Ketakutan

779 43 0
                                    

"Maafkan aku, karena sudah bersikap egois

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Maafkan aku, karena sudah bersikap egois. Tapi percayalah, aku hanya takut, takut untuk kehilanganmu dari dunia ini."

.oOo.

"Wa'alaikumussalam," ucap mereka, menjawab salam Hafidz dengan serentak. Setelah itu, Hafidz langsung pergi mengikuti suster yang sudah duluan mendorong kursi roda menuju ruangan rawat Syafira.

"Ayah kenal sama Hafidz?" tanya Reno yang terlihat sangat bingung. "Iya, dia adalah anak dari korban kecelakaan yang sudah terjadi karena Ayah." jelas Alex yang merasa sangat bersalah. "Astaghfirullah, jadi wanita dan pria baruh baya yang meninggal dunia itu, adalah ummy Putri dan abi Reza?" terkejut Reno begitu saja. Alex hanya bisa menganggukan kepalanya dengan mimik wajah yang melesu.

"Innalillahi wainna ilaihi raji'un ...." lirih Reno dengan sedihnya. "Yasudah, kalau gitu kita ke ruangan rawat Reval dulu, tadi para suster sudah memindahkannya ke ruang rawat, Yah." ajak Reno yang langsung diangguki oleh Alex, karena kebetulan Alex juga sudah selesai dengan urusan administrasinya. Dan akhirnya mereka berdua pun langsung menuju ruangan rawat Reval.

...

"Hati-hati, Sus." ujar Hafidz yang begitu takut, jika adiknya akan kenapa-kenapa, di saat Sang Suster membantu adiknya untuk duduk di kursi roda. Dan akhirnya, Syafira sudah duduk di kursi rodanya dengan begitu nyaman. Sang Suster yang akan mulai mendorong kursi roda Syafira, seketika langsung berhenti, di saat Hafidz kembali membuka suaranya. "Biar saya saja, Sus." ujar Hafidz yang langsung mengambil alih gagang kursi roda itu, setelah Sang Suster melepaskannya.

Dan setelah itu, mereka bertiga pun langsung menuju ruangan jenazah, di mana jasad ummy dan abi mereka berada. Selama perjalan menuju ruangan jenazah, Syafira tak henti-hentinya menangis dengan tatapan yang tak tentu arah, karena tidak ada yang bisa dilihat olehnya untuk sekarang ini.

Dan sekarang, tibalah mereka di depan ruangan jenazah. Sang Suster yang sedari tadi bersama mereka langsung saja membuka pintu itu, dan menampilkan dua tubuh yang sudah ditutupi oleh kain putih. Di saat itulah air mata Hafidz meluruh begitu saja.

"Mari," ujar Sang Suster yang langsung masuk ke dalam ruangan. Dengan perasaan yang bercampur aduk, Hafidz pun mendorong kursi roda adiknya menuju jasad Sang Ummy dan Sang Abi.

Sekarang, Syafira bisa merasakan, bahwa mereka sudah tiba di tempat tujuan. "U-ummy ... hiksss ...." tangisnya yang langsung memeluk tubuh kaku Sang Ummy yang masih di tutupi oleh kain kafan. Awalnya, Hafidz sempat bingung dengan adiknya ini. Karena pasalnya, mereka sama sekali belum memberitahukan Syafira, bahwa mereka sudah sampai. Dan Syafira yang juga mengetahui yang mana Sang Ummy pun juga membuat kedua manusia itu tercengang. Namun, ketercengangan pada diri Hafidz tidak sebanding dengan kesedihannya kini.

"Kenapa Ummy secepat ini meninggalkan Ara? Hiksss ... Ara takut My, hiksss ... Ara takut kalau nanti Ara nggak bisa menjaga diri Ara lagi, hiksss ...." isaknya di saat memeluk tubuh kaku Sang Ummy. "Adek, jangan seperti ini, ummy dan abi pasti akan merasa sedih, jika melihat Adek yang seperti ini." nasehat Hafidz yang kembali menahan tangisannya, agar dia bisa menguatkan adiknya.

"A-ara nggak bisa Bang, hiksss ... Ara nggak yakin, kalau Ara akan baik-baik aja di dunia ini." ujar Syafira yang kini sudah melepaskan pelukannya dari Sang Ummy dan terduduk lemas di kursi rodanya. "Abang yakin, Ara pasti bisa, karena masih ada Abang di samping Ara. Abang janji, kalau Abang akan jagain Ara." ujar Hafidz yang beralih ke depan adiknya, lalu berjongkok dan meraih tangan Sang Adik.

