29. This is About Zara and Her Forgiveness

11 2 0
                                    

Haris mengerjapkan matanya berulang kali ketika kesadarannya kembali setelah ia tertidur dengan posisi terduduk di ruang tunggu bersama dengan Zara dan Leo yang entah kapan ada di sampingnya.

Haris memijat pangkal hidungnya ketika rasa sakit menyerang kepalanya. Tertidur setelah menangis membuat kepalanya terasa berat. Haris berdiri sambil merenggangkan otonya yang terasa kaku.

01.20 AM

Haris menghela nafas berat setelah melihat jam yang tertera di layar ponselnya yang sebentar lagi akan mati karena baterainya yang tersisa 2%.

Haris menatap pintu yang memisahkannya dengan Denira yang terbaring dengan tenang di dalam sana. Perlahan kakinya melangkah masuk ke dalam ruang inap Denira yang hanya diterangi beberapa lampu dan terasa hangat. Senyum pilu terlukis di wajah kerasnya ketika melihat seorang gadis tertidur dengan tenang dengan alat-alat rumah sakit yang memenuhi tubuh kecilnya. Haris menghela nafas sekali lagi.

"Hai," sapa Haris sambil menyentuh jemari kurus Denira yang terasa hangat.

Haris duduk di kursi dekat dengan ranjang Denira. Matanya menatap lekat ke arah wajah pucat dan tirus Denira. Semakin ia menatap dengan lekat, semakin bertambah rasa sakit yang ia rasa. Denira berubah tanpa ia sadari hingga saat ini ia menyadari betapa beratnya Denira menjalani semua ini sendiri.

"Maafin gue," ucap Haris sambil menunduk dan menahan kepalanya dengan tangan Denira yang ia angkat dengan genggamannya.

"Gue terlalu diperbudak oleh ego gue sendiri. Seharusnya malam itu gue dengerin lo, gue maafin lo, dan gue yakin semua ini pasti gak akan terjadi." cicit Haris dengan air matanya yang sudah menggenang di pelupuk matanya.

"Kenapa gue bisa setega ini sama lo? Lo salah apa? Gue kenapa?"

Haris kembali mengangkat wajahnya untuk menatap wajah Denira kembali. Senyum pilu kembali terukir diiringi air matanya yang mulai berjatuhan. Tangannya bergerak membelai puncak kepala Denira yang ia rindukan.

"Den," panggil Haris dengan suaranya yang serak.

Hening.

Haris mendekatkan wajahnya pada telinga Denira.

"Denira, i love you so much."

Cup...

Haris mengecup kening Denira lama diiringi dengan air matanya yang semakin deras. Ia tidak bisa menahan rasa sakit hatinya. Denira adalah orang yang membawanya merasakan dunia cinta dan juga pedih yang mewarnai hidupnya.

"Please, comeback. I will always waiting for you," akhir Haris sambil mengusap pipi Denira yang tirus.

Haris tersenyum pilu dan kemudian menyembunyikan wajahnya pada ranjang Denira. Air mata masih terus menerus menetes hingga ia tertidur dengan kesedihan yang mengiringinya.

Tanpa disadari oleh siapapun, sebuah air mata mengalir membasahi pelipis seorang gadis. Sebuah bisikan dari telinganya yang begitu pedih membuat rasa sakitnya kembali terasa walau ia sendiri tidak menyadarinya.

*

Seorang gadis berambut coklat cerah turun dari mobilnya dan seperti biasa mengundang perhatian orang-orang, namun kali ini yang menjadi alasan orang-orang memandanginya bukanlah karena penampilan yang selalu terlihat mewah, namun kali ini ia tampak tidak sehat dengan wajah yang pucat dan matanya yang sembab.

Zara mengabaikan tatapan orang-orang dan melangkahkan kakinya dengan mantap memasuki wilayah sekolah yang baginya sekarang terlihat menyedihkan.

"Zara!"

Tiba-tiba saja seorang gadis berambut lurus khas orang Chinese berada di sebelahnya sambil menyamai langkah kakinya dan tersenyum menyapanya. Siapa lagi kalau bukan Bianca? Orang yang ia anggap adalah temannya karena derajatnya yang ia anggap sama.

"Kenapa?" tanya gadis berkacamata bundar itu ketika menyadari keadaan Zara.

"Nothing," sahut Zara cuek.

"I know you're not okay," curiganya.

"I'm okay. Cuma gue gak enak badan aja,"

Zara tidak mungkin menjelaskan pada Bianca apa hal yang membuatnya sampai seperti ini. Tidak mungkin ia menceritakan bahwa Denira mencoba bunuh diri karenanya. Zara takut Bianca tidak mau berteman dengannya lagi karena Bianca adalah gadis baik-baik.

"Oh iya, Ra. Lo udah tau berita gak?" celetuk Bianca tiba-tiba. Mengabaikan obrolan tidak berguna mereka tadi.

"Apa?" sahut Zara lemas.

"Denira udah meninggal ya?"

Deg!

Saat itu juga Zara merasa seolah seluruh raganya hancur. Jiwanya melayang meninggalkan raganya yang terdiam bagai patung. Ini adalah kabar yang membuatnya merasa tidak bernyawa untuk pertama kalinya. Pikirannya mulai dipenuhi oleh rasa bersalah yang sangat menyakitkan yang ia buat sendiri.

"Gak." ucap Zara setelah terdiam beberapa menit.

"Zar-"

"Denira gak boleh meninggal." ucap Zara lagi sambil menoleh ke arah Bianca dengan tatapan kosongnya.

"Ini gak boleh terjadi." Zara menggeleng dengan air mata mulai berkumpul di pelupul matanya.

"Ini gak mungkin."

"Gak mungkin!"

Zara kemudian berbalik dan berlari kencang mengabaikan teriakan Bianca yang memanggil namanya.

Ia sedang kalut. Isi pikirannya hanya tentang Denira dan juga rasa bersalah yang mengusai dirinya. Zara dirangkul oleh ketakutan tak terbatas yang mengantarnya pada pikiran terburuknya.

Leo yang baru saja memarkirkan motornya melihat Zara yang berlari mendekat ke arah parkiran. Leo buru-buru turun dari motornya dan berhasil menahan bahu gadis berambut coklat itu hingga otomatis Zara berhenti berlari dan menatap Leo dengan pandangan nanar.

"Lo kenapa?" tanya Leo.

"Lepasin gue, Leo!" racau Zara sambil mencoba melepaskan diri dari cengkraman laki-laki jangkung di hadapannya.

"Lo kenapa, Zara? Apa yang salah?" Leo menggoyangkan kedua bahu Zara kuat. Berusaha menyadarkan kekacauan yang Zara perbuat.

Zara terdiam. Ia menatap Leo nanar. Sedetik kemudian ia menyandarkan kepalanya pada dada bidang Leo yang terbalut seragam sekolah dan jaket hitam favoritnya. Satu per satu air matanya berjatuhan dan lama-lama menimbulkan isak tangis yang terdengar oleh Leo. Zara merasakan kehangatan pada dirinya ketika sebuah tangan kekar memeluk dirinya. Tangis Zara semakin kuat. Zara menyembuyikan wajahnya pada dada Leo. Kepalanya mulai terasa berat, dengingan mulai terdengar. Perlahan semuanya terdengar sunyi bersamaan dengan penglihatannya yang menggelap hingga Zara terjatuh di atas pangkuan Leo.

"Zara!" panggil Leo sambil menepuk pelan pipi Zara.

"ZARA!!!" pekik Bianca dari kejauhan sambil berlari mendekat ke arah sahabatnya yang tertidur di atas pangkuan Leo.

"Zara, Zara, Zar!" panggil Bianca panik sambil menepuk pipi Zara dengan keras. "Zara kenapa?" tanya Bianca pada Leo.

Leo menggeleng sambil mengangkat tubuh Zara. "Gue bakal bawa Zara ke rumah sakit-"

"Gue ikut." potong Bianca.

"Jangan. Lo di sekolah aja. Kalau ada yang nanya tentang Zara, lo bilang aja Zara sakit."

"Tapi-"

"Please lo ngerti,"

Pada akhirnya gadis bermata sipit itu mengangguk bersamaan dengan Leo kembali menuju motornya. Perlahan Leo mendudukan Zara di jok belakang kemudian melingkar tangan gadis itu pada pinggangnya. Leo memegang erat tangan Zara, sedangkan kepalanya bertumpu pada bahu Leo.

Leo tertegun sebentar. Ada perasaan aneh yang ia rasakan. Leo melirik Zara sekejap dan ia merasakan darahnya yang berdesir. Leo tersenyum kecil sambil mengelus tangan Zara yang melingkar pada pinggangnya.

"Everything will be okay, Zara,"

*

EVANESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang