Bab 31. Kontak Senjata

50 10 0
                                    

Teguh

Setelah hampir satu jam kami bersabar menunggu dengan hening, kini suara tembakan mulai terdengar. Timah-timah panas yang keluar dari senjata laras panjang ini semakin membuat suasana mencekam meskipun hari masih terang.

Aku masih setia mengintai dari balik semak tempatku bersembunyi, menunggu serangan dari lawan dan kami akan membalasnya. Kami tidak mau gegabah menembak sembarang dan menghabiskan peluru dalam laras panjang ini. Sesuai instruksi dari komandan.

Kewaspadaan harus terus ditingkatkan agar tidak ada korban, baik dari kami para tentara maupun dari warga sekitar. Aku masih tidak yakin jika tempat ini steril dari warga sipil, semoga saja firasatku ini salah.

Pandangan mataku tertuju pada semak seberang padang rumput, setiap ada gerakan yang mencurigakan tak akan kami biarkan terlewat. Namun, pandanganku beralih pada satu obyek tak jauh dari tempatku bersembunyi.

Di bawah pohon mangga ada seseorang yang sedang meringkup ketakutan, sepertinya itu seorang perempuan yang sedang menggembala kambing yang terlihat ada tiga ekor kambing di sebelahnya. Mungkin tadi tidak mengetahui jika tempat ini akan ada kontak senjata. Benarkan firasatku tadi.

Aku terus mengamati pergerakan dari lawan dan sesekali ke arah perempuan itu. Sepertinya tidak ada cara lain, aku harus menjemputnya untuk ikut bersembunyi ke sini. Tempat itu terlalu rawan jika terlalu lama, ditakutkan perempuan itu akan terkena timah panas dan fatal akibatnya.

Lima tembakan dari lawan dan kami balas dengan tiga tembakan, aku mengeluarkan satu peluru dari senapanku. Tak mahu ambil resiko jika ibu itu berada di sana lebih lama.

"ijin, Dan. Saya akan menjemput satu warga yang ada di bawah pohon mangga itu," ucapku pada Letda Adji yang kebetulan berada tak jauh dari tempatku berada. Kuarahkan pandanganku pada ibu itu yang semakin ketakutan mendengar suara tembakan.

"Tapi terlalu bahaya Serka Teguh,"

"Siap, Dan. Tapi lebih berbahaya jika beliau terlalu lama di sana," kekehku pada beliau.

"Oke, tetap waspada dan hati-hati," akhirnya Letda Adji memberikan ijin padaku.

"Siap, Ndan." Kuanggukkan kepala sebagai jawabanku.

"Hati-hati Bang Teguh," Dian ikut memperingatkanku.

"Hati-hati, Guh. Nyawamu jadi taruhannya." Samsul ikut memperingatkanku.

"Siap, doakan aku, ya."

Aku mengendap-endap dan mengamati depan untuk menuju tempat perempuan itu berada. Pelan, tenang dan penuh kewaspadaan. Akhirnya aku berhasil sampai di tempat ini.

"Bu, ayo ikut saya. Terlalu bahaya berada di sini. Tinggalkan dombanya, jika masih rezeki nanti akan kembali,"

"Kita harus segera sampai di semak itu, kalau tidak nyawa jadi taruhannya!" aku sedikit mengeraskan suaraku agar ibu itu mendengar suaraku. Bagi orang awam atau rakyat biasa, suara ini sangat membisingkan. Namun tidak bagiku dan teman-teman seprofesi, suara ini bagaikan vitamin dalam tubuh ini. Dibutuhkan jika tubuh membutuhkannya.

"Maaf," ucapku sebelum menyembunyikan ibu itu di depanku agar aman dari serangan lawan. Tanpa banyak membahtah, ibu itu menuruti permintaanku dan menyembunyikan kepalanya di kedua lengannya yang menutup telinga. Jalan mengendap dengan perlahan namun pasti. Aku mengikuti langkah perempuan di depanku ini sambil terus waspada pada suara peluru yang berterbangan di sekitarku.

Sedikit lagi kami berdua sampai pada tempat persembuanyian awalku tadi.

Dor!

Suara tembakan terdengar sangat dekat denganku. Benar saja, sebuah timah panas itu bersarang pada bahu kiriku.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang