Bab 16. Khawatir

62 13 4
                                    

Bab 16. Khawatir

Seulanga

Dulu sekali, ketika masih duduk di bangku SMA, aku selalu berpikir ingin mendapatkan pasangan dengan cara yang manis. Entah itu dari pertemuan tidak sengaja atau juga perkenalan melalui tangan orang tua. Sebenarnya aku tidak pernah mempermasalahkan dijodohkan dengan siapapun pilihan orang tua, jika ketika sudah waktunya menikah dan aku belum menemukan pasangan hidup.

Namun, sekarang perjodohan menjadi momok menakutkan bagiku. Padahal aku tahu orang yang dijodohkan denganku bukanlah orang jahat. Bang Halim bahkan pernah masuk kriteria calon suami idaman di mataku sebelumnya. Jika pun ada yang salah, maka rasa cintaku yang sudah terlanjur mengakar pada sosok Mas Teguh lah masalahnya.

Aku tidak bisa memaksa hatiku menerima perasaan Bang Halim. Sama halnya aku enggan membuang perasaanku pada tentara itu. Sejak mengenal Mas Teguh banyak hal berbeda terjadi dalam hidupku.

Aku merasa benar-benar mencintainya meski aku tau cinta saja tidak cukup untuk mempertahankan hubungan kami. Restu orang tua juga sangat penting. Karena tanpa restu mereka, sulit rasanya bisa menjalani kehidupan rumah tangga yang bahagia. Makanya aku tidak berani bertindak di luar batas kewajaran, aku takut ayah benar-benar murka dan aku jadi anak durhaka.

Aku ingin menikah dengan lelaki yang kucintai dengan restu kedua orang yang begitu berharga dalam hidupku. Aku ingin menikah tanpa menyakiti mereka yang berjasa menghadirkan aku ke dunia. Hal inilah yang membuatku sangat berharap kelak Ayah dan Mak bisa menerima Mas Teguh dengan tangan terbuka.

"Kak," panggil Seruni, adikku ketika aku sedang melamun di dalam kamar. Sudah beberapa hari Ayah tidak mengizinkan aku keluar rumah.

"Dek? Masuk," pintaku. Tidak biasanya Runi datang menemuiku begini. Biasanya jam segini Runi sudah berangkat ke kebun ikut Mak mengambil pinang yang siap panen.

Atau dia sudah pulang? Kenapa cepat sekali?

"Kenapa, Dek?"

"Itu...," ucap Runi sedikit terbata. Dia seperti ragu ingin mengucapkan sesuatu.

"Ada apa? Mak baik-baik saja di kebun, kan?" tanyaku khawatir. Melihat ketakutan di matanya, pikiranku bercabang kemana-mana. Prasangka buruk langsung memenuhi pikiranku.

"Bukan soal Mak, tapi...,"

"Tapi?"

"Itu, P-Pak Teguh," cicitnya putus-putus.

"Kenapa Mas Teguh?" sambar ku cepat. Tidak biasanya Runi membicarakan tentang kekasihku itu.

"Dia ditusuk orang, tadi tentara-tentara itu buru-buru membawanya pulang dari bukit. Sepertinya parah," jelas Runi akhirnya.

Deg.

Jantungku rasanya seperti berhenti berdetak. Kabar yang dibawa Runi benar-benar di luar prediksi ku. Sekuat tenaga aku berusaha mencerna ucapan Runi yang terdengar mengerikan di kepalaku. Ditusuk? Parah? Lalu bagaimana dia sekarang?

Seketika aku berdiri. Aku harus menemuinya sekarang juga. Aku ingin memastikan jika lelaki yang sudah menguasai seluruh hatiku baik-baik saja. Walaupun aku tahu, sebagai tentara hidupnya penuh resiko. Namun, mendengar kabar dia terluka tetap saja membuat hatiku seperti teriris.

Mas Teguh ku.

"Kak, jangan keluar. Ayah bisa marah," pinta Runi terdengar pias. "Aku tidak ingin kakak dimarahin lagi," aku Runi dengan mata berkaca-kaca. Dia memegang tanganku erat takut aku pergi. Namun, aku harus keluar dari sini. Aku harus memastikan keadaan Mas Teguh, kekasihku.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang