19. Ini Tentang Perasaan dan Ombak

13 2 0
                                    

Setelah seminggu dirawat di rumah sakit, akhirnya Denira dibolehkan untuk pulang. Senang rasanya bisa pulih kembali karena ia sangat bosan berada disana. Semua rasa sakitnya seolah semakin bermunculan ketika berada disana. Apalagi pertemuan terakhirnya dengan Haris disana membuatnya enggan untuk datang ke ruang inap yang menjadi saksi bisu bagaimana hari-harinya hanya ia habiskan dengan menangis untuk melampiaskan perasaan campur aduknya.

Ketika mobil yang ia tumpangi berhenti tepat di depan lobby apartementnya, Denira langsung turun dan diikuti oleh si pengemudi.

"Biar gue anter lo ke atas ya," tawar Leo sambil menggandeng tangan Denira.

"Gak usah, terima kasih," tolak Denira sambil melepaskan tangan Leo yang menggenggam tangannya. "Lo pulang aja, gue bisa sendiri. Makasi udah mau jaga gue," ucap Denira sambil tersenyum kecut.

Tanpa menunggu jawaban Leo, Denira langsung melangkahkan kakinya masuk ke dalam apartemen. Walau sudah pulih, ia masih merasa lemas. Denira harus segera beristirahat untuk mengembalikan tenaganya karena besok ia harus kembali ke sekolah, kembali mendapat cibiran, dan tentu saja bertemu dengan Haris.

Semenjak kejadian itu, Haris sama sekali tidak menemuinya, bahkan sekedar menanyakan kabarnya saja tidak. Hubungan mereka putus begitu saja. Denira harus kembali ke kebiasaan dulunya sebelum Haris datang. Menyendiri dan diam. Ia tau orang-orang di sekitarnya lebih banyak palsu daripada asli.

Drrt... drrt...

Denira yang hendak menekan password untuk membuka pintu apartmennya harus terhenti ketika ia merasakan getaran di sling bag kuningnya.

Haris (House) is calling...

"Hallo, ini Denira," sapa Denira lebih dulu. Entah kenapa rasanya aneh jika rumah Haris menelfonnya.

"Non, ini Budhe," sahut Budhe dari sebrang sana dengan nada bicaranya yang terdengar khawatir.

"Kenapa, Budhe?"

"Den Haris ada disana ndak?"

"Haris gak pernah ketemu Denira lagi," sahut Denira. "Haris kenapa?"

"Den Haris belum pulang ke rumah. Budhe telfon juga ndak bisa,"

Denira diam. Seketika dadanya terasa sesak. Ia tidak tau masalah Haris, tapi entah kenapa ia merasa ada yang tidak beres. Setaunya, Haris tidak pernah menghindari sesuatu.

"Kalau begitu Budhe tutup dulu ya telfonnya. Kalau Non ada lihat Tuan Muda, tolong kabari ya,"

"Iya, Budhe,"

Denira menurunkan ponselnya. Pikirannya kini terus memikirkan kemana Haris. Ia tidak Haris pergi kemana jika sedang tidak baik-baik saja. Denira tidak mengenal Haris sebaik itu.

Mengabaikan badannya yang masih lemas, Denira berlari menuju lift. Ia memutuskan untuk mencari Haris. Ia ingin menjadi orang yang bisa membantu laki-laki itu. Berulang kali Denira mencoba menelfon, namun telfonnya tidak dijawab, bahkan pesannya pun tidak dibaca.

*

Sang mentari telah kembali ke tempat peraduannya. Kini langit dihiasi oleh bulan purnama dan bintang-bintang berkelip indah di sekitarnya.

Tepat di bawah sang rembulan, seorang gadis berjalan tertatih-tatih. Seharian ia berkeliling untuk mencari seseorang yang menghilang tanpa kabar. Raganya benar-benar lelah. Ia masih belum pulih benar, namun ia memaksakan diri untuk mencari keberadaan yang Haris yang belum kembali juga walau sudah malam.

EVANESCENTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang