13. Ide Budhe

11 2 0
                                    

Denira menatap pintu kaca yang ada di hadapannya. Di dalam pintu kaca itu, lebih tepatnya di salah satu ruangan yang selalu menjadi tempat senyum palsunya muncul, ia akan bertemu dengan Papanya tanpa persiapan apapun. Ia sendiri tidak tau kenapa Leo mengajak kemari, alih-alih mengajaknya untuk ke tempat lain.

"Lo ngapain ngajak gue kesini?" Tanya Denira kesekian kalinya semenjak mereka memasuki area lapas tempat Papanya berada.

"Lo gak mau ketemu Papa lo?" Jawab Leo untuk kesekian kalinya dengan jawaban yang sama atas pertanyaan yang sama.

"Lo gak tau apa-apa, jadi gue mohon lo gak usah ikut campur sama masalah keluarga gue."

Leo tersenyum sambil mengacak rambut gadis di sebelahnya. Jawaban ketus Denira tidak bisa meruntuhkan niatnya lagi. Ia sudah biasa dengan kalimat Denira yang ketus dan juga tajam.

Tanpa mau mendengar pertanyaan yang sama lagi nantinya, Leo langsung menarik Denira dengan pelan masuk ke dalam lapas yang akan mempertemukan mereka dengan Papa Denira nantinya. Barulah semua pertanyaan Denira akan terjawab saat itu juga.

Mereka kini sudah duduk di sebuah ruangan yang menjadi tempat Denira dan Papanya bertemu. Bangku di hadapan masih kosong walaupun mereka sudah menunggu cukup lama, bahkan Denira berharap untuk kali ini Papanya tidak bisa menemuinya.

Kriet...

Leo dan Denira kompak menoleh ke arah pintu bersamaan dengan masuknya seorang laki-laki paruh baya dengan pakaian tahanan orennya. Denira membuang pandangnya ketika sorot mata Papanya tertuju padanya. Denira tidak bisa menatap mata yang selalu ia bohongi itu.

Arfan duduk di hadapan dua remaja yang berbeda itu. Satu diantara mereka hanya menatap ke arah jendela tanpa mau menatap balik ke arahnya. Tidak biasanya Denira bersikap dingin padanya.

"Om," panggil Leo memecah suasana canggung di antara mereka. "Saya rasa kalian berdua perlu bicara empat mata, jadi sebaiknya saya keluar dulu," pamit Leo sambil berdiri kemudian melangkah keluar setelah Arfan mengangguk sebagai balasan.

Suasana kembali berubah canggung. Denira tidak tau harus mengatakan apa. Ia tidak mempunyai kebohongan lagi untuk menutup kebohongan, apalagi Leo datang bersamanya. Ia tidak tau harus memperkenalkan Leo sebagai siapanya. Bahkan, menganggap Leo teman saja terlalu menjijikan baginya.

"Dia Leo," ucap Arfan memulai obrolan di antara mereka.

Denira sontak saja menoleh ke arah Papanya yang terlihat tenang padahal ia sendiri terkejut dengan perkataan Papanya. Ia tidak pernah menceritakan Leo, tapi Papanya tau siapa laki-laki yang bersamanya itu.

"Papa tau," lanjutnya.

Denira membuka dan menutup mulutnya saking bingungnya harus menjawab apa. Ia tidak tau harus bereaksi seperti apa. Reaksi terkejut seperti ini tentu saja salah, tapi ia tidak bisa bersikap tenang. Ini terlalu mengejutkan untuknya.

"Kamu kenapa bohong sama Papa?"

Deg!

"Kenapa kamu menyembunyikan hal sebesar ini dari Papa?!" Nada suara Arfan meninggi yang membuat Denira terkejut.

"Papa tau darimana?" Cicit Denira.

"Papa kira kamu di luar baik-baik saja! Papa kira kamu hidup dengan baik di luar sana! Tapi apa?! Nyatanya kamu hidup penuh tekanan! Kamu di-bully karena kesalahan Papa! Kamu tau bagaimana rasa sakit yang Papa terima ketika Papa tau semuanya?!" Bentak Arfan berapi-api sambil memukul meja di hadapannya hingga menimbulkan suara yang nyaring.

"Pa," lirih Denira dengan air matanya yang sudah turun membasahi wajahnya. Ia menangis bukan karena sakit hati atas bentakan Papanya, melainkan ia menangis karena melihat amarah Papanya karena dirinya.

EVANESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang