Kenyataan

292 25 0
                                    

Aku rela, jika nyawaku tantangannya untuk menyelamatkan dirimu, duhai Pujaan Hati.
_____________

~Reval Setia Darma~

.oOo.

"Keluarga pasien?" panggil Sang Dokter yang kini tengah berdiri di ambang pintu UGD. Hafidz yang mendengar hal itupun langsung bangkit dari duduknya dan menghampiri Sang Dokter. Begitu juga dengan Riska yang tengah berada di dalam dekapan suaminya, Alex.

"Iya Dok, saya adalah kakak dari yang perempuan. Bagaimana keadaan adik saya, Dok?" tanya Hafidz dengan raut khawatirnya.

"Iya Dok, dan saya adalah ibunya pasien yang laki-laki, bagaimana keadaan anak saya, Dok?" tanya Riska yang tak kalah khawatirnya.

"Alhamdulillah, kedua pasien bisa kami selamatkan, namun sayangnya kami mohon maaf sama Ibuk, sebab keadaan putra Ibuk sekarang sangat kritis. Jika saya boleh tahu, apa anak Ibuk pernah mengalami sebuah phobia?" tanya Sang Dokter yang membuat Riska semakin meneteskan air matanya. Sehingga, membuat dia kembali memeluk Sang Suami dan menangis sejadi-jadinya di sana.

"Iya Dok, anak saya mengalami phobia darah." ujar Alex mewakili istrinya. Alex pun terus mencoba mengusap-usap pundak istrinya, untuk menenangkan Riska yang tengah berada di dalam pelukannya.

"Baik Pak, terima kasih atas informasinya, kalau begitu saya permisi dulu." pamit dokter itu yang kembali masuk ke dalam ruangan UGD.

Hafidz merasa sedikit lega, ketika mendengar perkataan Sang Dokter tadi, bahwa Syafira baik-baik saja. Namun, rasa bersalah juga masih menghantuinya sekarang, dia merasa bersalah akan Reval yang seperti ini, mungkin saja karena melihat darah Syafira yang menodai hampir sekujur tubuhnya Syafira. Dan bahkan, darah itu juga mengenai baju Hafidz dan tidak bajunya saja, akan tetapi Kayla juga kena, yaitu roknya. Namun, dia sama sekali tidak menyadarinya.

Sama halnya dengan Hafidz. Yoga, Vino, Ekal, dan Kayla pun juga merasa sedikit lega, namun rasa bersalah serta khawatir mereka pada Reval juga tetap ada. Mereka baru mengetahui, bahwa sebenarnya Reval mengalami phobia darah. Andai saja mereka tahu, jika Reval mengalami phobia darah, mungkin mereka tidak akan membiarkan Reval membawa tubuh Syafira tadi. Tapi, sayangnya semuanya sudah terlambat, mereka berempat hanya bisa berdoa saja sekarang, agar Reval bisa melewati masa kritisnya.

Tidak lama kemudian, pintu ruangan UGD pun kembali terbuka dan para suster serta para dokter keluar dari ruangan itu dengan mendorong brankar Syafira dan brankar Reval. Salah satu suster pun menghampiri mereka semua yang menatap sendu ke arah Reval dan Syafira.

"Mohon maaf Pak, Buk." ujar Suster itu yang langsung mengalihkan pandangan ke semua orang.

"Iya ada apa, Sus?" tanya Hafidz.

"Jadi, pasien atas nama Syafira Putri Syafi'i akan kami pindahkan ke ruang rawat inap. Sedangkan, pasien atas nama Reval Setia Darma, akan kami pindahkan ke ruangan ICU untuk sementara ini, sampai keadaan pasien pulih, Pak, Buk. Jadi, kami harap Bapak dan Ibuk bisa segera mengurus administrasi pasien secepatnya." jelas suster itu.

"Baiklah Sus, biar saya saja yang urus administrasinya." ujar Hafidz dengan begitu antusiasnya.

"Eh, jangan Nak Hafidz biar Om saja. Sebaiknya kamu dampingi saja adikmu sekarang, Syafira pasti nyariin kamu, Nak." ujar Alex menyarankan.

"Tapi, Om ...." ujar Hafidz tak enak.

"Udah gak pa-pa," ucap Alex meyakinkan.

"Yasudah, makasih Om, kalau gitu saya duluan ya, Om. Assalamu'alaikum ...." pamit Hafidz yang langsung berlari mengejar para suster dan para dokter tadi. Begitu juga dengan semua teman-temannya Syafira yang ada di sana, mereka juga langsung berlari menyusul Hafidz. Berbeda dengan Riska, yang terus saja menangis di dalam dekapan suaminya.

"Yasudah Pak, kalau gitu mari ikut saya!" ujar suster itu yang memulai perjalanannya menuju meja resepsionis.

"Baik Sus,"

"Sayang, aku bayar administrasinya dulu, ya. Reno, Kanya, tolong jaga bunda kalian ya, ayah pergi dulu. Assalamu'alaikum ...." ujar Alex sembari melepaskan dekapannya dari Sang Istri. Kanya pun langsung mengangguk dan menarik bundanya ke dalam dekapannya sendiri.

"Sudah Bun, Bunda harus yakin, kalau Reval bakalan baik-baik aja." ujar Kanya menyemangati Sang Bunda.

"Bu-bunda takut, Kan ...." lirih Riska di dalam pelukan Sang Putri.

"Udah, Bunda nggak usah takut, Reval pasti akan baik-baik aja kok, Bun." ujar Kanya kembali menyemangati, meski kini air matanya telah keluar.

...

Di ruangan yang serba putih ini, dan ruangan yang memiliki aroma yang khas akan bau obat-obatan, Syafira perlahan-lahan membuka matanya. Dan Sang Kakak yang tengah menatap sendu Sang Adik pun mulai merasa bahagia, di saat melihat Syafira yang mulai membuka matanya.

Dengan lembutnya Hafidz mengusap kepala Sang Adik yang tertutup oleh jilbab instannya. Dan sampai pada akhirnya, Syafira pun membuka suaranya dengan intonasi yang lemah.

"Bang, ini di mana?" tanya Syafira.

"Ini di rumah sakit, Ra." timpal Hafidz yang masih setia mengusap kepala Sang Adik dengan salah satu tangannya, sedangkan tangannya yang satu lagi, dia gunakan untuk menggenggam tangan Sang Adik.

"A-ar awww ...." rintih Syafira ketika dia mencoba untuk mengubah tidurnya menjadi posisi duduk.

"Eh, Adek mau ngapain?" tanya Hafidz yang langsung panik.

"Aarghhh ...." rintih Syafira merasa kesakitan. Mendengar rintihan itu, seketika Hafidz pun menjadi semakin khawatir akan keadaan Syafira.

"Adek, jangan bergerak dulu, luka Adek belum sembuh, Sayang." ujar Hafidz dengan lembutnya.

"Bang, Ara kenapa? Kenapa pinggang Ara serasa begitu ngilu dan sakit, Bang?" tanya Syafira dengan begitu lemahnya.

"Kata dokter pinggang Adek kena tusuk pisau. Tapi, Abang nggak tahu siapa yang udah berani-beraninya melukai Adek." jelas Hafidz dengan begitu marahnya kepada orang yang telah berani-beraninya melukai Sang Adik.

"Astaghfirullah ...." lirih Syafira tak percaya sambil memegangi pinggangnya yang masih terasa sakit.

"Lalu Bang, siapa yang sudah membawa Syafira ke sini?" tanya Syafira masih tetap dengan lirihnya.

"Reval," jawab Hafidz dengan begitu lesunya.

"Re-reval?" terkejut Syafira yang merasa tidak percaya.

"Iya Reval, dia yang telah membantu Abang menyelamatkan kamu Ra, namun karena membantu Abang nyawanya sekarang dalam masa kritis." jelas Hafidz yang semakin lesu.

"Kri-kritis? Ke-kenapa bisa, Bang?" tanya Syafira lagi. Jujur saja, Syafira benar-benar merasa khawatir akan keadaan Reval sekarang.

"Dia memiliki sebuah phobia, dan itu adalah phobia darah. Jadi, karena melihat darahmu yang terus mengalir, mangkanya phobianya kambuh, namun Reval tetap memaksakan dirinya untuk membawamu ke rumah sakit, namun sayangnya, ketika dia sudah tiba di lorong, Reval kehilangan kesadarannya dan untung saja Abang datang tepat waktu saat itu." jelas Hafidz lagi.

"Bang ... antarkan Ara ke ruangan Reval, Ara ingin bertemu dengannya!" pinta Syafira yang mulai terisak.

"Tapi Ra, keadaan kamu belum stabil." tolak Hafidz dengan lembut sambil membelai kepala Sang Adik dengan begitu lembutnya.

"Ara benar-benar merasa bersalah dengan dia, Bang. Mungkin, kalau Ara tidak terluka seperti ini, Reval juga tidak akan seperti sekarang, Bang. Ara benar-benar merasa bersalah, Bang. Ara mohon Bang, tolong izinkan Ara bertemu dengan Reval." pinta Syafira sekali lagi.

"Tapi, Ra ... keadaanmu sekarang belum pulih, Abang nggak mau terjadi sesuatu sama kamu." tolak Hafidz sekali lagi.

"Bang, Ara mohon ...." lirihnya lagi.

"Maaf Ra, kali ini Abang nggak bisa nurutin permintaan kamu, sampai kamu pulih nanti." ujar Hafidz sambil menatap sendu Sang Adik, lalu pergi dari sana sebelum air matanya menetes di depan Sang Adik. Hafidz pun langsung meninggalkan Syafira seorang diri di ruangan itu, dan memilih untuk berada di luar ruangannya Syafira, bersama dengan teman-temannya Syafira yang tengah berada di luar.

--TBC--

Syafira || EndTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang