Bab 33. Akhir Cerita Kita

89 12 2
                                    

Seulanga

Dear Seulanga,

Mas tidak tahu apakah surat ini penting atau tidak untuk kelangsungan hubungan kita. Mengenalmu seperti sebuah anugerah terindah yang diberikan Allah untukku. Dari semua masa dinas Mas ke luar daerah, mungkin Aceh akan jadi kenangan terbaik sepanjang masa. Bagaimana tidak, di hari pertama Mas sudah disuguhkan wajah jutek seorang gadis desa, untungnya cantik. Hehe

Aku tertawa membaca paragraf  pertama dari surat yang dituliskan Mas Teguh. Surat yang baru sempat ku baca hari ini di saat tubuh Mas Teguh terbaring di rumah sakit. Surat ini membawa ku berkelana pada kenangan-kenangan di masa awal kami saling mengenal.

Seulanga,
Kamu tahu, baru kali ini Mas merasa  jadi tentara merupakan pekerjaan yang berat. Padahal bukan sekali dua kali Mas harus menghadapi situasi perang seperti ini.

Mas merasa karena pekerjaan ini jadi alasan kita bisa bertemu. Namun, di sisi lain juga jadi penyebab kita tidak bisa bersatu. Mas jadi bingung, harus bersyukur atau malah menyesal telah memilih jalan hidup seperti ini.

"Aku juga bingung, Mas."

Seulanga sayang,

Mas tidak tahu, bagaimana kondisi kita setelah surat ini sampai di tanganmu. Hanya saja beberapa hari ini, perasaan Mas tidak enak. Mas merasa setelah surat ini tertulis pertemuan kita bisa saja tidak lagi tercipta.

Tangisku pecah, merasa firasat buruk aku dan Mas Teguh rasakan beberapa hari ini telah jadi kenyataan. Bukan soal restu, tapi perang telah mencelakakan Mas Teguh hingga keadaannya kritis.

Mas menulis surat ini di tengah persiapan perang. Mas tahu, kamu tidak akan suka mendengar ini. Namun, Mas tidak punya pilihan, sayang. Ini tugas Mas sebagai abdi negara dan orang-orang itu juga bertugas mempertahankan harga diri. Yah, pandangan kita tentang perang ini selamanya tidak akan pernah sama. Mas tidak akan marah soal itu lagi, sayang.

Hatiku terenyuh setiap kali kata sayang yang terucap cukup sering dalam surat ini. Rasanya jantungku masih berdetak sama berdebarnya jika Mas Teguh yang mengucapkannya langsung.

Benar seperti kata Mas Teguh, sampai hari ini pemikiran kami soal perang masih tetap berseberangan. Hanya saja, kali ini aku tidak lagi menyalahkan siapa pun. Bagiku, perang ini seolah jadi takdir yang harus dijalani warga kami. Entah sampai kapan, aku harap tidak ada lagi korban jiwa dalam perpecahan ini.

Sayang,

Jika saja Mas tidak selamat saat kontak senjata nanti, doakan Mas bisa berpulang dalam keadaan iman terjaga. Mas harap kamu bisa hidup dengan baik sepeninggalku nanti. Jangan lama-lama menangis, kamu harus menjalani hidup sebagai sosok Seulanga yang kuat. Seperti saat pertama kali Mas lihat di sepotong senja kala itu.

Lupakan Mas dan jatuh cinta lah lagi. Mas harap siapapun jodohmu, kamu bahagia atas takdir yang terpilih kan untukmu.

Mas mencintaimu, itu harus kamu tahu. Sedalam rasa cintaku pada negeri ini hingga aku bisa terbang ke tanah rencong ini. Mas juga tahu, kamu merasakan hal yang sama saat ini.

Berbahagialah, sayang!

Dari yang mencintaimu,

Teguh Kuncoro.

Aku melipat kembali lembaran surat dari Mas Teguh. Tubuhku bergerak cepat memakai jilbab dan berlari keluar rumah. Aku harus tahu keadaan Mas Teguh sekarang, dia harus baik-baik saja.

Tidak butuh waktu lama sampai tubuhku tiba di depan gerbang markas tentara. Aku mempercepat langkah dan berniat menemui siapapun di dalam sana yang bisa memberiku informasi. Aku harus memastikan keadaan lelaki itu agar perasaanku tenang.

"Mas Teguh,..." ucapku terbatas begitu bertemu dengan salah satu yang ku ketahui dekat dengannya.

"Duduk dulu, Dik," pinta lelaki di hadapanku. Aku mengangguk dan segera mendudukkan tubuhku pada sebuah kursi yang disodorkannya. Aku tidak ingin membantah walaupun merasa tidak perlu duduk untuk tahu keadaan Mas Teguh. Bantahan hanya akan memperlambat informasi yang akan ku dengar.

"Kamu mau tahu kondisinya?" tanya lelaki yang ku baca name tag nya ia bernama Slamet. Dalam beberapa pertemuanku dengan Mas Teguh, aku sering melihatnya. Namun, baru kali ini aku berbicara secara langsung dengan lelaki ini.

"Iya, aku harap Mas Teguh baik-baik saja."

Tentara bernama Slamet ini mengeluarkan desahan frustasi. Ia beberapa kali membuang napas kasar seakan informasi yang akan di sampaikan begitu sulit. Walau begitu, aku tetap mencoba berpikir positif. Aku mengenyahkan kemungkinan-kemungkinan buruk yang bisa saja terjadi, karena di lubuk hatiku yang terdalam masih berharap jika Mas Teguh baik-baik saja.

"Dia sudah menjalani operasi kemarin pagi untuk mengeluarkan peluru yang bersarang di lengan dan kakinya," tutur Slamet membuka cerita. Dalam hati aku bersyukur karena operasinya lancar. Namun, mulutku masih tetap terkunci karena tahu bukan itu saja yang akan di sampaikan Slamet ini.

"
Namun, siangnya kondisi Teguh sempat drop. Berulang kali jantungnya melemah," tambah Slamet dengan lesu. Berita itu bagai petir di siang bolong, cukup mengerikan di telibgaku.

Tanganku yang saling bertaut bergetar hebat mendengar fakta yang dipaparkan. Aku takut sesuatu yang lebih buruk bisa saja disampaikan Slamet yang terlihat belum ingin berhenti.

"Karena kondisinya yang harus menjalani perawatan lebih intensif. Komandan memutuskan memulangkan Teguh ke Solo. Orang tuanya juga memohon hal yang sana begitu tahu kondisi anaknya. Jadi, kemarin sore Teguh sudah diterbangkan ke Rumah sakit di Solo untuk pengobatan lanjutan."

Aku tidak lagi mendengar setelah itu apa saja yang diucapkan Slamet mengenai kondisi Mas Teguh menurut kesehatan. Pikiranku sudah melayang jauh ke sosok yang sudah masuk begitu dalam ke hatiku.

Bagaimanakah kondisinya kini? Apakah ia mulai membaik setelah di rawat di sana dan dekat dengan keluarga. Di satu sisi aku bersyukur karena di saat kondisi seperti ini ia bisa dekat dengan ibunya. Dalam beberapa cerita, aku tahu Mas Teguh sangat menyayangi ibu nya. Dia selalu bersemangat setiap kali bercerita tentang ibu.

Di sisi yang lain, aku jadi tidak tahu lagi perkembangan kesehatan Teguh sesampai di sana. Aku tidak lagi bisa melihat sosok Mas Teguh sembuh dan menyapaku kembali. Selain itu, aku tahu kemungkinan Mas Teguh akan kembali ditugaskan kemari menjadi sangat kecil. Ia butuh waktu yang lama untuk pemulihan tubuhnya jika selamat.

Aku pamit beberapa saat setelah Slamet usai bercerita tentang kondisi Teguh. Setelah mengucapkan terima kasih, aku berjalan gontai menuju rumah.

Di tengah jalan, aku berubah pikiran. Kakiku terarah ke sungai tempat aku sering menghabiskan waktu bersama Mas Teguh. Mengenang kembali waktu-waktu berharga yang ku habiskan bersama dengannya. Singkat, tapi kenangan bersamanya terasa begitu bermakna.

"Seulanga, selesai operasi Teguh sempat sadar dan menyebut namamu," ucap Slamet tadi saat aku hendak meninggalkan lokasi. Kata-kata itu cukup mengusikku hingga membawa tubuhku ke tempat ini. Tempat penuh kenangan selama kami bersama beberapa waktu lalu.

Rasanya seperti baru kemarin kami tertawa bersama di atas batu sungai ini. Bercerita apa saja lalu berakhir dengan tawa riang jika ada sesuatu yang lucu. Aku yang saat itu selalu malu-malu, bisa berekspresi sangat bebas jika bersamanya. Tidak jarang kami pun berdebat jika sudah menyangkut prinsip-prinsip hidup yang kami percayai.

"Mas, seperti inikah akhir kisah kita?" tanyaku sambil menatap cakrawala yang sudah berwarna jingga. Ibarat cintaku dengannya, seperti senja yang indah namun hanya bertahan sesaat sebelum malam merenggut keindahannya.

Di batas senja ini, aku berharap waktu yang akan menjawab segala kegelisahan. Apapun itu, aku berharap Mas Teguh baik-baik saja di mana pun ia berada.

Tamat




Eh, gak dulu deh. Ada beberapa part lagi dari aku dan partner AnikAfni255 yang harus selesaikan setelah ini.

Semoga suguhan ini bisa menyentuh kalbu pembaca. Berikan vote dan komen kalian sebagai bentuk dukungan.

Deep Love,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang