Bab 27. Petuah Ibu

58 11 2
                                    

Bab 27. Petuah Ibu

Seulanga

Seulanga

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Aku sangat bersyukur malam itu bisa bertemu dengan Mas Teguh dan pulang dengan selamat. Perasaanku sedikit lega setelah bertemu sosok pengisi relung hatiku selama ini. Setidaknya aku tahu, jika perasaan kami sama dalamnya. Aku mencintai Mas Teguh sangat dalam.

Meskipun rencana pernikahanku dengan Bang Halim terus berjalan. Aku masih memiliki sisa harapan jika hubunganku dan Mas Teguh masih punya peluang.

Beberapa hari ini aku berubah menjadi sosok yang sangat pendiam dengan orang rumah. Aku tidak lagi berbicara jika tidak perlu semenjak hari lamaran itu. Meski tidak ingin marah, tapi lubuk hati terdalam masih belum bisa menerima perjodohan ini.

"Kak, Mala mau main dulu ya," ucap gadis kecil itu di sela-sela kegiatan menjahit.

"Hati-hati, Dek," ingat ku sebelum tubuh kecilnya hilang di pertigaan jalan dengan berlari kecil.  Ia tidak lagi menyahuti perkataanku karena beberapa teman sebayanya sudah menunggu.

Selepas kepergian Mala, aku kembali melanjutkan jahitan yang belum selesai. Ada dua baju yang perlu di tambal dan satu baju baru milik warga yang mesti dijahit. Rutinitas wajib yang sudah kulakoni selama beberapa tahun ini. Aku selalu menikmati kegiatan ini karena bagiku menjahit selalu butuh konsentrasi penuh. Hal itu kadang sangat penting untuk.mengusir segala pikiran negatif yang muncul seenaknya dalam kepala.

Pasca pertemuan terakhir dengan Mas Teguh, pikiran buruk masih tetap menghantui. Entah kenapa aku berpikir jika pertemuan malam itu akan jadi pertemuan terakhir kami. Aku takut Mas Teguh tidak berhasil meluluhkan hati Ayah dan akhirnya aku terpaksa menikah dengan Bang Halim.

Bayangan pernikahan dengan pria yang tidak kucintai membuat perutku  mual seketika. Aku tidak sanggup menjalani rumah tangga seumur hidup dengan pria yang tidak kucintai. Bagaimana mungkin aku bisa hidup dengan seorang lelaki tetapi dalam pikiran dan hatiku ada sosok lain yang menghantui. Itu sama saja aku mengkhianati pernikahan. Namun, dipaksa jatuh cinta pun aku tidak bisa.

Bagiku pernikahan itu sakral. Sekali seumur hidup. Sekali menikah, maka hanya ajal yang boleh memisahkan hubungan ini. Tidak ada kata perceraian dalam kamus hidupku. Makanya jika memang Bang Halim yang akan jadi suami, aku takut jadi orang jahat yang tidak bisa tulus membalas cintanya.

Meski kata orang cinta itu datang karena terbiasa, aku tidak yakin bisa jatuh cinta lagi setelah ini. Perasaanku yang sangat dalam pada Mas Teguh bukan bualan semata.

Aku menghela napas berat, bayangan Mas Teguh selalu berhasil mengusik hariku.

***

Selesai shalat zuhur aku kembali sibuk di mesin jahit. Ada jahitan yang mesti ku selesaikan hari ini karena akan di ambil sore nanti. Ketiga adikku sudah berangkat ke balai pengajian. Biasanya, jika tidak sedang di hukum begini aku juga akan ikut. Jika tidak sedang belajar mengaji, aku dan teman-teman akan membantu mengajarkan bacaan Qur'an anak-anak seusia Munir.

Sebenarnya aku rindu suasana pengajian. Namun, mau bagaimana lagi? Sampai hari ini belum ada izin keluar rumah dari ayah. Padahal sedikit pun aku tidak berusaha memberontak lagi, kecuali malam itu.

"Kak, sudah makan?" suara Mak dari arah belakang tubuh membuat aku berpaling. Aku menoleh ke arahnya yang sedang menatapku sendu.

"Sudah, Mak," jawabku singkat namun tetap berusaha sopan.

Aku melihat Mak bergerak duduk di kursi tidak jauh dari tempat yang sedang kududuki. Matanya lurus menatap pada tanaman yang sudah mengering di depan rumah.  Aku juga tidak berani memulai pembicaraan. Sempat lama didiamkan, membuat ku enggan membuka percakapan. Padahal aku rindu petuah-petuah ibu yang selalu berhasil menenangkan gelisah ku.

"Sebelum menikah dengan ayah, Mak sama sekali tidak mengenalnya. Kami bertemu di hari pernikahan," ucap Mak membuka suara. Aku masih menerka ke arah mana pembicaraan ini. Sesaat Mak diam, tidak lagi melanjutkan ceritanya. Matanya masih lurus menatap ke mana saja selain ke arahku. Helaan napasnya yang memburu membuatku tahu ada hal berat yang ingin diutarakannya. Aku akan setia menanti apa yang ingin dibicarakannya.

"Tidak seorang orang tua pun yang ingin sesuatu yang buruk untuk anak-anaknya," lanjut Mak penuh makna. Napasku tercekat seketika.

Apa sebenarnya maksud Mak membicarakan semua ini? Aku tida berani menebak-nebak arah pembicaraan nya. Jadi, selama Mak tidak menanyakan alasan atau pendapatku, aku memilih diam mendengarkan.

"Kami orang tua ini ingin yang terbaik untuk kebahagiaan anaknya. Menolak keinginan anak bukan berarti tidak mencintai putrinya. Hanya saja kami menginginkan kehidupan anak-anak kami bisa bahagia tanpa harus melanggar norma yang berlaku," ucap Mak lagi. Kali ini ia mengalihkan tatapannya ke arahku.

Lidahku gatal ingin membantah, tapi ku tahan agar tidak menjadi anak durhaka.  Mungkin benar, ayah dan Mak ingin yang terbaik untukku. Namun, bagaimana bisa aku bahagia jika terpaksa harus menikahi lelaki yang tidak kucintai. Aku juga ingin merasakan cinta dari orang yang kucintai, bukan malah dipaksa mencintai orang yang sudah kuanggap abangku sendiri.

"Cinta itu bisa datang karena terbiasa, Neuk. Kamu akan bisa mencintai suamimu seiring berjalannya waktu. Daripada harus menentang keinginan orang tua hanya demi lelaki yang berbeda dengan kita. Terlalu banyak perbedaan di antara kalian," tutur Mak lagi. Aku menyadari perkataan Mak kali ini bisa jadi benar, tetapi sulit membayangkan jika aku terpaksa menghapus nama Mas Teguh di hatiku. Aku tidak rela.

"Mak, Mas Teguh juga manusia biasa,"  bantahku lirih. Air mata sudah menggenang di pelupuk mata. Rasanya perih ketika mendengar ada begitu besar jarak yang membentang di antara hubungan ku dengan lelaki berseragam loreng tersebut.

Dia dengan patriotismenya yang tinggi, juga keluargaku yang mencintai tanah kelahiran kami dengan segenap jiwa raga. Dua hal yang tidak akan menemukan muara jika perang ini tidak berakhir.

Aku percaya perang ini pasti menemukan suatu kesepakatan di masa depan. Namun, siapa yang bisa menjamin kapan waktu itu akan datang?

Selama perang ini masih berkecamuk, maka selama itulah sangat sulit aku bisa bersama dengan lelaki yang kucintai. Apalagi sekarang, ayah sudah mulai menyiapkan berkas pernikahan. Rencananya aku akan dinikahkan dalam waktu dekat, tergantung kapan Bang Halim bisa turun gunung dalam keadaan aman. Apalagi semenjak penangkapan Razak, aku tahu pejuang pasti sudah menyiapkan siasat balas dendam. Pakwa tidak akan tinggal diam begitu saja anaknya ditangkap aparat.

"Neuk, jika kamu mencintai kami sebagai keluargamu. Maka cobalah tidak membantah keinginan ayahmu. Cobalah lapang dada dan terima ini sebagai takdir yang tertulis untukmu."

Kalimat terakhir Mak membuat aku tidak bisa membantah lagi. Kenapa perang ini harus pecah di sini? Kenapa aku tidak bisa memilih jalan hidup yang kuinginkan dengan mudah? Kenapa semua terasa sulit dan yang ada hanyalah jalan buntu semata?

"Mak mau menggembala dulu, bantu Runi memberi makan bebek jika sudah petang," pamit Mak setelah selesai dengan petuahnya. Aku hanya menggaguk dan menyalaminya sebelum pergi.

Ya Allah, hanya padamu aku berharap keajaiban itu ada.

Bersambung...

Semoga suguhan ini menarik. Duh, belakangan aku tetiba insecure ceritaku tidak menarik.

Kalian kasih semangat dung, biar gak jadi insinyur aku 🤣

Pantau akun partnerku juga ya AnikAfni255

Love,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang