"Aku pulang." Jungkook meletakan tas punggungnya, berjalan menuju dapur hingga membuat Daehan dengan segera menyembunyikan pisau yang sedang ia gunakan.
"Kau sudah pulang?"
Jungkook meneguk segelas air sebelum akhirnya mengangguk. Ia kemudian duduk di meja makan, memasang ekspresi yang tak begitu berarti, membuat Daehan merasa sangat khawatir.
"Jungkook, kau ingin samgyetang? Aku baru saja membeli daging ayam tadi." Daehan mencoba mengalihkan pikiran kalut yang mungkin memenuhi pikiran Jungkook. Daehan sungguh merasa iba sebab selama ini ia hanya bisa melihat ekspresi dingin dari Jungkook. Bahkan ia berharap jika suatu hari luka Jungkook akan segera sembuh. Ia sungguh tak tega melihat keponakannya seperti ini.
"Tidak perlu."
"Kau terlalu sering menahan laparmu. Jungkook, jika kau terus seperti ini Kakakku akan sangat marah padaku," jelas Daehan, membuat Jungkook terkekeh miris. Marah? Bahkan Ibunya sudah lama meninggalkannya. Mana mungkin orang yang sudah lama tiada bisa memarahi orang yang masih hidup?
Jungkook tak menjawab. Ia beranjak dan berjalan menuju kamarnya. Menurutnya, lebih baik ia tidur dibanding mendengar beberapa pertanyaan-pertanyaan dari pamannya. Ia merasa jika pertanyaan yang pamannya ajukan selalu berkaitan dengan masa kelamnya.
"Jungkook, jangan lupa jika hari ini kau harus menemui dokter Cha!" teriak Daehan sambil menatap pintu kamar Jungkook yang kini tertutup. Sudah bertahun-tahun Jungkook melakukan terapi itu. Tapi Daehan merasa sedih karena Jungkook tetap kesulitan keluar dari jeratan masa kelamnya. Bahkan ia masih sangat trauma dengan kejadian masa lalunya itu.
Jungkook selalu berusaha untuk mengalihkan bahkan melupakan perihal rasa sakit dan duka mendalam dalam hatinya. Tapi semakin ia berusaha, ia justru semakin terjebak dalam jeratan masa lalu itu dan seperti biasanya, ia akan berakhir menangis, berharap segala hal yang mengganjal dalam hatinya bisa lenyap.
Eomma, aku hanya ingin dipeluk satu kali saja. Aku benar-benar merindukanmu.
Jungkook memeluk dirinya sendiri. Terasa sangat perih saat ia kembali menggunakan kata 'Ibu' dalam hatinya. Kata yang kembali menyeretnya ke dalam rasa bersalah yang mendalam.
Aku belum bisa memaafkanmu, Jungkook. Itulah yang selalu Jungkook gumamkan dalam hatinya kala rasa bersalah itu mulai menyeruak. Ia berharap sekali jika semua rasa sesak itu segera lepas darinya. Tapi ia sungguh tak mengerti harus membaginya seperti apa. Ia hanya takut setelah ia berbagi soal kebenaran dirinya, ia tak akan punya lagi teman.
Tzuyu sudah berada di depan rumah Neneknya. Tentu saja bersama Wenghua yang selalu menemaninya. Ia juga tak mengerti kenapa Adiknya itu selalu mengekorinya kemanapun dan kapanpun. Ia ingin protes. Tapi ia yakin sampai mulutnya berbusapun Wenghua akan tetap mengekorinya.
"Tzuyu!!" Sang Nenek dengan segera memeluk Tzuyu, membuat Wenghua dengan segera berdeham.
"Nenek, Cucumu ada dua," ujar Wenghua, membuat Neneknya itu terkekeh. Sejak dulu Wenghua memang paling tak suka jika dipeluk. Itulah kenapa Neneknya sama sekali tak memeluknya.
"Ayo masuk."
Tzuyu merasa tertegun saat beberapa barang di ruang tamu seakan berubah dari saat terakhir kali ia ke sana. "Nek, kenapa ruang tamunya berubah?"
"Aku mencari buku yang lupa ku simpan dimana. Tapi ternyata buku itu ada di bawah kasur."
"Lain kali aku akan buatkan GPS agar mudah ditemukan," ujar Wenghua, membuat Neneknya hampir memukulnya.
"Kau baru saja meledekku, Wenghua."
"Aku ingin menanyakan soal suara hati yang terdengar samar. Itu tandanya apa?" tanya Tzuyu. Ia sungguh penasaran soal itu sebab ia cukup yakin jika itu suara hati milik Jungkook.
KAMU SEDANG MEMBACA
Let Me✔️
Fanfiction"Jika hatimu sedalam lautan, aku tak pernah takut meskipun aku akan tenggelam di dalamnya." Kisah seorang gadis dengan kekuatan supranatural yang membuatnya bisa membaca pikiran orang lain. Namun dia tak mengerti kenapa dia tak bisa membaca pikiran...