17. Kejujuran dan Emosi

15 2 0
                                    

Tepat pukul tujuh sore Haris sampai di tempat yang telah mereka janjikan sebelumnya. Seperti biasanya, cafe ini selalu ramai dengan anak muda, terutama pasangan ketika malam minggu. Haris pernah berhayal akan menerima momen romantis di tempat ini.

Haris masuk dan disambut dengan alunan musik lembut dan keributan khas anak muda. Haris kemudian duduk di tempat kosong yang tersisa. Mata elangnya berkeliaran mencari sosok Denira yang belum terlihat. Tidak satupun dari perempuan disana yang memiliki ciri-ciri seperti Denira.

Haris memilih mengeluarkan laptopnya untuk mengerjakan beberapa tugas sembari menunggu kedatangan Denira. Haris memilih berpikir positif walau jauh di dalam pikirannya, semua pikiran negatifnya tentang Denira muncul.

*

Pesta yang biasanya terasa menyenangkangkan bagi orang-orang sangat berbeda dengan apa yang Denira rasakan. Selama ia berada disini, Denira memilih menyendiri. Jauh dari Leo yang sibuk bersama temannya dan tidak menghiraukan bagaimana keadannya yang duduk sendiri dengan empat gelas jus yang telah habis ia minum dan juga harus menjawab pertanyaan bodoh orang-orang yang menanyakan "Lo Denira 'kan? Lo ngapain disini?". Ia nyaris tidak bisa menghitung berapa banyak orang yang bertanya hal itu padanya saking banyaknya yang bertanya pertanyaan bodoh macam itu.

Denira berkali-kali melirik arloji kecil yang melingkar di pergelangan tangannya. Sudah dua puluh menit ia duduk sendiri disini dan ia benar-benar bosan. Tidak ada yang bisa ia lakukan. Semuanya terasa membosankan.

"Denira," panggil Leo sambil mendekat ke arahnya diiringi dengan senyuman manisnya. "Ayo kesana, bentar lagi acaranya mulai," ajak Leo sambil menggandeng tangan Denira.

Denira menepis tangan Leo dengan malas. Ia mendongak untuk mentatap Leo yang berdiri dan lebih tinggi darinya.

"Gue disini aja." Sahut Denira sambil menegak jus dalam gelas yang tinggal sedikit.

"Gue gak mungkin ninggalin lo sendiri disini."

"Lo gak usah khawatir, gue udah terbiasa sendiri." Sarkasnya tanpa menatap ke arah Leo yang berdiri di sebelahnya.

"Den-"

"Ck," Denira mendelik ke arah Leo sambil menaruh gelas ke meja dengan kasar hingga menimbulkan suara yang nyaring. "Gue gak suka keramaian." Sahut Denira sambil mengalihkan pandangannya pada kerumunan orang-orang beberapa meter di hadapannya.

Telinga Denira tidak mendengar suara dari Leo. Laki-laki itu tampaknya enggan untuk menjawab, namun anehnya Leo tidak beranjak dari tempatnya dan malah menatap dirinya intens.

Denira menoleh ke arah Leo sambil mengernyit. Benar saja, Leo menatapnya dengan tatapan aneh yang tidak Denira mengerti. Mata coklatnya benar-benar terkunci pada dirinya yang membuat Denira tidak nyaman seolah dia sudah melakukan satu kesalahan yang tidak bisa diampuni.

"Kenapa lo?" Tanya Denira.

"Lo gak mau pergi 'kan? Jadi, gue juga gak mau pergi," sahut Leo enteng sambil menarik kursi di sebelah Denira dan duduk disana.

Denira mengendikkan bahunya tidak peduli sambil menghidupkan ponsel yang sengaja ia matikan sedari tadi di genggamannya. Mungkin dengan bermain ponsel bisa membunuh rasa bosan dan canggungnya karena sekarang Leo menatapnya tanpa berkedip.

Ketika ponsel kembali menyala, Denira langsung disambut dengan notifikasi pengingat yang ia setel jauh-jauh hari untuk mengingat janjinya bersama Haris hari ini.

Tanpa ia sadari tangannya menutup mulutnya yang menganga. Ia melupakan janjinya bersama Haris. Denira buru-buru mengecek arloji kecilnya dan saat itu juga ia merasa lemas. Pikirannya langsung dipenuhi dengan Haris. Denira tidak tau bagaimana marahnya Haris padanya sekarang.

EVANESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang