Bab 15. Diserang Orang Tak Dikenal

59 11 3
                                    

Teguh

Walau hatiku masih berat menerima kenyataan harus menjaga jarak dengan gadis yang kucintai, namun tugas tetaplah tugas dan harus aku jalankan. Seperti pagi ini yang harus menyisir daerah bukit yang biasanya kami gunakan untuk mencari sinyal agar bisa memberi kabar untuk keluarga.

Aku dan empat orang lainnya yaitu Damar, Heru, Slamet dan Purwo. Beberapa tempat yang dicurigai kami periksa dan semua aman. Beratnya medan tak jadi halangan bagi kami. Demi menjaga keutuhan bumi Indonesia.

"Duluan, Bang. Kami mau membasuh muka dulu, "

"Oke, Aku naik duluan,"

Damar dan Heru baru saja membasuh muka di aliran sungai yang memang airnya sangat segar. Slamet dan Purwo duduk sambil melepas lelah, sedangkan Aku sendiri naik terlebih dahulu sambil sesekali memikirkan Dik Anga.

"Bang Teguh! Awas!" Belum sampai Aku di atas tanjakan teriakan Heru memperingatiku.

Sebuah pisau sudah mendarat di lengan kiriku, darah segar mengalir deras dan bau anyir menyerbak penciuman. Si pelakunya yang memakai penutup wajah tidak bisa aku kenali. Belum sempat aku melawan, tubuhku di dorong dan akhirnya aku terjungkal. Orang itu segera masuk kembali ke dalam semak belukar tak jauh dari tempat kejadian.

"Bang Teguh!"

Purwo yang paling dekat segera menolongmu dan mengambil senjata yang aku bawa agar aku bisa duduk lebih nyaman. Perih yang aku rasakan saat ini, segeralah Heru mendatangiku dan membuka seragam PDL lalu membuka kaos yang aku kenakan guna dijadikan perban darurat agar darah tidak mengalir deras.

Dengan gerakan cepat Damar dan Heru mengejar orang tadi, namun gagal. Gerakannya yang cepat tidak bisa terkejar.

Dengan susah payah aku menaiki tanjakan dengan bantuan teman-temanku. Slamet menghubungi pos jaga menggunakan HT atau Handie talkie mengabarkan penyerangan yang baru saja aku alami dan meningkatkan kewaspadaan.

Perjalanan tinggal seratus meter lagi, namun aku sudah tidak kuat berjalan. Slamet kembali menghubungi pos jaga untuk membawakan tanda agar tubuhku ini biasa diangkat untuk sampai basecamp.

Beberapa temanku datang membawa tandu dan aku segera dibawa menggunakan tandu itu. Tak lama kemudian aku sudah tak mengingat apapun lagi.

***
Perlahan aku membuka mata, menyesuaikan cahaya yang masuk pada korneaku. Nyeri terasa pada lengan bagian atas tangan kiriku.

"Alhamdulillah, akhirnya kamu sadar, Guh," itu adalah suara yang paling aku kenali. Suara Letda Adji.

"Sudah lamakah saya pingsan, Ndan?"

"Nggak terlalu lama, hanya tiga jam."

Aku ternganga sebentar setelah mendengar jawaban atasanku tadi. Tiga jam? Padahal perasaanku cuma baru beberapa menit saja aku tak sadarkan diri.

"Kira-kira siapa yang melakukan ini, Guh?"

"Siap salah, Ndan. Saya juga kurang tau siapa orang itu."

"Nggak usah formal, kita hanya berdua."

"Siap, Bang,"

Aku memang menganggap Letda Adji sebagai Abangku sendiri. Beliau memberi saran padaku agar lebih waspada lagi, banyak yang mulai kami curigai sebagai mata-mata pada tentara.

***
"Assalamualaikum, aduh Mas Teguh. Kok bisa sampai terluka, sakit?"

Gadis ini lagi? Ya Allah, seandainya Dik Seulanga yang datang aku pasti sangat senang. Namun gadis ini tidak aku harapkan kedatangannya.

"Kenapa kamu datang ke sini?" tanyaku pada gadis ini. Sebenarnya aku malas dengan dia. Namun aku juga masih punya adab. Menghargai maksudnya.

"Kok ngapain sih, Mas. Mila datang untuk melihat keadaan Mas Teguh. Aku khawatir banget mendengar kabar itu," Gadis itu memberi alasan padaku.

"Aku bawakan makanan, nanti dimakan ya Mas." Suara gadis itu terdengar manja lalu menyerahkan sebuah rantang dan juga kantong plastik hitam. Banyak juga makanan yang dia bawa.

"Cie, Bang Teguh di tengok pacarnya, nih," Syahrul yang duduk tidak jauh denganku meledek.

"Makanannya boleh saya minta, Dik. Lumayan buat mengganjal perut," Sekarang giliran Danu yang ikutan nimbrung.

Makanan dalam plastik hitam tadi gadis itu kasihkan pada Danu dan dikeluarkannya beberapa sisir pisang yang sudah masak. Mungkin pisang itu hasil dari kebunnya dan dibawa ke sini untuk buah tangan sewaktu menjengukku ini, itu hanya perkiraanku saja.

"Mila boleh lihat lukanya, Mas," tanyanya manja dan tangannya sudah diangkat ingin memegang daerah lenganku yang terluka kemarin.

"Maaf, bukan mukhrim," Aku memperingatkannya dan tangan gadis itu kembali diturunkan. Kulihat ada raut kecewa pada mimik wajahnya.

"Ya sudah, Mas teguh makan ini nanti," Maila meletakkan sebuah bungkusan kecil pada meja di dekat tempat tidur yang aku tempati sekarang. Entah apa isi bungkusan itu. Tidak ada niat sekarang ini untuk membukanya.

Gadis itu tidak kunjung pulang. Malah ikut mengobrol dengan beberapa temanku di sini. Senang dapat perhatian dari seorang gadis, tapi yang aku inginkan perhatian dari gadis bernama Seulanga.

"Mas Teguh, sudah azan. Mila pamit dulu ya, semoga cepat sembuh. Mila kangen melihat Mas Teguh patroli membawa senjata lengkap,"

Azan Zuhur yang dikumandangkan oleh salah satu temanku akhirnya membuat gadis itu berpamitan pulang juga. Lega rasanya setelah melihatnya keluar dari tendaku ini.

Apa tadi dia bilang? Kangen sewaktu aku patroli membawa senjata lengkap? Apakah gadis tadi memata-mataiku setiap aku bertugas menyisir daerahnya?

Kugelengkan kepalaku untuk mengusir pikiran buruk tentang gadis tadi. Astagfirullah, jaga mata dan hati hamba ya Allah.

***
"Sudalah Guh, terima saja cinta gadis tadi,"

"Iya, Bang. Sepertinya gadis itu cinta banget sama Bang Teguh,"

"Kalian ngomongin siapa, sih?" Aku pura-pura bertanya pada mereka.

"Halah,Guh. Gadis tadi, yang namanya Mi... Mila itu loh,"

"Aku nggak cinta sama dia, Met. Kan kamu tahu siapa gadis yang aku cintai." Aku menjawab jujur tentang perasaanku yang sebenarnya.

"Tapi gadis yang kamu cintai itu tidak dapat restu dari orang tuanya. Mendingan sama gadis tadi, Guh,"

"Iya, Bang. Gadis tadi seperti benar-benar cinta sama kamu, Guh,"

Suara teman-temanku memanasiku agar menerima cinta Mila. Tapi tetap saja. Pilihanku hanya pada Dik Saulanga.

"Keluarga gadis yang kamu cintai kan juga belum memberikan restu, malah kalian tidak boleh bertemu," Kamil yang kini bersuara.

"Semprul kalian semua. Bukannya menghiburku malah menyuruh  berpaling pada gadis lain," sungutku kesal pada mereka. Kurebahkan lagi tubuh ini agar lengan yang terluka bisa disangga dengan tempat tidur.

"Turuti kata hatimu, Guh. Jika kalian memang jodoh, pastinya akan ada jalan keluar seberat adapun masalah yang kalian dihadapi sekarang,"

Suara Bang Arul menengahi perdebatan kami. Setidaknya masih ada yang perduli tentang kisah cintaku pada gadis asli Aceh yang satu ini. Perbedaan pandangan pada seragam yang kami kenakan ini menjadi pemicunya. Semoga segera ada jalan keluarnya.

"Terima kasih banyak Bang Arul," ucapkan tulus sambil tersenyum pada lelaki yang telah memiliki dua putra itu.

Bersambung....

Hai, gimana part ini? Tulisan ini ditulis partnerku AnikAfni255.

Kamu setuju gak kalau Bang Halim sama Seulanga, dan Mas Teguh dan Mila saja? Biar gak rempong. Hihi.

Jangan lupa tinggalkan bintang dan komentar kalian, ya!

See you soon,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang