Cegukan

57 8 2
                                    

Pak Satte melirik ke arah kanan lalu kiri dan menarik napas panjang. “Yang tidak mengumpulkan buku tugas, harap berdiri dan maju ke depan.”

Gue mendelik, lalu menelan saliva dengan susah payah.

Ya Allah, cobaan apalagi ini?

“AYO! MAJU!” hardik Pak Satte setengah berteriak. Gue masih diam gak berkutik dan kepala setengah menunduk. Dengan napas yang lagi lari marathon, gue terus berdoa dalam hati.

Kriieett ….

Dua buah suara beruntun derit kursi yang digeser terdengar dari pojok kanan belakang kelas. Gue menoleh, ternyata itu Rafael dan Arsen, dua-duanya anak voli. Mereka berdiri dengan kepala yang tertunduk setengah, kayak gue juga.

Kayaknya mereka juga nggak buat tugas.

Kriieett ….

Terdengar suara beruntun derit kursi lagi membuat gue menoleh, kali ini dari arah agak depan. Itu Zean dan Jordan, ya mereka anak basket.

“Satu lagi siapa?” tanya Pak Satte saat mereka berempat sudah berdiri di depan kelas.

Anita menepuk bahu gue pelan membuat gue sontak berdiri. Seketika semua mata tertuju pada gue membuat gue jadi kikuk sendiri. Setelah menarik napas panjang, mau tak mau gue berjalan ke depan kelas, tak lupa tatapan sengit gue titipkan kepada Anita yang sekarang sedang tersenyum lirih.

Gue berdiri di barisan paling ujung. Pak Satte pun memulai sidang dadakannya.

(º﹃º)

“Sssttt.”

“Sssstttt oi oi.”

“Ssstttt.”

“Apa dah?” ketus Zean yang sudah risih karena Rafael sama Arsen dari tadi sahut-sahutan mulu.

“Kalian gak haus? Ke kantin yok,” ajak Arsen yang berdiri di sebelah kiri gue dengan keringat yang menetes di pelipisnya, terpancar cahaya ilahi akibat pantulan cahaya matahari.

“Gak,” tegas Zean. “Lo mau hukuman kita ditambah lagi?”

“Gue sih owh aja,” jawab Rafael.

Jordan melengos. “Pegal banget nih tangan, haus juga. Udah Ze, gak usah gengsi dah lo.”

Gue mengerjap karena kepanasan, masih menyimak pembicaraan mereka. Tangan gue udah kesemutan gak jelas, tega banget tuh sate kambing—eh, maksudnya Pak Satte, nyuruh kita berdiri di depan bendera sambil hormat. Padahal matahari udah tinggi, lah gue malah dijemur kayak ikan asin, gak tahu deh komuk gue sekarang kayak apa.

“Sha, kantin yok?” ajak Arsen masih menghasut yang lain. Ini nih tipe bocah selalu ngajakin orang, biar nanti kalau kena hukuman pasti rame-rame.

“Entar kalau Pak Satte tahu, gimana?” sergah gue. Yah, kalau kami ke kantin terus ketahuan, paling ditambah aja tuh hukuman. Kalau gak manjat pohon ya jungkir balik di lapangan. Udah ah, muak gue makan hukuman hari ini.

Gue diam, terlalu serius menatap bendera. Jordan udah sewot senggol-senggolan sama Zean, masih bujuk biar ikutan ke kantin. Arsen sibuk ikutan bujuk plus ngehasut dengan mendeskripsikan betapa segarnya es doger.

“Iman gue nggak selemah itu, ferguso,” kekeh Zean membalas ocehan panjang Arsen dan membuat dia diam, mungkin menyerah.

Tapi, kelang beberapa menit kemudian, Zean bicara lagi. Katanya, “Eh, kayaknya enak siang-siang gini minum teh sisri.”

Elah, Ze.

“Buset Bang Ze. Coba dari tadi elo bilang setuju, pasti sekarang gue lagi minum es doger,” omel Arsen.

Goodboy VS FakboyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang