Bab 11. Cemburu

67 13 2
                                    

Teguh

Kegiatan hari ini seperti biasanya, aku berjaga pagi sampai menjelang magrib tiba. Pikiranku masih pada Saulanga, keluarganya yang terang-terangan memandangi secara sinis karena aku seorang tentara. Entah apa yang yang mereka pikirkan dengan seragam yang aku pakai ini?

"Serka Teguh, bisa ikut saya," Letda Adji memanggilku.

"Siap, Ndan!" Aku segera mengikutinya dari belakang. Kami menuju bagian belakang gudang pinang yang kami gunakan sebagai bascamp kami ini.

"Serka Teguh, saya perintahkan untuk meningkatkan kewaspadaan dan juga patroli di desa. Saya mendengar ada salah satu pemberontak yang sudah berani turun dari persembunyian dan memata-matai kita," ucap Letda Adji padaku yang pasti perintah itu aku terima dengan siap sebagai anggotanya.

"Cek juga bahan makanan kita, jika memungkinkan borong hasil panen warga dan berikan harga sedikit lebih dari biasanya."

"Siap, Ndan!"

Seragam PDL ku masih di tempat Seulanga. Aku akan segera mengambilnya sebelum aku naik ke bukit itu dan menelepon Ibu serta mengabari ke kota. Mungkin sudah selesai karena robeknya tidak terlalu banyak.

Aku melangkah ke rumah Saulanga dan melewati beberapa rumah warga. Sepi yang terlihat, sepertinya mereka sedang bercocok tanam di ladang dan juga anak-anak belum pulang sekolah. Ku dekati bangunan sederhana itu. Sedikit aku menajamkan pendengaranku karena ada sedikit keributan dari dalam.

Mataku terbelalak melihat ada lelaki dewasa memegang lengan Saulanga. Sepertinya tamu itu bukan keluarga dari gadis itu. Lalu siapakah lelaki itu?

"Ehem..." Aku berdeham untuk meminta perhatian mereka. Rupanya Anga sudah mengetahui kedatanganku.

"Permisi, maaf. Saya mau ambil seragam yang dijahit. Sudah selesai?"

Kulihat Anga sedikit canggung dengan kedatanganku yang tiba-tiba ini. Lalu aku melihat lelaki itu melepaskan tangannya dari lengan Anga.

"Su--sudah Mas. Sebentar," Saulanga melipat seragamku dan menyimpannya dalam plastik hitam yang aku gunakan kemarin.

"Berapa?" Aku menanyakan berapa ongkos jahit yang harus ku bayar. Saulanga menyebutkan jumlah nominal dan aku meraih saku baju seragam mengambil selembar uang yang telah aku siapkan.

"Terima kasih banyak. Ambil saja kembaliannya. Permisi." Aku meletakkan uang itu dekat mesin jahit di hadapan Anga dan mengambil kantong plastik lalu berpamitan tanpa mengucapkan salam. Ku tinggalkan rumah itu dengan hati tak menentu. Siapakah dia? Apakah lelaki yang kemarin disinggung oleh Mila sewaktu bertandang ke bascamp?

Ah, sudahlah. Rasanya aku ingin berteriak dan marah melihat kedekatan mereka. Namun aku juga harus sadar siapalah aku ini? Saulanga juga belum memberikan jawaban pasti tentang permohonanku tempo hari.

Atau inikah jawabannya? Dia sudah memilih orang lain sehingga aku tidak memiliki kesempatan lagi. Kacau. Benar-benar kacau hatiku.

Tiga jam sudah dari rumah Saulanga, hatiku masih panas. Padahal tadi sudah mengambil air wudhu dan juga sholat. Rasanya hatiku seperti terbakar. Entah bagaimana hubungan yang menggantung ini. Belum ada jawaban darinya, ditolak atau bahkan diterima. Aku kembali mengambil senjata yang selalu setia menemani patroli. Kali ini aku mengambil jalan lain agar tidak melewati rumah gadis itu.

Kuarahkan pandanganku pada dua temanku yang menyisir bagian bawah wilayah ini, aku berjaga di atas agar bisa memantau mereka. Patroli kali ini tidak begitu bersemangat karena kejadian tadi siang.

"Mas Teguh! Bisa bicara sebentar?"

Kudengar suara itu memanggil namaku. Suara yang sangat aku kenal. Suara Saulanga. Aku membalikkan badan dan melihatnya dari arah berlawanan dengan rumahnya. Sepertinya dia mengambil jalan lain agar sampai sini dan tidak diketahui orang tuanya.

"Ada apa lagi? Bukannya tadi kubilang kembaliannya buat kamu," Sahutku ketus sambil melihat arah lain.

"Maafkan Anga. Dia tadi Bang Halim, teman masa kecilku," jelasnya padaku. Gadis itu meminta maaf berkali-kali dan aku melihat kesungguhan dari sinar matanya yang kutangkap sekilas. Aku tidak berani memandang terlalu lama. Takut jika cintaku hanya bertepuk sebelah tangan. Hening agak lama karena kami tidak ada yang berbicara.

"Anga mau jadi calon istri Mas Teguh," Suara lirih itu tiba-tiba menembus gendang telingaku. Kuarahkan pandanganku pada gadis di depanku yang sedang menunduk.

"Tadi bilang apa?" kupastikan lagi kalimat itu terucap dari bibirnya.

"Iya, Anga mau jadi calon istri Mas Teguh."

Aku mendengar pernyataan itu lagi. Lega rasanya hatiku. Perasaanku padanya akhirnya dibalas.

"Tapi mungkin cinta yang kita jalani ini tidak mudah. Mas tau sendiri kan?" Aku tau kemana arah pembicaraan itu. Restu dari kedua orang tuanya.

"Kita akan berjuang bersama." Ucapku lalu aku memberikan senyum terbaik untuknya. Anga melihat ke arahku sepintas lalu menindik kembali. Mungkin dia malu karena wajahnya bersemu merah itu. Senja kali ini hatiku menjadi sejuk seperti diguyur air dingin. Rasa panas dalam dada tadi seolah sirna dalam sekejap setelah mendengar pernyataan dari Saulanga tadi.

***
Hari terakhir patroli di siang hari dan tugas kali ini memantau bukit paling tinggi yang berada di daerah sini. Hanya di bukit inilah sinyal bisa tertangkap paling bagus dan menjadi langganan kami setiap satu bulan sekali.

Kukeluarkan benda pipih itu dari dalam saku baju PDL ku yang kemarin dijahit oleh Dik Anga. Mengingatnya membuat senyumku terbit.

Segera aku tekan nomor yang sudah ku hafal di luar kepala, nomer telepon Ibu. Tombol yang ada gambar telepon berwarna hijau itu segera aku tekan.

Tiga panggilan tidak diangkat. Aku coba sekali lagi, semoga ibu mendengar nada dering dari panggilanku ini.

Berhasil, sambungan sudah terhubung.

"Assalamualaikum, Le. Piye kabare?" (Assalamualaikum, Nak. Bagaimana kabarnya?) Suara yang selalu dirindukan itu terdengar.

"Alhamdulillah, kabar kulo sehat, Mak. Pripun keluarga teng njawi?" (Alhamdulillah, kabar saya sehat, Bu. Bagaimana kabar keluarga di Jawa?) Sahutku dengan senyum mengembang. Ingin rasanya segera pulang memeluk tubuh renta yang ada di seberang panggilanku ini.

"Piye, Le. Eneng kabar opo?" (Gimana, Nak. Ada kabar apa?) Ibu bertanya padaku,  seolah sudah tau jika aku ingin bercerita. Aku terkekeh menanggapinya sebelum memulai ceritaku.

Aku menceritakan jika perasaanku sudah diterima gadis itu. Namun restu dari orang tuanya belum kami dapat karena perbedaan pandangan pada tentara. Ibu menasehatiku agar selalu bersikap ramah pada warga terutama keluarga Saulanga. Lambat laun dengan ijin Tuhan pasti kedua orang tua Seulanga akan memberikan restu itu. Ibu dan Bapak akan selalu mendoakan yang terbaik untuk putra dan putrinya. Ibu tidak lupa mendoakan aku dan semua pasukan yang berada di daerah konflik seperti pada daerah tugasku kali ini. Doa panjang itu dengan khusuk aku dengarkan dan aku aamiin kan.

Setelah ibu mendoakan tadi, panggilan segera aku akhiri karena ada gerakan yang mencurigakan dari sebuah semak tidak jauh dari tempatku berdiri.

Bersambung....

Aku baper loh baca part ini, Mas Teguh anaknya partnerku AnikAfni255 buat dedek Seulanga kesengsem aja.

Kalian gimana? Suka gak sama part ini?

Kasih komentar ya kalau nemu kekeliruan!

With Love

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang