Kimberly tersenyum sambil memasukkan beberapa pakaiannya ke dalam tas yang ukurannya lumayan besar. Semalaman ia sudah memikirkan ini. Penawaran untuk belajar di Musarts. Ia sudah membicarakan ini pada Ibunya. Ibu Ratih, Ibunya Kimberly, wanita itulah yang menyuruh Kimberly untuk menerima penawaran itu. Itu semua demi masa depan putrinya. Kimberly merasa senang, akhirnya impian yang selama ini ia impikan akan terwujud. Kimberly memandangi sebuah foto yang ada di meja belajarnya. Seorang lelaki paruh baya yang duduk sambil memangku sebuah gitar.
"Ayah, akhirnya aku bisa wujudin impian Ayah." ujar Kimberly sambil tersenyum kecil seraya mengusap lembut foto itu.
Kimberly mengambil gitarnya dan memasukkannya ke dalam guitar bag pink miliknya. Ia pun meletakkan guitar bag-nya dipunggung. Kemudian menenteng tasnya keluar kamar. Ia pun berpamitan pada Ibu dan adik laki-lakinya.
"Ibu, aku pergi dulu ya." ujar Kimberly seraya memeluk ibunya.
"Hati-hati ya, Kim. Ibu selalu mendoakan kamu, Nak." ujar Ratih sembari tersenyum. Kimberly mengangguk pelan.
"Jaga Ibu dirumah ya, Dek." ujar Kimberly berpesan pada adiknya, Vino. Vino mengangguk semangat.
Kimberly pun berjalan meninggalkan rumahnya. Kemudian ia berbalik dan melambaikan tangannya pada Ibu dan adiknya. Mereka pun membalas lambaian tangan itu. Kimberly akhirnya menghilang di sudut jalan. Ratih tersenyum miris melihat kepergian putrinya. Meskipun ada rasa tidak rela, tapi ia tidak ingin mengecewakan putrinya. Ratih dan Vino akan melangkah masuk, namun langkahnya terhenti saat mendengar suara seseorang. Ratih menoleh dan melihat seorang lelaki tersenyum.
"Terima kasih, kamu sudah mengizinkan Kimberly pergi," ujar lelaki itu. Ratih menatap lelaki itu lama, kemudian ia tersenyum.
"Itu adalah impian Kimberly dan almarhum Mas Bryan. Saya yang harusnya berterima kasih pada kamu, Kenzo." ujar Ratih. Kenzo tersenyum senang.
"Saya pasti akan menjaga Kimberly dengan baik," ujar Kenzo. Ratih mengangguk sambil tersenyum.
-----
Adi memperhatikan dua koper besar yang ada dihadapannya. Kakek sepertinya serius dengan kata-katanya. Tadi pagi ia dapat kiriman dua koper besar berisi pakaiannya. Adi mengacak rambutnya frustasi. Tanpa sengaja ia melihat selembar kertas di atas meja. Adi mendekati kertas itu dan menatapnya lekat. Ia menarik napas pelan. Tidak ada pilihan lain. Sepertinya ia harus pergi ke tempat itu. Menyetujui penawaran yang diberikan padanya. Adi membereskan kamar yang ia tinggali beberapa hari ini. Sekilas ia melihat sederet piala yang tersusun rapi di atas rak kaca. Piala penghargaan dari berbagai lomba ajang musik. Best drummer teenegers, best drummer school, dan masih banyak lagi.
"Apa harus gue ngelakuin ini?" gumam Adi.
Setelah dirasanya yakin, Adi pun melangkah keluar dari kamarnya. Ia menyeret dua koper itu dengan susah payah. Tidak ada uang. Tidak ada kendaraan. Dikejar-kejar rentenir. Apalagi yang harus ia lakukan selain menerima penawaran itu.
Dari kejauhan, ada sesosok lelaki yang berjas hitam dan memakai kacamata hitam. Ia mengambil ponselnya lalu menghubungi seseorang.
"Dia sudah berangkat, Tuan. Sepertinya akan pergi ke tempat itu," ujar lelaki itu.
"Bagus. Ikuti dia terus," ujar seorang diseberang.
"Baik, Tuan." ujar lelaki itu kemudian menstarter mobilnya lalu pergi.
Di tempat lain, dua orang sedang menikmati secangkir kopi di Coffee Shop.
"Aku harap kamu bisa menangani anak itu, Kenzo."
"Kakek tenang saja, dia pasti akan belajar dari hal ini." ujar Kenzo sembari tersenyum.
-----
Stefan berdiri sambil memandangi bingkai foto yang bertengger manis di atas meja belajarnya. Foto yang menunjukkan senyum dirinya bersama seorang gadis. Di foto itu, mereka terlihat sangat bahagia. Ia merindukan saat-saat bahagia itu. Ia melihat sebentar ke arah kertas yang digenggamnya.
"Kita akan ketemu lagi. Dan saat itu terjadi, kita akan bersatu lagi," ujar Stefan.
Ia pun memasukkan bingkai foto itu ke dalam tas ranselnya. Tak lupa ia juga memasukkan gitarnya kedalam guitar bag hitamnya. Ia pun keluar kamar dengan ransel dan gitarnya. Stefan menuruni anak tangga menuju ruang tengah.
"Kamu mau kemana, Stefan?" tanya seorang wanita tua namun masih terlihat sangat anggun.
"Aku mau pergi, Oma." jawab Stefan.
"Pergi kemana lagi. Kamu baru saja pulang," ujar Oma khawatir.
"Oma ngga usah khawatir sama aku. Aku pasti baik-baik aja," ujar Stefan lembut.
"Nanti Oma bicara sama Papa kamu, supaya kamu...""Ngga usah, Oma. Aku cuma ingin nikmatin masa muda aku." ujar Stefan sambil mengedipkan sebelah matanya. Oma hanya tersenyum sambil membelai lembut rambut cucunya itu. Stefan pun melangkah pergi meninggalkan rumahnya. Dengan motor kesayangannya, ia melaju ke tempat yang akan ia datangi.
-----
Yuki berdiri didepan sebuah gedung yang bertingkat. Terlihat mewah dan sangat megah. Desain seerhana namun sangat artistik. Dengan koper ukuran sedang ditangan kanannya, Yuki menyeret koper itu masuk kedalam. Sampai didepan gerbang ia menghentikan langkahnya. Ia tidak menyangka akan berada ditempat ini. Tempat yang selalu menjadi bahan perbandingannya dalam menentukan yang terbaik. Tapi sekarang, ia harus rela berada disini demi masa depannya.
"Roda kehidupan selalu berputar Yuki. Dan sekarang, roda lo ada dibawah. Tapi, lo harus mengayuhnya hingga roda itu kembali ke posisinya, di atas." ujar batin Yuki menyemangati dirinya sendiri.
Sebuah bajaj berhenti tepat di depan tempat dimana Yuki berdiri. Yuki menoleh karena suara berisik bajaj. Seorang gadis turun dari bajaj sambil membawa tas besar dan guitar bag-nya. Yuki memperhatikan gadis itu dari ujung kaki hingga kepala. Cantik. Gadis itu adalah Kimberly. Dengan senyum ramah ia berjalan mendekati Yuki.
"Hai..." sapa Kimberly lembut seraya tersenyum. Yuki hanya tersenyum kecil.
Tak lama kemudian sebuah jeep berhenti. Dan keluarlah seorang lelaki. Mata Yuki menyipit tajam melihat seseorang yang keluar dari jeep itu. Lelaki itu, sepertinya Yuki mengenalnya. Adi menyeret dua kopernya turun dari jeep. Kemudian melambaikan tangan pada temannya di dalam jeep. Lelaki itu pun berbalik dan melihat seorang gadis yang membawa tas dan guitar bag. Ia ingat, gadis itu adalah gadis yang ia lihat di bar. Mata Yuki membulat besar saat menyadari lelaki itu adalah orang yang sama yang pernah ia lihat.
"Hei, pencopet!! Balikin dompet gue!!" pekik Yuki yang membuat Adi ternganga karena kaget. Perlahan Adi mulai melangkah mundur dan siap berlari.
"Heii!! Jangan kabur lo!!!" teriak Yuki kesal. Ia pun mengambil sepatu converse yang ia kenakan. Lalu bersiap melemparkannya ke arah Adi.
Pluukk... Sepatu converse hitam milik Yuki mendarat indah dikepala seorang lelaki yang baru tiba di tempat itu. Yuki tercengang. Tanpa sadar mulutnya ternganga saat melihat orang itu melepas helmnya.
"Hah, astaga!! Mati gue... Itu kan... Cowok pengamen..." ujar Yuki tersendat.