Bab 30. Waspada

57 11 0
                                    

Teguh

Malam kian larut dan teman-teman sudah tidur pulas. Namun, mataku tak juga mau mengikuti mereka. Aku masih terus memikirkan Seulanga, bagaimana jika memang kami tidak bisa bersatu?  Ditambah lagi suasana semakin mencekam, dibalik istirahat kami harus tetap waspada dan ada yang selalu berjaga, siap siaga. Selain Seulanga, aku juga memikirkan perempuan lain. Ya, tentu saja ibuku. Berbulan-bulan meninggalkan tanah kelahiran untuk berjuang demi keutuhan bangsa. Rindu dengan wejangan ibu yang selalu menyejukkan hati. Candaannya dan juga masakan ibu. Besok aku akan sempatkan untuk ke bukit mencari sinyal.

Seperti biasanya, aku mengambil air wudhu lalu bersimpuh pada pemilik kehidupan. Semua yang aku rasakan sekarang ini kucurahkan agar segera mendapat jalan keluar. Damai dalam diam, itulah yang aku rasakan ketika bersujud seperti ini. Perasaanku belum juga tenang, masih ada yang mengganjal, tentu saja nasib cintaku pada Seulanga.

Sudah lebih dari tiga puluh menit aku tiduran, namun tak kunjung dapat memejamkan mata. Akhirnya aku bangun dan mengambil sebuah kertas dan pena. Aku ingin menulis surat untuk Dik Anga. Hanya dari selembar surat ini aku bisa mengabarkan keadaanku padanya. Sejak pertemuan malam itu yang bisa ngobrol banyak dan aku bisa melihatnya dari kejauhan. Namun sudah beberapa hari tak bisa melihatnya dari kejauhan karena situasi yang semakin genting.

Kutuliskan tentang perasaanku yang tak tenang serta permintaan maafku tentang tak kunjung dapatnya jalan keluar itu. Aku sendiri bingung jalan apa yang harus kutempuh agar restu itu segera kami dapatkan. Dalam surat ini aku juga pasrah jika Dik Anga ingin melanjutkan perjodohan itu, semoga saja di kehidupan yang akan datang kami bisa dipersatukan.

Sesak rasanya dada ini mendapati kenyataan pahit kisah asamaraku. Namun aku tak boleh putus asa.

Allah tidak akan membebani seseorang melainkan sesuai dengan kesanggupannya.

Itulah yang menjadi pedomanku, dan yakin akan ada jalan, entah bagaimana dan kapan waktunya. Itu rahasia Allah terhadap perjalanan cintaku nanti.

Setelah menjalankan sholat subuh dengan beberapa teman, aku meminta ijin kepada Danton untuk mencari sinyal ke tempat biasanya. Ada beberapa anggota yang ikut karena sudah satu bulan takmemberi kabar.

Sesampainya di bukit, kami bagi menjadi dua kelompok, agar bisa selalu waspada dimana pun keberadaan kami. Keadaan seperti sekarang harus lebih waspada lagi.

Kuhidupkan ponselku dan segera mencari nomer ibu. Tak sabar aku mendengar suaranya.

Panggilan pertama belum diangkat, mungkin ibu masih di dapur atau di kamar mandi. Kutekan lagi tombol hijau untuk memanggil ulang.

Alhamdulillah, tak lama panghilan tersambung. Seperti biasa, aku memberi salam dan mengabarkan kami masing-masing.

"Mak, Teguh minta maaf jika selama ini banyak salah dan belum bisa membahagian Mamak dan Bapak,"

"kok sudah minta maaf itu apa sudah lebaran, Le." sahut ibuku.

"Hari ini Teguh dan teman-teman berangkat ke area yang akan dijadikan penyerangan oleh kelompok itu, Mak. Doakan kami semua selamat dan semua lancar," pintaku pada ibu.

Hening, ibu tidak langsung menjawabnya. Namun tak lama kemuamdian aku mendengar suara isakan. Ah, pasti ibu menangis lagi jika aku meminta doa ketika ada di medan perang seperti pintaku sekarang ini.

"Mak, sayang. Jangan nangis, maafkan Teguh jika pulang dari Aceh nanti belum bisa membawa menantu," sambungku lagi.

"Iya, Le. Tak doakan yang terbaik buat putraku dan pasukan yang ada di sana. Semoga lancar dan selamat semua, pulang selamat." 

Doa ibu disela tangisnya. Aku mendengar ini samakin tidak tega. Aku menitipkan salam buat bapak, adik, kakak dan juga saudara-saudara yang lain. Entah, telepon kali ini membuat dadaku terasa semakin sesak. Seperti ada yang mengganjal, padahal setiap telepon ibu, biasanya aku sangat bahagia dan lega. Tak lama panggilan berakhir dan gantian yang lain.

Setelah semua selesai, secepatnya kami harus ke markas. Danton sudah mewanti-wanti jangan terlalu lama karena harus segera persiapan.

Aku pamit pada temanku untuk melewati jalan lain, karena ada satu tujuan lagi. Namun, belum sampai jauh melangkah aku melihat orang yang akan aku cari berada tak jauh dari tempatku.

"Cut!" kupanggil nama gadis itu.

"Iya, ada apa?"

"Saya nitip surat buat Seulanga. Maaf jika aku belum mendapatkan jalan keluar sampai saat ini," kuhela napas panjang untuk mengurangi sesak dalam dada.

"Sampaikan juga permintaan maafku pada keluarga Di Anga. Aku benar-benar mencintainya.  Maaf aku tidak bisa lama karena harus segera bersiap. Jangan keluar rumah kalau tidak ada kepentingan mendesak, mungkin akan ada kontak senjata hari ini," Lanjutku lagi dan berpesan pada Cut setelah menyerahkan sebuah amplob kecil pada Cut.

"Aku pergi dulu, Assalamualaikum," Aku segera berbalik dan lari secepatnya, takut jika telat masuk barisan.

Beruntung sampai markas pasukan belum berbaris, hanya menyiapakan seluruh perlengkapan. Mengecek senjata laras panjang yang selalu kami pakai dan perlengkapan lain. Tidak lupa kami menyiapkan tenaga untuk menghadapi musuh di medan nanti siang. Makan kali ini dibagi menjadi beberapa kelompok agar yang lain masih bisa bersiap siaga. Suasana pagi ini lebih sibuk dari hari-hari sebelumnya.

"Serka Teguh, sudah siap!"

"Siap, Dan!" panggilan Letda Adji membuatku berdiri lalu menjawab tegas.

"Konsentrasi, jangan sampai ada kesalahan lagi,"

"Siap, laksanakan!"

"Oke. Yang belum makan, makan dulu dan tetap waspada. Misi kali ini harus berhasil agar tanah rencong segera damai."

"Siap, Dan!"

***
Aku dan beberapa teman menyisir tempat yang diisukan itu. Dua semak-semak yang terbentang diantara padang rumput hijau membentang luas. Tempat ini biasa digunakan para warga untuk menggembala ternak mereka. Semoga saja hari ini mereka sudah dengar apa yang akan terjadi di tempat ini dan tidak ada yang sedang menggembala. Aku yakin jika hari ini nanti bakal terjadi kontak senjata. Mengingat kelompok mereka sudah mulai berani terang-terangan melawan kami.

Aku dan teman-teman sudah bersiap dengan penyamaran kami, memakai topi yang sudah diberi rumput untuk menyamarkan. Serta wajah kami sudah dibaluri dengan warna hijau dan hitam seperti rerumputan untuk mengkamuflase. Benar-benar kami tidak dikenali jika tidak membaca name tag yang ada pada dada kami masing-masing.

Sunyi, senyap dan mata kami mengawasi gerakan yang ada di seberang. Tempat kelompok itu bersembunyi, seperti apa yang kami lakukan ini. Komandan memerintahkan kami agar tidak menembak dulu sebelum ada perlawanan dari mereka, kalaupun bisa kami akan menangkapnya hidup-hidup.

Kewaspadaan harus selalu ditingkatkan pada kondisi seperti sekarang ini. Seperti pesan Danton pada kami. Ah, bukan kami tapi aku sebenarnya. Semenjak kenal dengan Seulanga, konsentrasiku sering kali terganggu dan mengakibatkan kurang fokus.

Bersambung...

Bab ini ditulis partnerku AnikAfni255. Gimana, ikutan tegang gak nih?

Dedek Seulanga doain ya Mas biar selamat di medan perang :)

Jangan lupa vote dan komen cerita ini. Biar kami makin semangat menyelesaikan naskah ini.

Best Regards,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang