10

723 86 11
                                    

Jarum jam menunjukan pukul 8 pagi. Krystal masih tidur seperti bayi, sementara kedua orang tua Krystal bersiap-siap menuju gereja. "Krystal bangun! kita bisa terlambat karena kamu." Ini sudah ketiga kali ibu Krystal membangunkan anak satu-satunya. Krystal menginjak lantai kamar tidur. Lantai yang berserakan dengan baju-baju, barang-barang dan lainya. "Kenapa aku harus ikut?" Krystal terlihat kesal. Dia hanya ingin tidur seharian, lelah sehabis pesta semalaman. 

"Ya Tuhan, Krystal Frost! berhentilah menatap dirimu di depan cermin. Segera pakai baju dan celana! tidak usah make-up!" Krystal menatap kesal karena kedua orang tua yang sudah siap dengan pakaian yang rapih. Kamar yang berantakan ini membuat Krystal bingung dalam memilih baju, mengingat Krystal sangatlah memperhatikan apa yang dia kenakan. Jangan bayangkan bahwa Krystal memiliki kamar yang mewah, Krystal memiliki kamar yang cukup kecil. Meja dan beberapa perlengkapan miliknya tersusun berantakan. Semakin terlihat jelas kamarnya yang seperti lubang tikus. "Krystal Frost, kita tidak punya waktu!" 

Krystal mengacak-acak rambut coklat kemerahannya. Kedua mata langsung tertuju pada jaket bomber hitam. "Krystal!" ucap sang ibu. "Ya! aku sudah selesai!" Krystal langsung memakai jaket hitam dengan kaos putih yang dia pakai tidur yang tergantung di dekat meja rias yang terlihat sederhana. Segera memakai skinny jeans, memakai lipstik, alis, dan spring water untuk terlihat lebih fresh. Krystal harus melompat-lompat sembari memakai sepatu. Bibirnya mengunyah roti dan membawa satu kaleng kola yang dia masukan ke dalam tas. 

"Huffh!" Krystal menghela nafas. Menyenderkan kepala di jok belakang mobil tuanya. "Benar-benar pagi yang luar biasa," keluh Krystal sembari menyisir rambut dengan jari. Ayah Krystal menatap dari spion. "Aku merasa heran padamu." Krystal membalas tatapan ayahnya. "Mengapa hampir setiap hari kamu harus kerja kelompok? dan kamu tidak pernah mengerjakan kelompok di rumah? kamu selalu pulang larut malam. Bahkan harus menginap, membuat ayah dan ibu khawatir." 

Krystal menggelengkan kepala, dia tidak suka pembahasan ini. "Aku sudah besar, aku bisa menjaga diriku sendiri." Suasana di dalam mobil tidak baik. "Bagaimanapun, selama ayah masih hidup. Ayah akan selalu memantau kamu. Kamu harus ingat, tidak boleh pesta, tidak boleh melakukan sex, tidak boleh dekat dengan orang yang baru saja kamu kenal dan..."

"Berhentilah bersikap menyebalkan, ayah!" Ibu Krystal memegang tangan suaminya. Untuk mengalah saja. "Dia tidak tahu bagaimana rasanya ketika dia hampir..." 

"Cukup!" Teriak Krystal marah. Kemudian memegang dadanya yang terasa nyeri. "Kamu tidak apa-apa?" tanya ibu yang terlihat sangat khawatir. "Aku tidak apa-apa. Asalkan ayah menutup mulutnya." Kesal Krystal yang langsung melihat ke arah jalanan. Tangan yang memegang jendela hingga kini pikirannya tertuju pada jaket hitam yang ia kenakan. Mengingatkan pada seseorang yang membuatnya penasaran. 

Krystal terus memandang jaket yang ia kenakan. Kembali ke masa lalu saat Amber datang untuk menolong dari tindakan buruk Karl. Ingatan saat Krystal terpaksa meminjam buku dari Amber, ingatan saat Amber memukul tiga pria di depan klub malam, dan yang paling membuat Krystal tersenyum adalah saat berbicara dengan Amber di atap apartemen. Walaupun singkat, Krystal menyukainya. Krystal menundukan kepala sembari tersenyum, melipat kedua tangan didada sembari memejamkan mata. Tersadar betapa beraninya Amber dihadapan Karl yang terlihat membusungkan dada seakan dialah penguasa jagat raya. 

Krystal berjalan di belakang orang tuanya. Gereja yang besar sudah di penuhi oleh orang-orang yang hendak berdoa. Keluarga Frost duduk di barisan kedua paling depan. Mereka berdoa dengan hikmat, tetapi Krystal tidak pernah berdoa. Krystal hanya memejamkan mata, melipat jari-jarinya dan hanya berpikir bagaimana dia bisa membeli barang-baran mewah. Kalung salib Krystal berkilap, pemberian dari ayahnya agar Tuhan selalu melindungi Krystal dimanapun dia berada.  

Keluarga kecil mereka memutuskan untuk membantu nyonya Frost membuka toko. Krystal sangar jarang mengunjungi dimana tempat sumber penghasilan keluarga mereka, Krystal lebih asyik bermain dan menghabiskan uang. Toko tidak terlalu besar, namun lengkap. Krystal menatap pantulan dirinya di kaca toko, melihat dirinya yang dia anggap menyedihkan. "Bantulah ibumu." Krystal hanya diam. Masih menatap dirinya sembari mengepal ke dua tangan. 

The Night We MetTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang