Hati yang Hancur dan Benih Cinta

876 19 1
                                    


Gema tawa terdengar di ruang tamu rumah Petra. Alin menyambut hangat kedatangan Gunawan beserta putrinya yang hendak dijodohkan dengan Petra. Sesekali Alin melirik ke anak tangga, menunggu Petra turun.

"Pak Gunawan, saya permisi dulu, manggil Petra," ijin Alin. Gunawan mempersilahkan.

Starla memandang Gunawan risau. "Pa...Starla udah dewasa. Starla bisa kok nentuin pilihan sendiri, termasuk pasangan hidup," gerutu Starla.

Gunawan menarik napas kemudian menggenggam tangan Starla.

"Sayang, kita sudah bicarakan ini di rumah," tegas Gunawan. "Papa yakin dia orang yang tepat buat kamu."

Selang beberapa lama, Alin turun didampingi Petra yang ogah-ogahan mengikuti acara perjodohan konyol ini.

Sontak mata Petra terbelalak akan sosok yang tengah duduk di ruang tamunya. Demikian juga Starla yang tidak dapat menahan keterkejutannya.

"Starla?"

Gunawan menengadah lalu tertawa senang, "Kalian sudah saling kenal?" tanyanya heran.

"Pak Petra," sahut Starla gugup tanpa melepas pandangannya pada pria gagah itu. Otot tangannya tercetak jelas di balik kaos hitam slim fit yang dikenakan Petra.

"Starla sekretaris aku, Ma, Om." jelas Petra.

"Wooaaaah, Alin, kamu dengar itu. Mereka ternyata satu kantor," kata Gunawan sambil tertawa. "Kapan kita bisa melangsungkan perjodohan kalian?" tanyanya langsung ke inti masalah.

Baik Petra, Starla maupun Alin terkejut mendengarnya.

Starla menyenggol pelan lengan Gunawan seraya berbisik, "Papa, apaan sih."

Gunawan tersenyum, "Biasa, putri saya agak pemalu. Gimana Petra? Starla tidak membuat masalah di kantor kan?"

"Papaaa!" Kali ini Starla mencubit pangkal lengan Gunawan. "Jangan bikin malu deh," ujarnya cemberut.

Petra memaksakan senyumnya, sementara otaknya terus mencari cara untuk menggagalkan perjodohan ini.

"Alin, kira-kira kapan bisa menyatukan kedua anak kita ini?" tatapan Gunawan beralih ke Alin yang sedari tadi tidak mengeluarkan suara.

Alin menarik napas dan meyakinkan Gunawan dengan perkataannya. "Kalau soal itu, saya serahkan sepenuhnya pada Petra. Toh yang menjalankan kan mereka, betul kan, Pak," jawabnya bijak.

Gunawan mengusap dagunya sambil mengangguk-angguk. Ada benarnya juga ucapan Alin, pikirnya.

"Maaf, Om. Saya tidak bisa," ucap Petra jujur.

Gunawan melotot, mukanya memerah menahan amarah. "Kamu bilang apa?"

"Saya..." belum selesai Petra melanjutkan kalimatnya, Alin menyela meredam situasi yang mulai memanas.

"Uhmm... Pak Gunawan, maksud Petra adalah dia tidak bisa secara mendadak begini, karena mereka kan belum saling kenal satu sama lain. Hubungan mereka hanya sebatas di kantor saja. Bagaimana kalau kita berikan waktu pada keduanya untuk menjalin hubungan yang serius sampai mereka memutuskan sendiri kapan tanggalnya. Gimana?" Alin tersenyum sambil menyikut pinggang Petra. Meskipun pelan, namun tepat terkena di salah satu tulang rusuknya sehingga pria itu harus sedikit menahan sakit.

"Benar juga," jawab Gunawan seraya berpikir. "Saya berikan waktu 1 bulan untuk kalian mengenal satu sama lain, setelah itu kita genapkan perjanjian," tegas Gunawan.

Starla terdiam akan keputusan Gunawan. Apakah ini yang Starla inginkan?

***

Kedekatan Starla dan Petra semakin hari semakin lengket. Apalagi sekarang status mereka 'berpacaran' membuat Starla berhak sepenuhnya atas Petra, tidak terkecuali menggandeng tangannya.

Yosika melihat kedekatan mereka pagi ini, berjalan beriringan masuk ke café. Starla erat menggenggam tangan Petra yang tidak menunjukkan ekspresi apa pun di wajahnya.

"Petra kamu pesan yang biasa kan?" tanya Starla.

"Hm."

Yosika terdiam, memandang nanar Petra yang seolah benar-benar ingin menyingkirkannya dengan membuatnya cemburu.

Cih, cara ini gak akan berhasil, kata Yosika dalam hati.

"Pagi, Pak Petra." Yosika mendekati Petra. "Tumben berduaan?" tanya Yosika basa-basi sambil menatap tajam tangan Starla yang dengan santainya menggandeng lengan Petra. Petra juga tidak keberatan akan hal itu.

"Hei, Yos. Biasa datang jam segini ya?" ujar Starla tersenyum manis setelah mengambil pesanannya.

Yosika memicingkan mata, menunjukkan ketidaksukaannya pada Starla. "Iya. Biar bisa ketemu Petra," tegasnya.

"Udah?" tanya Petra pada Starla dibalas anggukan. "Ayo, naik."

Secepat kilat, Yosika menghadang jalan dan berhenti tepat di hadapan Petra. Tatapan tajam Yosika pada Starla beralih lembut ketika menatap Petra.

"Ini buat Pak Petra," kata Yosika seraya menyodorkan kotak makan.

"Yos, saya harus bilang berapa kali sampai kamu berhenti. Nanti siang saya makan siang sama Starla. Jadi kamu kasih orang lain aja."

Wajah Yosika memerah. Dia merasa dipermalukan saat ini. Kenapa harus Starla? Hubungan mereka apa?

Yosika mengangkat wajahnya. "Aku buatkan bekal ini untuk bapak!" serunya lalu menarik paksa tangan Petra untuk memegang kotak makan tersebut. "Bapak mau makan atau nggak, terserah!"

Yosika berlari keluar café, buru-buru menekan tombol lift dan masuk. Bulir air matanya jatuh tanpa dia sadari.

***

Di luar dugaan Petra, rapat internal berlangsung lama dan terpaksa dia harus membatalkan janji makan siang bersama Starla. Rapat selesai tepat jam istirahat berakhir. Sungguh melelahkan.

Petra memutuskan kembali ke ruangannya. Sejenak dia melihat kotak makan yang diberikan Yosika tadi pagi padanya. Dibukanya kotak tersebut. Nasi dan ayam saus lemon ditata cantik beserta sendok-garpunya ada di sana.

Satu suap aja, niat Petra. Tetapi, suara perutnya mengatakan yang sebaliknya sehingga akhirnya Petra melupakan gengsinya sejenak.

Dia menyicip satu sendok. Saus lemon serasa meleleh dalam mulutnya, potongan ayam yang juicy dan lembut memanjakan lidahnya untuk memakan lebih.

Apa benar wanita itu yang memasaknya?

Satu suap lagi, pikirnya.

Dan sampai suapan terakhir, Petra menikmati bekal buatan Yosika.

***

February, 6th 2020

Crush on You [Terbit]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang