Bab 4. Menantangnya

106 15 4
                                    

Seulanga

Seandainya daerah ini tidak terjadi perang, keadaan tidaklah menjadi seburuk ini. Aku bisa kuliah, Ayah tidak perlu bekerja terlalu berat, dan Mak bisa melihat anaknya tumbuh besar dengan cara yang wajar.

Perang ini, membuat keadaan menjadi kacau. Kami hidup melarat dari tahun ke tahun. Setiap hari ada saja berita orang hilang dan ditemukan tanpa nyawa beberapa hari kemudian.

Setamat SMA aku harus membantu mencari uang dengan menjahit baju-baju tetangga. Namun, hasilnya tentu tak seberapa. Orderan yang kuterima hanya sebatas menambal pakaian-pakaian lama yang sobek. Jarang ada yang menjahit baju baru.

Ya lah. Tidak ada orang yang rajin bepergian dengan baju baru di tengah kondisi mencekam begini.

Saban hari keuangan kami menipis. Kami harus pandai berhemat jika ingin makan nasi setiap hari. Hasil kebun ayah juga tidak seberapa. Belum lagi harga anjlok di pasaran.

Pernah dalam satu bulan kami hanya makan nasi putih, gule rampoe¹, dan garam saja. Tidak ada ikan, tidak ada lauk istimewa. Itupun sudah harus kami syukuri, karena banyak yang kehidupannya lebih menderita dari kami.

Aku berharap perang ini segera usai. Ada banyak impian yang ingin ku raih jika keadaan sudah aman. Aku tidak ingin seumur hidup terjebak dalam perang tidak berkesudahan ini.

Namun sepertinya Allah belum mangabulkan doaku. Kemarin aku melihat satu kompi tentara kembali menempati gudang pinang di ujung jalan. Biasanya jika mereka sudah dikirimkan kemari, keadaan sedang memanas.

Pakwa juga sempat mengingatkan agar aku lebih berhati-hati ke depannya. Mereka sedang menyusun strategi untuk mengusir para prajurit negara itu dari sini.

Ah, rasanya lelah sekali.

"Tentara yang dikirim kali ini lumayan lebih ramai dari sebelumnya, ya?" ujar Minah, salah satu teman ngajiku, ketika kami sedang berkumpul di balai pengajian seusai membersihkan tempat tersebut. Hari ini Aku, Cut Fatma, dan Minah bertugas membersihkan balai.

"Iya, makanya ingat apa yang Teungku bilang kemarin sore. Kita harus lebih berhati-hati," sahut Cut Fatma sambil menyapu lantai. Aku yang sedari tadi merapikan kitab hanya diam tidak ingin menanggapi.

"Iya. Hati-hati!" tekan Minah lagi.

"Kemarin Anga sudah ketemu tuh sama para lelaki berseragam loreng itu." Cut yang baru saja menyelesaikan sapuannya menyahut lagi. Padahal aku sedang malas membahas mereka.

"Oh ya? Mereka ganteng, gak?" Minah bertanya antusias. Dia bahkan mengedip-ngedipkan matanya genit ke arahku. Lihat, siapa tadi yang bilang harus hati-hati? Aku menghela napas kesal.

"Buat apa ganteng kalau jahat? Ke laut aja sana," jawabku ngasal.

"Berarti beneran ganteng, dong? Awas jangan jatuh cinta." Entah bagaimana ceritanya dua wanita itu sudah berada di sampingku dan menatap dengan pandangan genit. Aku tahu, mereka suka sekali mengusili aku yang menurut mereka terlalu kaku. Tapi tetap saja terkadang aku terpancing.

"Amit-amit."

Lalu kami tertawa kencang karena Minah dan Cut bergantian menggelitik perutku yang lumayan sensitif. Kami baru pulang menjelang azan zuhur karena ada pekerjaan lain menanti di rumah.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang