9

565 87 14
                                    

Tidak banyak baju di lemariku. Tidak seperti lemari Jules yang hampir meledak karena kepenuhan baju-baju miliknya. Cuaca pagi ini cukup dingin, sebaiknya aku kombinasi kemeja flanel berwarna hitam putih dan abu-abu dengan hoodie berwarna hitam. Celana jeans sobek pada bagian dengkul. Serta sepatu Converse All Star yang sudah bertahun-tahun tidak dicuci.

Pintu kamar terbuka. Disambut dengan aroma roti panggang dan telur yang dicampur keju dan susu. Elena sedang memasak sesuatu, dan aku duduk disamping Jules yang terlihat rapih dan gayanya yang berkelas. Jujur saja, Jules memang terlahir memiliki gaya dan wajah anak kaya raya. Sedikit menyedihkan melihatnya berakhir di tempat seperti ini. "Berhentilah menatapku," ucap Jules sembari mengoles roti dengan sisa-sisa selai Nutella.

Elena masih sibuk memasak. "Pakailah pakaian hangat. Diluar sana cuaca mulai dingin." Elena membawa dua mangkuk sup hangat untuk diriku dan Jules. "Makanlah sebelum kalian berdua berangkat sekolah," senyum Elena. Yang tumben sekali terlihat ceria. "Ada apa dengan ibumu?" Jules mengaduk-aduk isi mangkuk. Terlihat tidak tertarik. "Tidak tahu, tanya sendiri." Balas Jules dingin. "Jika aku bertanya pada Elena, urusanya akan panjang."

Jules menghela nafas. Seperti sesak di dalam dada Jules. Ntah karena memang sesak atau karena ruang makan kami yang terlalu kecil. Aku tidak bisa membayangkan jika ada satu orang lagi berada di ruang makan ini, pastinya akan sulit bernapas. "Makan saja, Amber. Jangan banyak bicara. Cepat habiskan." Apa dia memberikan perintah padaku? baiklah, aku akan memakan sup Elena yang kuharap tak ada racun.

Aku tidak tahu, tapi saat ini aku sedang menunggu Jules yang sedang berpelukan dengan Elena di dalam. Sedangkan aku menarik tas ransel dan tak sabar untuk menghidupkan sebatang rokok. "Jaga kesehatan kalian berdua." Jules tersenyum, berjalan lebih dulu. "Jangan nakal di sekolah, Amber," ucap Elena, nada suaranya terdengar menggoda. Dan itu terlihat aneh.

Yap, cuaca pagi ini cukup dingin. Orang-orang sudah mulai terlihat sibuk, ada yang berjalan sembari menelfon, ada yang sambil minum kopi, ada yang sedih, marah dan banyak sekali macam-macam orang di New York yang setiap waktunya selalu melihat orang-orang baru. Terkadang, aku ingin tinggal di kota kecil, bersepeda sembari melihat-lihat kebun hijau yang akan panen jeruk.

Kereta mulai berjalan. ku dengarkan musik melalui earphone yang sudah agak rusak. Tak begitu banyak orang di dalam kereta, tetapi aku heran dengan seorang pria yang memakai jas biru tua berkepala botak duduk begitu dekat dengan Jules. Gaya berpakaian Jules tidak begitu terbuka, terlihat santai namun elegan. Tetapi, aku harus merubah pikiran. Bahwa, lelaki itu pikirannya memang brengsek. Mau dia berpakaian rapih, tertutup atau telanjang sekalipun, jika lelaki itu tidak cabul maka dia takkan mau melakukan hal yang menjijikan seperti yang aku lihat di depan mataku saat ini. Kecuali laki-laki itu memiliki kelainan yang sering memperlihatkan kelaminya.

Earphone tak lagi berada di kedua telinga, menatap seorang pria yang membuatku sedikit memanas. "Jauhkan tangan brengsekmu itu dari dia, kalau kamu tidak mau, kupatahkan sekarang juga tanganmu itu." Jules dan pria itu mendongak. Si pria tersenyum, semakin membuat Jules tak nyaman. "Apa urusanmu? aku hanya duduk disamping wanita manis ini. Dan sepertinya dia tidak masalah." senyumnya nakal.

Wajah Jules terlihat tak nyaman, dia ingin marah tetapi dia memilih diam karena pria disampingnya justru akan menunduh Jules, dan orang-orang takkan ada yang peduli. Tetapi aku peduli, "Bangun dari dudukmu, atau akan aku hancurkan wajahmu yang tidak seberapa itu. Silahkan laporkan pada polisi, karena jujur saja, polisi sudah muak melihat wajahku." Pria itu terdiam. "Aku sedang tidak main-main, angkat kaki dari sini sebelum aku marah dan mengelurkan kepalamu dari kereta saat kereta berjalan." Pria itu menatap Jules dan aku, kemudian dia pergi dengan wajah yang kesal, dan takut setengah mati.

Bahu Jules melemas serta kepala yang langsung tertunduk lemas. "Seharusnya kamu bisa menampar wajahnya. Aku tidak tahu jika kamu hanya berani menamparku saja." Kini aku duduk disamping Jules yang terlihat begitu lega karena pria brengsek itu tidak lagi memegang tubuhnya. "Terkadang, ada sesuatu yang tidak bisa kita lakukan." Suara Jules selalu terdengar lembut, seperti bernyanyi. Setiap kalimat yang dia ucapkan terdengar jelas.

The Night We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang