Bab 21. Mulai Ragu

48 13 0
                                    

Teguh

Seulanga menemui ku hari itu, Ia bermaksud untuk membebaskan sepupunya yang kami tangkap kemarin. Apapun alasannya, aku tidak bisa membebaskan orang yang jelas-jelas bersalah.

Seulanga meninggalkanku di basecamp dengan keadaan marah. Rayuan dan panggilan sayangku tak manjur untuk meluluhkan hati gadis itu. Cinta ya cinta, tapi jika sudah menyangkut dengan pekerjaan dan keutuhan negara, aku bisa apa. Janji bakti pada negeri ini jauh lebih penting, dan tidak bisa ditukarkan dengan apapun sampai titik darah penghabisan.

Setelah sejumlah pemuda yang kemarin memergoki aku dan Seulanga ketika bertemu di pasar, kami menemukan gerakan mencurigakan . Dia sedang menyisir daerah perbatasan dengan membawa senjata api. Tertangkapnya Razak membuat hubunganku dengan Seulanga semakin rumit. Dia adalah keluarga dekat gadisku. Tentu saja tertangkapnya Razak juga menyulut kemarahan orang tua Seulanga.

Aku bingung memikirkan nasib cintaku, tak ku sangka akan serumit ini.

"Kenapa, Bang?" tanya Doni menepuk pundakku.

Kuambil napas dalam dan mengeluarkannya perlahan.

"Pusing, Don,"

"Pusing kenapa Bang? Karena gadis tadi?"

"Apa gadis tadi menginginkan orang yang kita tangkap kemarin dibebaskan?" lanjutnya lagi.

Kenapa Doni tahu? Anak ini benar-benar cenayang.

"Aku bukan cenayang, Bang. Tadi aku dengar sewaktu Bang Teguh bicara dengan gadis itu. Sabar ya, Bang." sahut Doni yang seakan tau akan apa yang sedang aku pikirkan.

"Entahlah, Don,"

"Guh, dipanggil Letda Adji di belakang, cepat sana," Toni, lettingku memberi tahu aku jika Danton memanggilku, firasatku mengatakan jika ada hal yang serius.

"Oke, Makasih,"

Segera aku berlari menuju belakang bangunan gudang yang kami tempati sebagai markas ini. Tepat di tempat yang aku dan Seulanga tadi bertemu.

"Serka Teguh, apakah benar tadi adalah kekasihmu?"

"Siap, Dan. Benar,"

"Untuk apa dia kemari?"

"Siap, Dan. Tadi bermaksud meminta bantuan saya untuk membebaskan Razak. Orang yang kita tangkap kemarin."

Letda Adji sedikit terkejut dengan penjelasanku, jika orang tangkapan kemarin adalah sepupu dari gadisku. Beliau juga menyuruhku waspada juga hati-hati, jika masih ada saudara dari gadis yang aku cintai itu ada yang terlibat lagi. Tidak ada pengecualian bagi siapa pun yang terlibat, semua mendapatkan hukuman sesuai dengan kesalahannya.

"Seulanga, maafkan Mas," suara hatiku memikirkan gadisku.

***
Patroli diperketat, aku yang belum sepenuhnya sembuh masih ditugaskan untuk menjaga pos di pintu masuk markas. Banyak penduduk yang masih menjalankan aktifitas seperti biasa.

Benar kata, Seulanga. Desa ini sangat tertinggal. Satu desa hanya ada satu orang yang menjadi guru, ibunya Cut. Keluarga itu yang terlihat berbeda status ekonominya. Yang lain, masih dibawah dari kata sejahtera. Makanan mereka hanya dari hasil kebun atau sawah, makan seperti daging saja mungkin jika hari raya saja, atau bahkan belum tentu.

"Assalamualaikum, Mas Teguh sayang,"

Suara seorang gadis menyapaku. Astagfirullah, gadis ini lagi. Kenapa dia datang lagi?

"Ada apa datang ke sini?" tanyaku sinis pada gadis di depanku.

"Ya, Allah. Mas Teguh itu dosa, dikasih salam itu ya, Jawab," sungutnya tak terima.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang