Bab 10. Mereka Bertemu

62 11 3
                                    

Seulanga

"Bisa. Nanti Mas Teguh ambil dua hari lagi. Kalau selesai lebih cepat aku bisa antar sambil mencari kayu bakar."

Aku menerima bungkusan plastik berisi seragam Mas Teguh secepat yang aku bisa. Rasanya malu dan canggung. Apalagi ditambah tatapan tidak suka yang aku dapatkan dari Ayah dan Mak di meja ujung.

"Terima kasih sebelumnya," ucap Mas Teguh dengan sebuah senyuman hangat seperti biasanya. Mukaku yang sudah merah karena malu terpaksa kutundukkan agar Ayah tidak melihat hal itu.

Setelah Mas Teguh meninggalkan rumah ini aku bernapas lega. Aku tidak menyangka Ia akan nekat datang ke rumah. Walaupun dengan dalih mau menjahitkan seragam. Namun, rasanya kelegaanku hanya bertahan sebentar.

"Kak, coba duduk ke sini sebentar, Neuk," pinta Ibu dengan suara lembut seperti biasanya. Di rumah aku memang kerap di panggil kakak karena sebagai anak sulung semua orang memanggilku dengan panggilan itu. Hanya sesekali Mak memanggilku dengan panggilan Anga atau Seulanga.

Aku tahu meja peradilan akan segera dimulai.

Aku melangkahkan kaki berat menuju tempat yang sedang diduduki kedua orang tua ku. Mereka menatap wajahku dengan tatapan menyelidik.

"Kenapa, Mak?" tanyaku ketika sudah berhadapan dengan dua orang yang paling ku sayangi ini.

"Kenapa tentara itu bisa datang kemari?" selidik Ayah to the point.

"Gak tahu, Yah. Dia kan gak bilang sama Anga," jawabku tidak sepenuhnya berbohong. Karena pada kenyataannya memang aku tidak tahu alasan Mas Teguh datang ke rumah.

"Kamu tahu siapa mereka, kan?" Kali ini Mak yang bertanya. Nada bicaranya tetap lembut seperti biasanya walaupun aku tahu dia terusik dengan kehadiran Mas Teguh ke rumah ini. Aku sadar, siapa saja bisa curiga jika melihat interaksi kami berdua tadi.

"Iya, Mak."

"Kamu harus hati-hati, Neuk. Kakak gak mau kan sesuatu yang buruk terjadi sama kakak?" ujar Mak sambil menatap mataku sendu.

"Tapi dia tidak terlihat seperti orang jahat, kok. Mak sama Ayah bisa lihat sendiri kan kalau Mas Teguh sering membantu warga kita belakangan," belaku karena memang sosok lelaki itu sangat baik di mataku.

"Mas? Kamu bahkan sudah memanggilnya Mas?" tanggap Ayah dengan wajah tidak sukanya. Sepertinya aku sudah salah bicara.

"Semua teman-teman kakak juga manggilnya gitu juga, Yah," sanggahku tetap mempertahankan suaraku agar tetap terdengar sopan. Aku tidak ingin perasaan ini membuat rasa sopan terhadap kedua orang tuaku menjadi hilang. Walau bagaimanapun mereka masih tetap prioritas utama yang tidak bisa aku sanggah sedikitpun.

"Ingat ya, Kak. Kamu itu anak pertama kami. Kamu cerdas dan berani. Kakak harus menghindari dia, demi keselamatan kita semua," pinta Mak  penuh harap.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang