari elmen yang berbeda, seperti oksigen dengan warna biru, hidrogen dan nitrogen dengan warna hijau dan sulfur dengan warna merah. Aku harap kamu bisa membayangkan betapa cantiknya salah satu karya alam semesta." Krystal tak mengedipkan mata. Dia masih bingung, atau sedang membayangkan.

Aku memasukan kedua tangan ke dalam kantong celana dan menatap. "Bisakah kamu bayangkan?" Dia terdiam. "Sulit, mungkin kamu bisa menunjukanya padakku. Aku lihat kamu memiliki teleskop atau tropong atau apalah aku tidak mengerti." 

Hmmh. "Tidak bisa. Kita butuh ke markas NASA untuk bisa melihatnya." Punggung Krystal tak lagi tegap, dia berdiri menuju teleskop dengan hentakan sepatu. "Bolehkah aku..."

"Tidak." Dia sedikit terkejut. Aku jauhkan teleskop milik ibu darinya. Tidak ingin dirusak dan disentuh, walaupun wajahnya mengisyaratkan tak suka dan merasa bingung. "Kamu tidak boleh memakai atau menyentuhnya. Ini adalah barang berharga yang tidak boleh disentuh oleh siapapun." Ucapku sembari merapihkan teleskop, memasukan ke dalam sebuah tas besar. Krystal berdiri di belakang. Aku tahu dia merasa kesal, tetapi aku tidak peduli. 

Krystal melipat kedua tangan di dada, gaya khasnya sembari "Kamu benar-benar aneh." ucapnya lirih. "Terima kasih." Krystal berjalan menjauhi. "Apa ini botolmu?" 

"Ya." Dan dia segera meminum. Duduk kembali di kursi plastik coklat. "Kamu punya rokok?" tidak. Aku hanya menatapnya saja, dan tentu dia kesal. "Menyebalkan sekali."

"Aku pikir kamu sedang bersenang-senang di acara musik." Krystal terlihat kesal. Kembali meneguk Vodka. "Acara sialan!" umpatnya. Baiklah, sepertinya ada yang sedang tidak senang. "Jadi..." Kedua matanya menatapku, yang duduk tak jauh darinya. Suasana malam semakin menyenangkan saja. "Jadi acaranya sudah selesai, atau kamu harus datang ke acara yang lebih keren daripada acara musik itu?" Oke baiklah, kini tatapan kedua mata Krystal setingkat lebih dingin. Aku harap botol ditangan Krystal tak memukul kepalaku.

Krystal meneguk minuman, memperlihatkan leher yang putih dengan rambut panjang bergelombang terurai indah. "Dasar pria brengsek!" Krystal terlihat kesal dan marah, terlihat dari cengkraman jari tangan di botol. Krystal menundukan kepala. "Ya, aku setuju, Semua pria memang brengsek." Dia tetap diam, masih menundukan kepala.

The Night We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang