Bab 9. Pandangan Orang Tuanya

72 10 0
                                    

Teguh

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Teguh

Sejak kejadian senja kemarin aku memikirkannya.  Wajah ayu itu selalu melintas dalam kepalaku. Raut wajah yang bersemu merah dan wajah juteknya kontras sangat berbeda. Gadis itu memang unik. Aku tersenyum sendiri jika mengingatnya.

"Serka Teguh Kuncoro!" aku segera berdiri mendengar sapaan itu.

"Siap, Ndan!" Letda Adji berjalan mendahuluiku.

"Kamu ngalamun terus, Guh. Danton panggil berkali-kali." Slamet menegurku karena lamunan tadi.

"Maaf, Met. Beneran nggak dengar." Slamet memberi isyarat agar aku mengikutinya bersama dengan Danton tadi.

Benar-benar kacau, sudah berkali-kali danton menegurku karena kedapatan melamun. Astagfirullah, untungnya tidak sedang waktu perang, kalau waktu perang melamun, nyawaku bisa jadi taruhan.

Danton memberikan pengarahan pada kami agar lebih waspada lagi, desas-desus akan terjadi penyerangan pada pos kami semakin santer terdengar. Kebetulan malam ini aku bisa istirahat sebelum besok pagi aku kembali bertugas menyisir daerah sini.

Kumandang azan subuh sudah terdengar dari salah satu temanku. Aku segera bangun lalu mengambil air wudhu. Subuh begini biasanya Mamak yang membangunkan sambil kudapat usapan tangan di keningku. Sebentar lagi harapan memiliki menantu akan terkabul jika Dik Saulanga menerima tawaranku kemarin. Walau mungkin jalan kami nanti tak mudah karena perbedaan idealisme itu nyata.

"Bang Teguh, di cari, tuh?" Torik memanggilku katanya ada yang mencariku, siapa?

"Siapa, Rik?"

"Lupa tanya nama gadis itu, Bang. Cepat Bang, ditunggui di depan." Torik meninggalkanku dengan berbagai pertanyaan. Gadis? Atau Dik Saulanga ingin memberikan jawaban. Aku membawa senjata laras panjang yang selalu kubawa kemana-mana ini lalu segera menuju depan pos jaga. Tak sabar jika gadis itu memang Saulanga.

"Assalamualaikum, Mas Teguh." Seorang gadis menyapa tak lama setelah aku datang. Rupanya bukan Dik Anga. Namun, temannya yang bernama Mila kalau nggak salah.

"Walaikumsalam. Maaf, ada apa, ya?" tanyaku keheranan. Tidak biasanya ada yang mencariku selain Danton dan teman-teman tentaraku. Memang kata teman-temanku gadis ini suka dengan aku. Namun, aku sudah memiliki Saulanga yang hadir di kepalaku setiap hari.

"Mas Teguh sudah makan?" tanya gadis itu padaku. Wajahnya berseri-seri seakan aku ini seorang coverboy yang digandrungi banyak gadis.

"Sudah," jawabku dengan ketus. Ah, bukan ketus juga. Memang pembawaanku begini.

"Mila boleh sering-sering datang kemari. Biar lebih dekat dengan Mas Teguh." Benarkan namanya Mila, sudah aku tebak. Namun, ucapan itu harus aku jawab apa?  Bukannya jika aku jawab boleh, takutnya dia salah menafsirkannya dan dikira aku membuka hati untuknya. Jika tidak, siapa tahu saja dia adalah jodoh dari salah satu temanku di sini.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang