Bab 17. Surat Kerinduan

51 10 0
                                    

Bab 17. Surat Kerinduan

Teguh

Rasanya bosan, beberapa hari hanya tiduran saja. Luka di lengan masih sedikit nyeri, tetapi sudah tidak seperti hari pertama dan kedua kemarin. Empat hari sudah aku istirahat untuk proses penyembuhan ini. Rasa sakit sebagai lelaki ini tidaklah seberapa kurasakan. Ada satu lagi rasa sakit yang yang tidak berdarah, namun justru lebih menyakitkan bagiku. Menahan rindu pada kekasih hati.

Tadi pagi pagi kata temanku ada dua orang yang datang menjenguk, akan tetapi tidak diperbolehkan masuk oleh komandan karena aku tertidur. Mungkin efek obat yang aku minum jadi cepat sekali tertidur.

Aku berjalan keluar untuk mencari udara segar, bergabung dengan beberapa teman yang sedang membelah kayu untuk digunakan sebagai kayu bakar.

"Nggak istirahat, Bang?" sapa Mukhlis yang melihat ke arahku datang.

"Bosan di dalam, Khlis," ujarku sambil mendaratkan tubuh pada kursi yang ada sandarannya. Lengan kanan masih harus digendong agar tidak banyak gerak.

Pikiranku masih pada Dik Saulanga, bagaimana kabarnya? Rasanya aku ingin bertandang lagi ke rumahnya. Namun, dengan keadaan kami begini tidak mungkin kulakukan itu.

Baru sekali jatuh cinta, tapi sudah serumit ini. Aku yakin, pasti akan ada jalan keluar untuk hubungan kami, suatu hari nanti.

Aku menghela napas panjang, lalu mengeluarkan perlahan.

"Bang Teguh! Dicari, nih,"

Aku menoleh pada suara lantang yang memanggil dari arah samping bangunan gudang ini. Kulihat ada beberapa anak yang berjalan ke arahku. Mau apa mereka?

"Bapak yang namanya, Pak Teguh?" salah satu anak bertanya kepadaku setelah berada tepat di depanku.

"Iya, aku Teguh. Ada apa?" mereka tampak ragu-ragu karena aku memang tidak menggunakan seragam yang ada tag name di dada. Yang ku kenakan hanya kaos hijau dan celana pendek. Teman-temanku membantu meyakinkan mereka dan akhirnya percaya.

"Saya di suruh Kak Cut untuk mengantar ini," ujar anak lelaki yang dikenal berumur sekitar sembilan tahun itu. Ia mengeluarkan sebuah kertas yang dilipat rapi dari dalam kaos yang dipakainya. Kaos anak itu dimasukkan dalam celana agar kertas tidak terlalu kentara.

Aku menerima liputan kertas itu. Cut? Bukannya itu nama sahabatnya Dik Anga. Benar, ada tulisan nama gadis yang aku cintai di sisi lipatan itu.

"Kami pulang dulu, Pak. Nanti dicari Mak," pamit salah satu di antara mereka untuk segera pulang, aku menahannya sebentar.

Ku rogoh saku celana dan mengeluarkan dompet.  Aku ambil beberapa lembar uang berwarna merah bergambar perahu di satu sisi satu, dan gambar anak gunung krakatau pada sisi satunya. Mereka terlihat sangar senang menerima uang itu.

"Buat jajan, terima kasih banyak, ya. Hati-hati pulangnya,"

"Siap, Pak! Terima kasih banyak."

Mereka berpamitan padaku dan pada teman-temanku yang lain, dan langsung berlari meninggal basecamp kami.

Aku tersenyum sambil membuka liputan kertas ini sambil kusunggingkan senyum bahagia. Bagaimana tidak bahagia, kabar gadis yang aku cintai, akhirnya datang juga. Setidaknya, rasa rinduku yang beberapa saat tak bertemu, bisa sedikit terobati melalui surat ini.

"Mas Teguhkan sayang, Adik sangat merindukan,"

"Nggak gitu, Man. Assalamualaikum Mas Teguh, Adik kangen sama Mas,"

"Sayang, apa kabar? Aku sangat merindukanmu,"

"Bang Teguh sudah mirip pasien yang ada di RSJD Dr. Arif Zainudin, senyum-senyum sendiri,"

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang