Hutang dan Balas Budi

863 17 0
                                    


Perabotan bernuansa kayu menghiasi setiap sudut rumah. Alin, mama Petra senang mengoleksi barang dari ukiran kayu. Bukan cuma aksesoris pajangan di atas nakas, tapi juga lemari, kursi, meja, sampai tempat tidur pasti ditandai ukiran.

Di sinilah Petra berada. Dia menepati janji di akhir pekannya bertemu mamanya. Alin mengambil posisi duduk berhadapan dengan Petra yang nampak fokus mengerjakan sesuatu pada laptop di pangkuannya hingga tanpa menyadari kehadiran Alin.

"Hari Sabtu bukannya libur, Pet?" tanya Alin sambil melipat tangan di dada. Sedari tadi dia menunggu Petra untuk lepas dari laptopnya.

"Ada proyek yang harus dikerjain."

"Bisa lanjutin nanti?" pinta Alin, "Mama mau bicara."

Petra menutup laptopnya dan meletakkan benda itu di atas meja. Dia memijit pelan pangkal hidungnya.

"Mama mau bicarain apa sampai gak bisa dijelasin lewat telepon?"

Alin mengatur napasnya memastikan dirinya benar-benar siap menyampaikannya pada Petra.

"Tahun depan umurmu sudah 32 tahun, apa gak sebaiknya kamu cari pasangan?" tanya Alin sedikit ragu.

"Gak ada yang cocok," jawab Petra singkat.

Alin meremas kedua tangannya gugup. "Sebenarnya bukan itu yang ingin mama bicarakan. Duh gimana ya.."

"Maksud mama?"

Alin menarik dan mengembuskan napas secara teratur. Setelah dirinya cukup tenang, Alin menatap lekat Petra di hadapannya dengan sorot matanya yang tajam dan serius.

"Keluarga kita sudah banyak dibantu oleh Pak Darmawan, apalagi sejak peristiwa itu..." Alin menundukkan kepala, "sudah saatnya keluarga kita membalas budi," kata Alin memberanikan diri mengangkat wajahnya.

"Pak Darmawan kemarin ini datang ke rumah, membicarakan soal janji yang dibuat papa sebelum dia meninggal..." tenggorokannya tercekat, tak mampu meneruskan kata-katanya.

Petra menaikkan sebelah alisnya, "Janji? Janji apa?"

Suara Alin mengecil namun jelas terdengar oleh Petra. "Menjodohkan kamu dengan anak Pak Darmawan."

"Apa?!" Petra membelalakkan matanya. Dia seolah tidak percaya akan apa yang didengarnya. Apakah di jaman sekarang perjodohan masih berlaku?

"Ini kan janji papa, kenapa harus Petra yang ikut terlibat?" protes Petra tidak terima. " Apa gak ada pilihan lain selain perjodohan?"

"Mama sudah menawarkan pilihan untuk menjadi mitra bisnis keluarga kita, tapi... Pak Gunawan sepertinya kurang setuju sama usul mama," jelas Alin. "Jujur, saat papa buat keputusan sepihak, mama gak setuju. Mungkin kalau papa masih ada, kita bisa diskusikan kembali dengan bijak. Tapi sekarang..." Alin menatap sendu mata putranya.

Petra membisu.

"Pak Gunawan dan anaknya akan datang hari Sabtu depan ke rumah. Mama tahu kamu gak setuju, tapi setidaknya kamu temui dulu anaknya yah," pinta Alin. "Kalau nanti gak suka, mama gak akan maksa."

Petra menimbang-nimbang usul mamanya. "Oke, dengan syarat gak ada pemaksaan untuk acara perjodohan ini." Petra menekankan sekali lagi.

Alin menyetujuinya.

Petra memijat pelan pelipisnya. Satu masalah belum selesai sudah timbul masalah baru. Benar-benar memusingkan.

***

Kepala Petra seakan mau pecah. Pertama masalah perjodohan, kedua soal ...

"Pagi, Pak Petra," sapa Yosika tersenyum lebar. Ujung rambutnya digelung menonjolkan kesan elegan seorang wanita.

Crush on You [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang