.
.
.
.
Cahyo gelisah bukan main sejak semalam. Badannya panas dingin menginginkan sesuatu. Penyebabnya tak lain tak bukan adalah tubuh polos Yana yang tak sengaja ia lihat kemarin siang.
Niat hati ingin menyuruh Yana membuatkan makan siang untuknya. Malah ia disuguhi pemandangan tubuh molek sang istri yang tanpa busana. Bukan, bukan maksud Yana menggoda suaminya itu. Malah Yana tidak mengetahui bahwa Cahyo melihat tubuh polosnya. Dia sedang mandi ngomong ngomong, jadi tentunya tanpa pakaian.
Tubuh lelaki itu membuatnya bernafsu. Sial, apa gara gara itu, sekarang ia benar-benar akan menjadi gay. Dia menginginkan Yana berada di bawah kungkungan nya. Pasrah dan mendesahkan namanya. Membayangkan nya saja sudah mampu membuat miliknya ereksi. Bagaimana jika istri lelakinya itu benar-benar dalam kuasanya? Pastinya tak akan mudah baginya untuk mengendalikan birahinya sendiri.
Apalagi kalau dilihat lihat ternyata, Yana itu berwajah manis cenderung seperti wanita daripada pria. Bulu mata yang panjang dan lentik miliknya itu membuat dia terlihat begitu cantik.
Bibir plum ranum yang terlihat gemuk itu, seakan memanggilnya untuk mengecap. Uuugh.., dia ingin sekali melumatnya hingga bengkak.
Belum lagi, saat memandang Yana, ia ingat lagi tentang bagaimana bentuk tubuh istrinya itu. Yang hampir mirip seperti gitar kesayangan nya. Ia jadi membayangkan jika Yana bisa merawat diri dan berdandan, pastilah wujudnya tak kalah dengan mendiang istrinya yang memang menurut banyak orang adalah jelmaan bidadari surga. Menakjubkan bukan.
"Glek..., Glek..., Glek...,"
Cahyo terus meminum airnya terburu buru. Dia benci pikiran kotornya ini. Tapi bongkahan bulat itu malah terlihat semakin mengejeknya saja. Bergoyang ke kanan dan ke kiri, menggoda untuk diremas. Sial, celananya terasa sesak sekarang. Gara gara melihat Yana menungging seperti itu.
Dia mencoba menetralkan pikirannya. Yana hanya sedang mengepel lantai. Bukan sedang menari erotis di depannya. Jadi dia harus tenang. Tapi sialnya, matanya malah terus memandang setiap gerak gerik Yana. Lalu bagaimana dirinya bisa tenang kalau seperti ini.
Sebenarnya tidak ada yang salah dari cara Yana mengepel lantai itu. Dia mengepel lantai seperti orang mengepel lantai pada umumnya. Cuman Cahyo saja yang terlalu berpikir kotor akibat melihat Yana tak berpakaian kemarin.
"Yana...," panggilnya.
"Ya pak?"
"Sudah selesai belum ngepelnya?"
"Tinggal sedikit, pak. Bapak mau saya buatkan jus lagi?" tawar Yana yang melihat gelas jus dan air putih di meja telah kosong.
"Boleh, tapi selesaikan dulu ngepelnya."
"Baik, pak."
Seperti perkataannya tadi, selesai mengepel lantai. Yana ke dapur membuatkan jus mangga untuk suaminya. Saat membuka kulkas, entah sejak kapan Cahyo sudah berada di belakangnya. Ia sadar ketika merasakan ada seseorang memegang bagian belakangnya.
"Pak Wisnu..," pekiknya lirih karena terkejut.
"Hmn..,"
"Bapak butuh sesuatu?" tanyanya lagi menghilangkan gugup.
Dia memang masih sering merasa tidak nyaman berada di dekat suaminya itu. Rasanya masih asing. Bahkan ia benar-benar canggung saat mereka dalam posisi seperti ini. Apalagi mengingat kejadian barusan. Ia jadi awkward sekali dengan Cahyo. Tadi itu Cahyo sengaja megang atau gak sengaja menyentuh karena berada di belakangnya ya?
"Tidak."
"Lalu kenapa bapak di sini?"
"Ya ingin saja. Memang tidak boleh?" jawabnya jutek.
"Tapi untuk apa?"
"Banyak omong kamu. Itu semangkanya di ambil juga sekalian."
"Mau dijus juga, pak?"
"Terserah. Yaiyalah, gimana sih?! Gitu saja masih nanya." dumel Cahyo lalu pergi dari sana, mengomeli kelambanan Yana seperti biasa.
Padahal menyuruh mengambil semangka itu hanyalah alasannya saja. Dia uring uringan bukan karena Yana lambat merespon kemauannya. Tetapi hal sebenarnya terjadi adalah dia merasa malu karena keblablasan menyentuh bagian tubuh Yana. Dalam hati ia terus meruntuki kebodohan nya itu.
Sebenarnya gak salah juga sih dia menyentuh Yana. Secara mantan mahasiswa nya itu kan istri sahnya. Bebas dong, dia mau ngapain aja. Berhak banget malah dia sama Yana. Tapi kan saat menikah dulu, dia bilang kepada istri laki-laki nya itu bahwa dia tidak akan menganggap Yana lebih dari pengasuh anaknya jika di rumah. Dia hanya akan memperlakukan Yana sebagai istri jika ada pertemuan dengan keluarga dan relasinya saja. Jahat memang, tapi baginya itu sebanding dengan bayaran Yana yang ingin bisa kuliah sampai lulus nanti. Tentu saja, biaya kuliah di tempatnya itu tidaklah sedikit. Jadi tak masalah kan jika dia berbuat seperti itu. Lagipula, selama ini Yana tidak protes kan.
TBC
Ayyyye, up buat yang kangen book haje ku. Wkwkkwkw. Selamat membaca.
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Merah
Fanfiction"Saya butuh kamu lebih dari yang saya kira sebelum nya ternyata" Warning!!! Hj!uke!bott!sub No bad comment dear❤ 14agus20-7okto20