"Jangan berikan Ara janji, Bang. Dulu abi juga pernah berbicara seperti itu pada Ara, tapi nyatanya abi ninggalin Ara begitu saja, hiksss ... hiksss ...." Hafidz yang mendengar hal itupun langsung terdiam, dia sudah tidak bisa lagi menjawab pertanyaan Sang Adik untuk sekarang ini. "Maafkan Abang, Dek. Mungkin Abang juga akan pergi dari dunia ini, namun sebelum itu Abang akan selalu jagain, Adek." ujarnya di dalam hati. Namun perkataan batin Hafidz ini, ntah kenapa tiba-tiba bisa di dengar oleh Syafira. Syafira yang mendengar hal itupun awalnya terkejut, namun langsung dia memeluk Hafidz dengan sangat erat. Sehingga, membuat Hafidz merasa sangat bingung dengan adiknya ini.

"Maafkan Ara Bang, Abang jangan ninggalin Ara, hiksss ... hiksss ...." lirinya di sela-sela tangisan. Hafidz yang mendengar penuturan Sang Adik, awalnya juga sempat bingung, kenapa Syafira bisa mengetahui apa yang tengah dibatinkannya, namun dia tidak mau mempermasalahkan hal itu dan malah membalas pelukan Sang Adik dengan hangatnya.

...

"Ayah ...." lirih Reval dengan begitu lemahnya, di saat Sang Ayah memasuki ruangan rawatnya. Alex yang baru saja masuk dan diikuti oleh Reno di belakangnya, langsung saja menghampiri Reval yang tengah terbaring lemah di atas brankarnya.

"Gimana kata dokter, Ka?" tanya Alex pada Sang Istri, yang tengah duduk di kursi samping brankarnya Reval. "Seperti biasa, Mas. Reval hanya mengalami reaksi phobianya." ujar Riska dengan tatap yang sendu ke arah anaknya.

Ya, phobia darah adalah salah satu kelemahan Reval. Reval tidak tahan jika harus berurusan dengan darah. Hal ini sudah dialaminya semenjak dia duduk di bangku kelas 1 SD dan sampai sekarang phobia itu masih terus menakutinya. Reval mungkin adalah sosok lelaki yang dingin, namun kedinginan dirinya itu hanyalah sebagai penutup dari kelemahannya.

"Ayah, bagaimana keadaan gadis itu?" tanya Reval secara tiba-tiba. Ntahlah, Reval hanya ingin bertanya untuk mengetahuinya saja, bukan bermaksud lain. Dia hanya merasa kasihan dengan gadis malang itu, karena setahu Reval tadi, kedua orang tuanya sudah meninggal karena kecelakaan itu, dan hanya dia beserta kakaknyalah yang bisa selamat.

"Ayah belum sempat menanyakan keadaannya, Nak. Tapi, tadi kata kakaknya mereka akan pergi ke ruang jenazah untuk melihat jasad orang tua mereka." jelas Alex dengan begitu sedihnya.

"Ayah, apa boleh Reval menjenguk gadis itu besok?" tanya Reval dengan begitu hati-hatinya. "Nak, kamu masih butuh istirahat." Bukan Alex yang menjawab, namun Riska lah yang begitu khawatir dengan anaknya ini.

"Bunda, Reval udah baik-baik aja, kok." ujar Reval meyakinkan Sang Bunda. "Tidak, kamu masih bu-" ujar Riska yang malah terpotong dengan perkataan Alex.

"Sudahlah Bun, Reval kan cuma mau melihat gadis itu, bukan mau membantu." ujar Alex yang diakhiri dengan kekehan kecilnya. "Yaudah deh, tapi jenguknya jangan lama-lama, karena kamu itu butuh istirahat juga." ngalah Riska begitu saja.

Mendengar hal itu, seketika sebuah senyuman pun terbit di bibirnya Reval. "Eh, gue nggak salah liat, kan?" tanya Reno tiba-tiba, di saat dia melihat Reval tengah tersenyum. Karena pasalnya, Reval ini adalah tipe cowok yang sangat jarang tersenyum. Bahkan, kepada keluarganya saja Reval hanya tersenyum untuk sekedarnya saja.

"Apaan sih, Bang." kesalnya Reval yang kembali memasang wajah coolnya. "Hahahaha ... cie yang ngambekan." ejek Reno begitu saja dan Reval sama sekali tidak mempedulikannya. Sedangkan, kedua orang tuanya hanya bisa geleng-geleng kepala saja, ketika melihat kelakuan dari anak dan menantu mereka ini.

 Sedangkan, kedua orang tuanya hanya bisa geleng-geleng kepala saja, ketika melihat kelakuan dari anak dan menantu mereka ini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Syafira || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang