22. Okey, I'm Go

15 2 2
                                    

Tidak sesuai perkiraan!

Hujan mulai turun membasahi bumi sejak ia berada di dalam taxi. Denira bersyukur menemukan taxi di dekat sini hingga ia tidak usah basah-basahan untuk mengembalikan buku catatan milik Haris.

Untuk sampai di rumah Haris tidaklah memakan waktu yang cukup lama. Hanya 20 menit saja sampai. Saat ini, mobil sedan biru yang ia tumpangi berhenti tepat di depan gerbang besi yang terbuka setengah.

"Mbak, kita sudah sampai," ucap supir sambil melirik Denira dari kaca spion di dalam mobil.

"Bisa nunggu bentar, Pak? Saya cuma sebentar kok,"

"Baik, Mbak. Saya tunggu disini. Mbak perlu payung?" Tanya laki-laki paruh baya itu ramah.

Denira menggeleng sambil tersenyum, setelah itu ia membuka pintu dan berlari memasuki halaman rumah Haris sambil berusaha melindungi buku Haris dalam pelukannya agar tidak basah terkena air. Ketika ia berusaha melindungi buku Haris, ia malah membiarkan dirinya basah oleh tetesan air hujan yang besar dan deras.

Kini Denira sudah berada teras rumah Haris. Angin yang berhembus kencang membuat rasa dingin karena air hujan masuk menusuk hingga ke tulang-tulangnya. Denira mulai menggigil sambil mengeratkan pelukan pada dirinya sendiri.

Perlahan tangan Denira yang bergemetar bergerak merogoh saku rok sekolah yang masih ia pakai, namun Denira tidak menemukan apapun di dalamnya. Tangannya bergerak meraba setiap saku yang melekat pada seragamnya, namun tetap saja ia tidak menemukam ponselnya. Ia juga tidak ingat apakah ia sempat mengambil ponsel yang ia taruh asal di ranjangnya.

Denira mengehela nafas berat. Tidak ada cara lain selain ia harus mengetuk pintu rumah yang tertutup rapat itu. Denira berharap yang membukakan pintu adalah Budhe dan bukannya Haris.

Setelah berdiam diri memandang pintu putih di depannya, akhirnya Denira memberanikan diri untuk mengetuk dan menekan bel rumah.

Tok... tok... tok...

Ting... nung....

Tok... tok... tok...

Denira berdiri dengan cemas. Angin kencang masih mengganggunya hingga Denira tidak bisa menahan tubuhnya untuk gemetar kedinginan.

Tidak ada tanda-tanda pintu akan terbuka walau sudah lima menit berlalu. Denira kembali menggerakkan tangannya untuk mengetuk pintu dengan kencang, bahkan terdengar seperti suara gedoran.

Tok... tok... tok...

Tok... tok... tok...

Ting... nung....

Denira kembali memeluk dirinya sendiri. Buku bersampul coklat yang ada di genggamannya sudah mulai rusak karena ia genggam dengan keras tanpa sengaja karena rasa dingin yang benar-benar menusuk.

Kriet...

Denira terdiam sesaat ketika melihat siapa yang membukakannya pintu. Gadis berambut coklat sebahu kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi yang sama kagetnya dengan Denira.

"Zara?" Cicit Denira kaget. "Lo ngapain-"

"Siapa?" Seru laki-laki yang kini muncul di belakang gadis yang menggenakan sweater rajut dan celana jeans pendek.

Denira merasakan dadanya yang dihimpit oleh dua batu besar hingga membuatnya susah untuk bernafas. Kakinya seketika melemas dan tubuhnya hampir saja jatuh jika ia tidak berusaha menahannya.

"Lo ngapain kesini?" Tanya Haris dingin.

Denira menyunggingkan senyum palsu diiringi dengan air mata yang membendung di pelupuk matanya. Siapapun akan tau apa arti dari raut wajah Denira. Tidak ada kebahagiaan tersirat disana, hanya ada kesedihan yang kuat di raut wajahnya.

EVANESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang