“Oh, Its okay, gak masalah. IYAA NATHAN, BENTAR INI GUE LAGI TELEPONAN. Sha, udahan dulu ya, ini Nathan udah manggil gue suruh ke lapangan lagi.”
“Eh bentar-bentar.”
“Ya?”
“Arvan tadi telepon lo ya?”
“Hah? Enggak kok. Terakhir kali ya elo yang telepon gue.”
Eh?
Bersamaan dengan itu, Arvan balik dari toilet dan menatap gue heran karena buru-buru matiin telepon. Rasa jadi maling nih gue.
“Ada apa?” tanya Arvan bingung.
Gue menggeleng lalu beranjak. “Udah yuk, ke toko buku.”
Perjalanan mengitari mal dari lantai satu ke toko buku yang ada di lantai dua dipenuhi dengan pikiran bertanya-tanya. Kenapa Arvan mau pura-pura telepon Fannia dengan nada manja gitu. Dia mau bohongin gue? Tapi buat apa coba. Nggak ada untungnya juga kan. Dia nggak tuh dapat uang karena jadi aktor gadungan.
“Gue mau ke area novel remaja ya, Van,” kata gue sesaat setelah memasuki toko. Arvan mengangguk lalu membuat kebebasan gue untuk berkeliling-keliling mencuci mata.
Tangan gue meraih salah satu novel best seller, membaca sinopsisnya lalu meletakkannya kembali. Gitu-gitu aja terus, kadang kalau ada bungkusnya yang udah hilang, ya udah gue baca colongan.
Arvan menghampiri gue, sepertinya cowok itu capek muter-muter. “Udah Sha milihnya? Lama amat.”
“Bentar ya, kalau milih buku tuh nggak boleh pakai waktu,” jawab gue lalu berjalan ke area buku komik. Arvan berkelit sambil mencak-mencak. Dia bosan nemenin gue. Gue tersenyum puas karena berhasil buat Arvan kesal.
“Rev? Revandra?”
Gue menoleh ke arah Arvan saat seorang cowok tak dikenal menepuk pundak dia.
“Ng, siapa?” tanya Arvan bingung. Gue cuma melongo melihat cowok itu. Gimana nggak, dia berpenampilan berbeda dari kami. Dengan lengan yang dipenuhi tato dan terdapat beberapa tindikan di area telinganya, membuat gue menilai ini bukan cowok baik-baik.
“Masa nggak kenal gue?” kata cowok itu sok akrab.
“Oh, Kenzo?! Anjir, Superman Benedict?” Arvan membulatkan matanya. Cowok yang kata Arvan namanya Kenzo itu tersenyum lebar. Gue mengernyit heran, kok bisa Arvan kenal sama orang tampang berandal kayak gitu.
“Kok bisa seorang Imp Boy ke toko buku?” Kenzo bertanya heran.
“Bukan gue, ini temen gue yang mau ke sini,” jawab Arvan.
Oh, gue ini cuma temannya toh. Ya. Iya sih emang teman. Tapi kok kerasa aneh aja gitu. Gak tahu ah. Sekarang mereka saling merangkul. Terlihat wajah Arvan berseri-seri, nggak kayak tadi waktu merengek ke gue.
“Lo berubah 180 derajat, Rev. Gimana luka yang waktu itu udah sembuh?”
Luka?
“Yang waktu itu nggak usah dibahas, Ken.”
Gue pura-pura sibuk dengan buku komik yang gue baca. Nggak mau ikut obrolan absurd mereka. Gue aja gak kenal dengan yang namanya Kenzo itu. Tapi, kenapa Arvan dipanggil Rev? Rev nama belakang dia? Tapi kalau nggak salah si Kenzo itu manggil Arvan, Revandra?
“Lo masih ditunggu sama anak-anak. Yang lain pada rindu katanya,” jelas Kenzo.
“Gue mau fokus ke OSIS aja.”
“Wah, ikut OSIS lo? Nggak nyangka deh.”
Gue mulai nggak enak, berasa pengganggu berdiri di sini. Baru aja gue mau beranjak, Kenzo mulai nyeletuk dan membuat gue berbalik melotot.
“Cewek lo ya, Rev?”
“Bukan. Kan tadi kata Arvan, gue temennya,” sahut gue sinis. Malas ketemu orang baru.
“Oh iya lupa.” Kenzo memberikan tangan kanannya. “Kenalin gue Kenzo Ananta. Gue man—”
Kalimat Kenzo terpotong saat Arvan buru-buru menarik bahu Kenzo ke belakang lalu diputarbalikkan dan menyekapnya. “Nggak usah bilang,” bisik Arvan yang masih bisa gue dengar.
“Oh? Ng, gue teman lamanya Revandra,” lanjut Kenzo setelah berkode-kode dengan Arvan.
“Revandra?” tanya gue kecil.
“Eh, itu, jadi, dulu emang suka mengubah-ngubah nama,” jawab Arvan terlihat gugup. “Jadi, yah, gitu.”
“Ohh,” sahut gue kecil.
“Gue tunggu di luar ya, Sha,” kata Arvan lalu pergi mengajak Kenzo setelah gue mengangguk kecil.
Kini gue mulai memasuki area buku random. Ya, gue nggak tahu ini area apaan, yang pasti bukunya bukan buku cerita.
Ck, Elisha, bodohnya sampai ke ubun-ubun.
Mata gue melirik buku panduan “Belajar Piano itu Mudah Sekali lho!” lalu mengambilnya. Ck ck, judulnya kok gini amat sih. Gue jadi teringat keinginan gue buat bisa mainin piano dari dulu tapi belum kesampaian. Yang gue tahu, teman gue yang bisa main piano tuh cuma Arvan, nggak tahu kalau yang lain. Bisa deh kapan-kapan minta ajarin dia main piano.
Ah, jadi keinget Arvan. Cowok dengan sejuta misteri dan memiliki banyak sifat. Dan lagi-lagi dia buat gue terkejut dan bertanya-tanya. Kenapa bisa cowok macam Arvan temenan sama Kenzo.
Terus, siapa itu Kenzo, Anjir. Kenzo itu siapaaaa? Anak sekolah mana coba? Pertama kali lihat dia juga kayak bukan anak sekolahan. Rambutnya aja atasnya warna cokelat. Arvan itu siapanya Kenzo? Dan, Revandra itu?
Ah.
Bodo.
Siapa situ mau menuh-menuhin pikiran gue? Mau gantiin tempat Adrian?
Akhirnya, gue lebih memilih ke kasir daripada bergumul dengan pikiran yang entah udah melayang kemana. Gue membayar salah satu novel yang harganya nggak mahal-mahal amat itu lalu keluar dari toko. Terlihat Arvan dan Kenzo yang masih asik berbincang-bincang sambil sesekali bergurau.
“Van, gue udah,” panggil gue agak nggak enak karena seperti mengganggu mereka.
Arvan menaikkan alisnya. “Eh? Udah? Habis ini kemana?”
Gue mengendikkan bahu. “Nanti dipikir lagi pas jalan.”
“Oh Ya udah. Ken, gue mau balik dulu ya,” pamit Arvan.
“Ya, nanti jangan lupa chat gue okee?”
“Sip, kapan-kapan gue traktir makan deh. Sekalian mau reunian sama yang lain.” Arvan berbalik dan berjalan duluan. Gue mengikutinya dari belakang setelah pamit ke Kenzo.
“Van.” Gue berlari kecil untuk menyamakan langkah kaki. “Beli lolipop dulu ya.”
Arvan mengangguk kecil. Suasana mendadak canggung, tapi sudut bibir Arvan terlihat tertarik. Dia tersenyum kecil.
“Hm, Kenzo itu siapa ya Van? Penasaran gue. Terus kalian mau reunian, siapa aja? Emang lo dulu punya banyak teman ya Van? Ha, biasanya kalau gue punya teman lama pasti mereka udah pada nggak ingat sama gue.” Gue jadi berceloteh.
Arvan berdeham kecil, hanya mendengarkan, tetapi nggak menjawab.
“Ng, Van, kalau nggak salah Kenzo tadi nanyain lo tentang luka. Luka apaan ya?” tanya gue penasaran setengah mati.
Arvan sedikit mendelik, menoleh setengah ke arah gue lalu membuang muka. “Lo nggak perlu tahu.”
(º﹃º)
Zzzz.
Makasih buat yang bacaa.
Makasih banyak buat yang baca + voment heheh:)Tuesday, 8 Dec 2020.

KAMU SEDANG MEMBACA
Goodboy VS Fakboy
Genç KurguIni Gue Siswi paling pemalas nan mageran yang entah kenapa bisa terseret masuk ke dalam kelas penuh orang genius dan berbakat. INI GIMANA CERITANYA WOY?! ***** 11 IPA 1, kelas berisi orang-orang dengan kasta yang berbeda. Dari anak olimpiade astro...