Bab 2. Kebencian yang Nyata

144 21 8
                                    

Seulanga

Hidup dan tumbuh besar di tengah gejolak perang yang tak kunjung usai membuat kami menjadi sosok yang tangguh dan berani. Aku tidak lagi mengingat kapan terakhir kali rasa takut hinggap di dada. Keadaan memaksa kami harus mampu bertahan dengan kedua kaki sendiri.

Seperti hari ini, dengan rok lipit, baju kaos lengan panjang dan juga kerudung yang menutup kepalaku asal, aku menelusuri jalanan setapak dengan hati-hati. Di tangan kanan, aku menjinjing rantang makanan yang sudah ku isi penuh dengan aneka lauk. Sedangkan tangan kiri kugunakan untuk memegang kantong kresek yang di dalamnya berisi beberapa buah pisau tajam.

"Hati-hati, Nga. Duh, aku selalu khawatir deh kalau kamu udah masuk hutan, gini?" ujar Cut Fatma, sahabatku saat kami berpapasan di jalan.

"Do'akan saja, Cut. Siapa tahu pulang dari sana, aku bisa dapat wangsit supaya bisa jadi Putri Hutan yang cantik," godaku agar Cut tidak terlalu cemas.

"Seulanga Maulidia, jangan aneh-aneh," sungut Cut kesal. Aku terkekeh pelan melihat wajah cemberutnya. Sebagai sahabat baik ku, aku tahu Cut sangat khawatir dengan keselamatanku. Namun, ini sudah kewajiban yang harus kulakukan agar Ayah tidak lagi masuk hutan.

"Iyaa, Aku akan pulang dengan selamat. Dadaah," jawabku sebelum akhirnya melanjutkan perjalanan. Aku tahu perjalanan ini penuh resiko, tapi sebagai wanita yang hidup dalam keadaan yang tidak memungkinkan ini, aku tidak boleh jadi lemah.

Tanpa gentar, langkahku terus berjalan menuju satu tempat yang dijadikan markas bagi pejuang-pejuang tangguh kami mempertahankan harga diri daerah. Sesekali aku berhenti untuk mengamati sekitar, jika terasa aman maka aku melanjutkan perjalanan yang butuh waktu sejam untuk sampai ke tempat tujuan dengan berjalan kaki.

Menjelang siang hari, aku sampai ke tempat tujuan. Seseorang yang sudah familiar dengan wajahku mendekat dengan senyum lebar.

"Lihatlah, siapa yang datang!" ujarnya setengah berteriak dan senyum lebar yang tak kunjung surut. Melihat senyum senangnya, Aku ikut menarik garis bibir ke atas.

"Assalammualaikum, Pakwa¹!" ucapku memberi salam begitu kami bertemu. Tanganku terulur mencium tangan kanannya takzim. Ia adalah abang kandung ibu yang sudah bergeriliya di hutan hampir sepuluh tahun lamanya.

Aku menyerahkan rantang pada Razak, anaknya yang juga merupakan sepupuku. Kami sebaya, Razak bergabung jadi gerilyawan mengikuti jejak ayahnya sejak dua tahun terakhir. Sedangkan Ayahku memilih menetap di Gampong, karena dia punya kewajiban menyampaikan paham agama pada anak-anak desa.

"Ini pisau yang Pakwa minta minggu lalu. Aku cuma bisa dapat segini, Ayah tidak mungkin mencari dan membeli lebih, takut ada yang curiga," jelasku seraya menyerahkan kantong kresek yang kubawa tadi pada Pakwa begitu aku duduk di dalam gubuk.

"Kamu selalu keren, Nga. Kenapa gak bergabung sama wanita pejuang yang lain aja, sih?" celoteh Razak sambil membuka tantangan dan membaginya dengan teman yang lain. Aku menanggapinya dengan senyum kecil mendengar pertanyaan Razak.

"Udah, aku gini aja, sih. Belum siap jadi bagian dari kalian. Setidaknya, Aku selalu siap membantu dengan cara lain, kan?" jawabku. Sebenarnya bisa saja sih aku bergabung, hanya saja ada satu sudut hatiku yang merasa belum siap bergabung.

"Iya, sih."

"Nah, itu poinnya," ujarku mantap. Pakwa yang duduk di seberang hanya diam tidak menanggapi apa-apa.

"Oh ya, Bang Halim mana? Kok aku gak lihat sedari tadi," tanyaku penasaran sambil menoleh kiri kanan.

"Kenapa nyariin Bang Halim, rindu ya?" goda Razak membuat pipiku merona. Aku malu karena Razak menggodaku di depan Pakwa.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang