PART 11 : Baju Penganten

105 5 0
                                    

"Bi, aku baik-baik saja kok, jangan khawatir," ucapku di balik telpon.

"Okelah semoga sehat selalu Bibiku tersayang muachhh!" sambungku lalu menutup sambungan telpon secara sepihak.

"Lebay uwek!" Suara itu! Gak salah lagi kalau bukan James.

"Kenapa loe? Minta ditampol hah!" sengakku.

"Ih biasa aja kalee," balas James dengan gaya melambai, aku hanya diam tak berniat membalasnya dan pergi meninggalkannya tanpa satu katapun.

Mataku menatap jam bahwa jam makan siang mulai tiba aku pun bergegas ke dapur untuk memasak makanan namun kulkas saat ini dalam keadaan kosong melompong minta diisi.

Hadeh ... jadi aku harus panas-panasan ke pasar.

Tak habis pikir aku bergegas mengambil tas dan pergi ke pasar, dalam perjalanan aku beberapa kali mengernyit karena mataku tak dapat merespon cahaya matahari terlalu banyak.

Sesampai disana ternyata pasar dalam keadaan cukup ramai membuat diriku mau gak mau harus berdesakkan untuk membeli keperluan rumah.

Gaes jangan dicontoh yaaa sekarang dalam keadaan pandemi, pokoknya jangan meniru adegan rakyat +62 yaa ... hanya orang yang tidak takut mati aja yang boleh melakukan ini.

Bisa ae loe! Loe kira Miss Limbab apa?

Keringatku berkucur cukup deras bahkan hidungku menghirup banyak sekali aroma seperti ikan, ayam, sayur, dan ketek pun ada.

Aku mulai gak tahan woy ama baunya, ada orang ngangkat tangan keatas segala lagi, sehingga bom asam ijo pun bergelegar membuat aku dan sekitarnya ingin muntah uwek.

Sesudah habis berbelanja aku bergegas pergi, takutnya kalau lama-lama disana bisa mati berdiri aku sangking gak kuat bau boom ijo.
Aku berjalan dengan dua kantong plastik penuh yang berada di kedua tanganku.

Sekektika langkahku terhenti saat melihat sebuah butik yang memamerkan baju penganten dibalik kaca toko, mataku menatap takjud.
Aku berpikir kapan aku menikah ya?

Yaelah umur masih 20 tahun belagu pengen nikah.

Aku terus menatap gaun itu membuatku teringat peristiwa tiga tahun yang lalu, dimana James mengodaku dan mengajakku segera menikah.

Hatiku bercampur aduk, hanya bisa tersenyum mengingatnya.

Poor Nhur.

"Oke saat ini Nhur, loe harus move on ama James gak boleh mikir masa lalu oke," ucapku menyemangati diri sendiri.

Aku tersentak kaget, ketika sepasang tangan melingkar ditubuh memeluk erat.

"Nhur, loe masih ingat gak tiga tahun yang lalu loe suka liat baju pengantin dibalik kaca butik lalu aku memelukmu dari belakang dan mengodamu," bisik James.

"J--james sejak kapan?"

"Sejak tadi, saat loe nyemangati diri sendiri buat move on dariku," jawab James, tatapan itu! Tatapan yang palingku benci dimana dia memasang wajah sok ganteng dengan smirk gaje.

Emang ganteng sih tapi karena dia mantan aku bilang dia cowok terjelek di dunia.

"Oh ... Ternyata ada cewek yang gak bisa move on nih," sindir James.

Anjir gue disindir ama nih bambank bule.

"Enggak kok, ngaco loe."

"Munafik!"

Njir aku benci dia, di wajahnya terpampang wajah sombong penuh kemenangan.

"Mas lepasin aku, gak malu apa diliatin orang?" perintahku namun James tak mengubris perkataanku malah pelukannya makin erat.

Semua orang memperhatikanku dan James yang dalam posisi awkward. Aku merasa malu kenapa dia memelukku erat, aku takut kalau ada yang mengenalku dan James.

"Keliatannya mereka pengantin baru?"

"Mereka mesra yaa?"

"Pengen pacar kayak itu, romatis banget daripada pacar aku boro-boro romantis inget tanggal gue brojol aja kagak."

James makin mengeratkan pelukan dan merekahkan senyuman bahagia.

"Lihatlah bahkan mereka iri pada kita, kenapa kamu masih menolakku ehm?" bisik James dibalik kupingku alhasil membuatku geli gak karuan.

"A--aku sudah bilang kalau Mas itu udah punya istri, aku gak mau sampai aku di cap pelakor oleh orang-orang."

"Hei, biarkan aku menikahimu dan menjalankan janjiku padamu dulu."

Aku terus meronta-ronta tapi apalah dayaku kalau tenagaku jelas kalah dengan kekuatan James.

"Kumohon lepasin aku," mohonku tak kusadari air mataku mengalir dipipiku.
Mata James terbelalak dan langsung melepaskanku, aku hendak berlari tapi dicekal oleh James.

"Aku anterin kamu pulang."

"Gak usah aku bisa sendiri."

"Aku majikanmu, ini perintah." Fix aku benci jika ia mengunakan kekuasaannya dengan seenak jidat, dengan terpaksa aku hanya menganggu.

"Berikan belanjaanmu biar aku yang bawa," pinta James, aku langsung menyodorkan belanjaku ke James, ia tersenyum manis padaku.

Njir udah buat gue mewek malah pake senyum tak berdosa.

James membukakan pintu mobil untukku, aku bergegas masuk dan tak lupa mengucapkan terima kasih.
Ia kemudian menyusul masuk ke mobil lalu menempatkan belanjaan ku di balik kursi belakang.

Diperjalanan pulang aku hanya menatap kearah luar jendela tanpa membuka suara, aku masih bete.

"Nhur," panggil James tapi tak ku pedulikan bodo.

"Maafkan aku," ucapnya kembali.

" ... " Aku hanya membisu.

"Aku masih mencintaimu, sungguh aku tak bohong."

"Nhur." Dia terus memanggilku berharap aku menjawab dan mendengar semua celotehannya.

"Nhur, oh come on aku ikhlas kalau kamu memarahiku, memukulku sampai babak belur juga boleh, asalkan jangan diemin aku terus, itu membuatku gak tenang dan sakit."

Kesabaranku habis dan menoleh ke arahnya.

"Bisa diem gak sih? Loe itu lagi nyetir nanti kalau kecelakaan gimana, kalau loe mau pindah alam gak usah ngajak-ngajak dong," marahku tapi dia malah tersenyum.

Mengapa dengan dia?

"Aku senang saat kau memarahiku, setidaknya kau tidak diemin aku udah cukup bagiku," kata James sambil menampak raut bahagia.

Senyuman itu ....

Membuatku mengingat semua kenangan kita saat kuliah di Amerika.

Senyuman itu ....

Mengingatkanku saat ia sengaja menjahiliku.

Senyuman itu ....

Mengingatkanku saat ia ikhlas melepaskan diriku menjauh dari hidupnya.

Aku menahan diri agar tidak menangis tapi aku tak kuasa menahannya seketika mataku mengeluarkan lelehan dari hati.
Aku menoleh kearah jendela mobil agar James tidak mengetahui bahwa aku lagi menangisi dirinya.

BERSAMBUNG ....



























Bossku Mantanku (On Going)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang