،، 18. PENJELASAN

12 1 0
                                    

"Ke-kepala suku!" jerit Helene reflek.

Ya, mereka berempat menemukan kepala suku sesungguhnya tengah disekap hingga keadaannya sangat memprihatikan.

Jeffrey dan Juki langsung membantunya untuk terbebas dari jeratan tali di mana-mana. Tak lupa pula mereka lepaskan kain yang menutupi mulut ketua suku tersebut.

"Hah ... terima kasih," ucapnya lega.

"A-anda ... bisa berbahasa Indonesia?" tanya Frapsy.

Ketua suku itu mengangguk dan menjawab, "Tentu, menjadi seorang pemimpin harus bisa segalanya." Pria itu berdiri sambil dibantu Jeffrey yang menahan lengannya agar tidak terjatuh. "Terimakasih, anak muda. Ah, aku Bima, bisa kalian perkenalkan nama kalian masing-masing?"

"Nama saya Jeffrey, pak. Ini rekan-rekan saya, Frapsy, Juki, lalu Helene," tutur Jeffrey memperkenalkan teman-temannya.

"Senang bertemu dengan kalian. Sebaiknya kita segera pergi dari sini, takutnya kita akan menjadi korban selanjutnya dari virus tersebut," usul Bima.

"Virus?" tanya Frapsy bingung.

"Akan saya ceritakan nanti, yang penting kita harus keluar dari sini." Bima kemudian menggiring mereka berempat keluar melalui jalur yang lain dan tentunya tidak harus memanjat seperti tadi.

***

Mereka berlima sampai di suatu pohon. Frapsy bertanya-tanya, mengapa kepala suku itu menggiring mereka ke pohon yang besar dan menjulang tinggi?

"Ayo naik," ajak Bima.

Juki ternganga dan memandang dari bawah pohon hingga ke atas. "Seriusan?! Ini tinggi banget, mana gak ada tangganya."

"Kayak gak pernah manjat tebing aja," sindir Jeffrey.

"Di atas ada rumah pohon yang sudah saya sembunyikan, lagi pula batang pohon ini sudah saya potong membulat di beberapa sisi untuk membantu kaki kita berpijak," ungkap Bima.

"Saya ada bawa tali, pak. Mungkin bapak bisa naik duluan lalu simpul tali ini di salah satu ranting yang kokoh agar kami bisa lebih terbantu," celetuk Frapsy. Gadis itu dengan segera membuka tasnya dan mengambil seutas tali yang cukup panjang.

Frapsy menyerahkan tali tersebut ke arah Bima. "Ini, pak."

Bima menerimanya dengan senang hati kemudian mulai memanjat pohon yang luar biasa besar ini.

***

Mereka berlima telah sampai di rumah pohon yang dimaksud dengan bantuan tali yang Frapsy bawa. Tak lupa pula mereka tarik tali tersebut ke atas agar tidak ada orang lain yang naik ke rumah pohon rahasia ini.

Frapsy menatap kagum rumah tersebut dan menyentuh dinding-dinding rumah yang masih kokoh. "Bagus, gede lagi. Tinggal dibersihin aja, bisa jadi basecamp kita," pujinya.

Bima tersenyum. "Ah, terimakasih. Ini merupakan tempat rahasia para petua suku Loqa untuk mengadakan rapat penting."

"Oh, jadi namanya suku Loqa?"

Bima mengangguk membenarkan. "Kala itu, hidup kami sangat damai. Semuanya berakhir ketika seorang penyihir berjubah hitam itu meracik ramuan aneh yang membuat anggota suku bertingkah aneh, tak terkendali, dan saling menggigit satu sama lain menularkan ramuan itu."

"Oh! Saya tadi liat penyihir itu, dia ke menara yang ada di bagian utara," beber Frapsy.

"Ya, aku sempat melihat wajahnya. Ternyata dia musuh bebuyutanku ketika pemilihan ketua suku. Dan di menara itu lah ia meracik ramuan tersebut, biasanya para anggota suku mengikutinya ke menara tersebut untuk menambah energi atau meningkatkan tingkatan virusnya."

Helene mengernyitkan dahinya. "Ada tingkatannya?"

"Ada, virus A, hingga D. Kaumku awalnya terkena virus D, lalu ini kedua kalinya mereka ke menara. Artinya sudah sampai hingga virus B."

"Virus A pasti dipakai sama penyihir itu," tebak Juki dan dibalas anggukan Bima.

"Siapa nama penyihir itu?" tanya Jeffrey.

Bima kembali membuka suara, "Gema. Saya yakin ia sudah merencanakan peningkatan virus A miliknya menjadi virus Z. Dan saya dengar, ia juga memiliki membuang virus tersebut ke sungai sehingga mengalir ke lautan, entah ikan-ikan atau siren yang melegenda itu juga terkena atau tidak."

"Jadi ... kita harus gimana?" tanya Helene.

"Kita susun rencana hari ini juga, siang nanti kita harus cari bahan-bahan untuk membuat racun sebagai penjebak mereka, dan ini." Baiq mengeluarkan secarik kertas usang dari sakunya kemudian membuka suara, "Ini resep penawar beserta vaksinnya. Saya menulisnya diam-diam sebelum mereka menyekap saya di gudang itu."

Frapsy bertepuk tangan kesenangan kemudian mengacungkan jempolnya. "Mantap!"

***

The IslandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang