7

641 87 8
                                    

Pagi ini cukup cerah dan hangat. Aroma sekolah ini benar-benar kubenci. Aku harap baunya tak menempel di pakaianku. Sebatang rokok sepertinya cukup untuk meredakan sedikit rasa kesal karena menunggu tuan putri cantik tak kunjung datang. Hembusan asap rokok mengepul di udara. Disini sepi, hanya lapangan yang tak terpakai, rumput-rumput liar yang kuharap tak ada ular yang mematok kakiku saat berdiri menunggu Jules Isaias. 

Hembusan asap kembali mengepul dan hilang digantikan wajahnya. Wajahnya yang disukai banyak lelaki tampan, idaman para pria yang siap bertekuk lutut di depannya. Pria-pria bodoh yang tak tahu siapa yang mereka puja. 

Wajahnya selalu seperti itu saat melihatku. Tak ada goresan senyum, tak mengedipkan mata yang memiliki bola mata coklat hazel, rambut sehitam langit angkasa, jalan dengan dagu terangkat seakan aku harus membungkuk padanya. Kini, dia berhenti di depanku, yang sepertinya menahan agar tidak menampar. 

Bibir kemerahan yang siap mengeluarkan kalimat tajam. "Sekolah kemarin menelfon, dan kamu tidak sekolah. Lalu, kemana saja kamu Amber?" Suaranya tenang, namun tajam. 

Bibirku terasa kering saat berhadapan denganya. "Mencari hiburan." Wajahnya tambah kesal. Alisnya terangkat sebelah dengan cepat. "Hiburan bersama temanmu? Ken? kau ingin menghancurkan dirimu lagi? aku dan ibu?" Hufhh lagi dan lagi. Selalu seperti ini. 

"Aku bukan akan kecil. Dan aku sudah cukup muak dengan kalimat yang hampir setiap hari ku dengar darimu, Jules." Dia menarik sudut bibirnya. "Aku juga sudah muak memperingatkanmu, Amber. Tetapi hal ini mempengaruhi kita semua, kamu, aku dan ibu." ucap Jules dengan menatap serius. 

Lucu sekali Jules ini. "Maksutmu, mempengaruhi popularitasmu di sekolah? takut aku berbuat onar, mabuk, mantan pecandu yang masih belum sembuh total, bertengkar dengan siapapun jika aku marah dan jika terdengar bahwa aku dan kamu berada di atap yang sama, maka akan mempengaruhi statusmu di sekolah dan teman-teman sialanmu itu?!" Wajahnya memerah, menahan amarah, tinggal menunggu waktu saja.

Aku berjalan mengeliling Jules, aroma tubuhnya yang manis tercium lembut di hidung. "Itu yang selalu kamu sebut keluarga? itu yang kamu sebut sebagai peduli? oh come on Jules! kamu hanya memikirkan dirimu. Mengatakan aku untuk berhenti karena kamu takut suatu hari nanti aku akan mengacau dan mengacau! membuat dirimu malu, membuat teman-teman sialanmu itu akan menjauhimu, Oh Jules Isaias murid perempuan tercantik ternyata memiliki adik tiri seorang pencundang, Jules berhati malaikat yang ternyata diam-diam tak menganggap adik tirinya ada! kamu selalu mengatakan aku egois, apa kamu tidak berkaca? Jules yang memikat, membuat semua orang selalu berkata iya padanya, semua lelaki tunduk di kakinya. Aku tahu, kamu tidak ingin kehilangan itu semua." 

Aku berhenti tepat di belakang Jules, menyeringai ke arahnya. Mendekatkan diriku hingga tercium jelas aroma tubuh Jules yang bisa kuhirup setiap hari, rambut hitam mengegelitik wajahku. Lalu aku berbisik, "Kakak tiriku, Jules Isaias. Apakah kita bisa berbicara sedekat ini di lapangan sekolah, atau mungkin jika tidak ingin ramai-ramai, kita bisa berbicara di kamarku saat ibumu pergi bekerja. Aku yakin, kamu akan menemukan kesenangan jauh lebih besar saat bersamaku dibandingkan pria-pria kayamu itu."

"PLAK!" tangan Jules bergetar, wajahnya memerah dengan mata yang mengobarkan kemarahan. "Jaga bicaramu, Amber! apa kamu tidak tahu, betapa menjijikannya dirimu!" menatap kesal.

Aku hidupkan sebatang rokok, menghisapnya. "Tamparanmu lebih kuat dari yang biasanya." senyumku yang tentu semakin membuat Jules kesal.

"Kau tidak pantas berbicara seperti itu padaku."

Hahaha dia melawak lagi. "Tidak pantas? kita ini sama, Jules. Hanya saja, kamu sedikit lebih beruntung. Jika aku tak memakai obat-obatan, aku pasti sudah dikeliling orang-orang yang siap menjilatku, teman-teman palsu yang mengeliling, berjalan layaknya orang paling hebat di sekolah ini seakan-akan pertemanan kalian begitu erat. Mana bagian yang tidak pantas? apa karena aku seorang pecandu lantas aku tak bisa bersikap seperti ini padamu?"

The Night We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang