Bab 12. Keputusan Ayah

61 14 3
                                    

Seulanga

Jatuh cinta sebenarnya tidak pernah ada dalam rencana jangka pendekku selama ini. Meskipun teman-teman seusiaku banyak yang sudah menikah dan memilki anak. Aku masih ingin mengejar banyak mimpiku sebelum akhirnya memutuskan melabuhkan hati pada seseorang.

Namun, manusia boleh berencana tetapi Tuhan yang memutuskan. Kehadiran sosok Teguh dalam hidupku benar-benar mengubah banyak hal. Hatiku jatuh begitu saja pada pesonanya yang tidak bisa kutolak.

Pergolakan hatiku karena tahu cinta ini terlarang untukku sempat membuat aku ragu untuk maju. Apalagi pengakuan cinta dari Bang Halim yang selama ini begitu perhatian padaku juga sempat membuat aku sulit mengambil keputusan.

Aku dilema harus memilih menerima Mas Teguh yang kucintai atau Bang Halim yang juga tulus mencintaiku. Tadi pagi Bang Halim nekat datang ke rumah untuk menanyakan jawabanku. Dia meminta kesempatan agar bisa menjadikan aku pendamping hidupnya. Namun, yang tidak ku sangka adalah Mas Teguh juga muncul di saat yang tidak tepat.

Aku bisa melihat wajah keruhnya tadi. Tanpa basa-basi ia menanyakan seragamnya yang ku jahit sehingga menyebabkan suaraku bergetar ketika harus menjawab. Setelah ku sebutkan berapa biaya yang harus di bayar, Mas Teguh berlalu begitu saja. Tanpa menoleh sedikit pun.

Lalu di sinilah aku sekarang. Setelah Bang Halim pamit pergi aku di landa kekhawatiran karena takut Mas Teguh salah sangka. Hatiku tidak tenang sedikit pun.

"Aku harus menemuinya. Ya, harus," monolog ku seorang diri di kamar.

Tepat setelah azan ashar aku bergegas berwudhu dan shalat. Setelah itu aku pamit pada Mak dengan alasan mau ke rumah Cut. Maafkan aku, Mak.

Aku tahu biasanya Mas Teguh akan berpatroli di sekitaran bascamp jam segini. Dengan tergesa aku berjalan mencari keberadaan Mas Teguh dan ingin menjelaskan segalanya.

Tepat ketika aku nyaris putus asa karena tidak kunjung bertemu, aku melihat sosoknya sedang berdiri sambil memindai daerah di depannya. Aku mendekat dengan langkah pelan. Hatiku menjadi ciut ketika jarak kami kian dekat, padahal dari tadi aku sangat ingin menemuinya agar tidak salah sangka.

"Mas Teguh! Bisa bicara sebentar?" ucapku dengan suara nyaris tertelan riak sungai di bawah sana.

"Ada apa lagi? Bukannya tadi kubilang kembaliannya buat kamu," sahutnya dengan nada cukup ketus sambil melarikan pandangannya ke arah lain. Mas Teguh pasti marah.

"Maafkan Anga. Dia tadi Bang Halim, teman masa kecilku," jelasku agar dia tidak lagi salah sangka.

Aku mencoba meminta maaf dan menjelaskan apa yang terjadi tadi siang di rumah. Kubuang semua rasa maluku sejenak, aku tidak mau ada kesalahpahaman lagi dengannya. Mas Teguh melirikku sekilas lalu membuang mukanya ke arah lain. Dia beneran marah?

Harus bagaimana lagi aku menjelaskannya? Aku bingung. Suasana menjadi hening agak lama karena tidak ada yang berbicara.

"Anga mau jadi calon istri Mas Teguh," lirihku nekat. Kurasa wajah ini sudah memerah saking malunya. Aku menunduk takut jika Mas Teguh bisa melihat perubahan mimik wajah ini. Dia kemudian memusatkan seluruh perhatian nya ke arahku seluruhnya membuat wajahku makin tertekuk.

"Tadi bilang apa?" tanyanya memastikan. Aku malu, Mas.

"Iya, Anga mau jadi calon istri Mas Teguh."

Aku tidak mendengar suara apa-apa lagi setelah itu. Namun, aku tahu pandangan Mas Teguh tidak lepas ke arahku. Dengan malu-malu, ku naikkan pandanganku menatap wajahnya. Saat pandangan kami bertemu, saat itulah aku melihat senyumnya merekah sempurna untukku.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang