Bab 19. Melepas Rindu

51 11 0
                                    

Teguh

Bagaimana mengungkapkan kebahagiaan hatiku saat ini? Beginilah yang aku rasakan, mematut diri di depan cermin. Aku memakai kaos oblong, celana jins dan topi yang dulu diberikan oleh adikku.

Cut, sahabat Seulanga memberi kabar jika pertemuan tidak jadi di rumahnya. Takut ada yang bilang ke orang tuanya dan nanti akan sulit lagi untuk bertemu.

"Ganteng kali kau Bang, mau kemana kah?" tanya Togar, pemuda asli batak ini memang suka sekali menggodaku.

"Mau memperjuangkan cinta," jawabku asal sambil merapikan topi yang aku pakai.

"Semoga berhasil, Bang!" Hanya acungan jempol yang aku berikan sebagai tanggapan lalu meninggalnya sendiri.

Kami sepakat untuk berjumpa di pasar ikan, Cut menyuruhku untuk menunggu di depan warung bakso. Aku meminjam sepeda warga sekitar dengan alasan mencari sesuatu yang tidak ada di kampung sini, harus ke pasar desa sebelah.

Tak sabar rasanya bertemu Anga. Kukayuh sepeda dengan semangat dan tidak terasa sampailah di depan sebuah warung yang disebutkan Cut waktu itu. Tak berapa lama menunggu, aku melihat keduanya sampai juga tepat di hadapanku. Senyum bahagia tak bisa aku sembunyikan lagi. Seulangaku, akhirnya aku melihatmu.

Seulanga menatapku sedikit lebih lama, mungkin karena aku tidak memakai seragam yang biasa aku pakai setiap hari. Cut memperingatkannya dan tak berapa lama Cut pamit untuk membeli kain di pasar.

"Duduk dulu, Dik." pintaku kekasihku ini.

"Iya, Mas."

Kami memilih duduk di bangku yang sedikit berada di pojokan demi privasi. Seulanga bercerita jika warung bakso ini sudah ada sejak lama dan jadi favoritnya.

Aku memesan dua mangkuk bakso untuk kami. Tidak lupa syrup orange jadi menu favorit setiap kali makan di sini, itu kata Seulanga. Aku ikut saja apa yang sering dia pesan.

"Menu apa saja akan terasa lezat dan segar, asal Dik Anga ada di sini," ujarku membuat pipinya merona seketika. Aku tidak bisa menahan diriku melihatnya menyembunyikan wajah dengan kerudung yang di pakai. Hal itu, tentu saja mengundang tawaku lepas begitu saja, dan tanganku terulur begitu saja mengacak kepala gadis ini. Bahagia rasanya bisa seperti ini.

"Kamu lucu, Mas suka," sambungku lagi. Wajah memerah Seulanga membuatku gemas ingin mencubit pipinya.

Setelah pesanan kami sampai, tidak ada lagi yang berbicara di antara kami. Aku bahagia bisa menghabiskan waktu berdua begini bersama gadis manis ini. Rasanya rindu yang sudah menggunung ini menemukan muaranya. Hanya dengan melihatnya saja, aku merasa duniaku akan baik-baik saja. Aku semakin yakin untuk berjuang bersamanya. Agar kelak, di masa depan dunia kami akan bisa bersatu. Tanpa hambatan dari siapa saja.

"Mas sudah sehat?" suaranya memecah keheningan ketika menanyakan kabarku. Ah, senang sekali mendengar nada khawatir dari gadis ini. Itu artinya, dia sangat peduli padaku.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang