Bab 23. Penolakan

64 10 0
                                    

Teguh

Sebulan sudah sejak pertemuan terakhir dengan Seulanga. Aku kesulitan menemui gadisku, apalagi setelah Razak tertangkap. Keluarganya semakin kentara membenciku secara terang-terangan.

Pagi ini lihat mentari bersinar cerah memancarkan cahayanya untuk menghangatkan makhluk di bumi ini, tapi tidak dengan perasaanku, ada kegundahan yang mendalam, entah apa itu. Semalam pun tidur juga kurang nyenyak. Seperti ada yang mengganjal, pikiranku terus pada Dik Anga.

Beberapa penduduk sekitar sedang menjalankan aktifitas seperti biasanya. Aku tersenyum ketika berpapasan dengan mereka. Tapi aku tertarik pada sekumpulan ibu-ibu yang sedang membicarakan suatu yang menarik. Tumben sekali aku ingin tahu tentang pembicaraan kaum hawa itu.

Beberapa penduduk membicarakan sebuah lamaran, lamaran siapakah itu? Suara yang bisa aku tangkap. Penasaran, aku semakin mendekat dan menajamkan pendengaranku.

"Iya, semalam Seulanga dilamar, tapi kelihatan kalau gadis itu tidak bahagia. Senyumnya terpaksa,"

"Seulanga itu kan cinta sama salah satu tentara yang sedang bertugas ini, sayangnya orang tua tidak merestui,"

Seulanga sudah dilamar secara resmi, tadi malam? Tidak, tidak. Ini tidak bisa dibiarkan. Ku gelengkan kepala dan menyanggah apa yang barusan aku dengar. Seperti ada sayatan dalam lubuk hati terdalam. Luka yang aku rasakan beberapa waktu lalu di lenganku tak ada artinya jika dibandingkan dengan sakit yang tak berdarah ini.

Aku harus melakukan sesuatu. Tanpa ada keraguan, aku berpamitan dengan beberapa teman yang sedang menyisir daerah sungai dan semak.

"Bang, aku ke arah sana, ya. Ada urusan penting,"

"Mau kemana, Guh!"

Setelah mengucapkan kalimat tadi, aku segera berpisah dengan teman-temanku. Salah satu temanku memanggil-manggil, namun aku tak memperdulikan lagi. Langkah kakiku semakin cepat menuju salah satu rumah warga desa ini.

Tak berapa lama aku sampai pada sebuah rumah sederhana. Rumah yang salah satu penghuninya adalah cinta pertama dan terakhirku. Walau sekarang halangannya adalah restu orang tuanya, aku akan berusaha mencari jalan agar kami berdua bisa bersatu.

Tepat di depan pintu utama rumah, aku mengambil napas dalam dan menghembuskan perlahan. Langkah ini aku ambil sebagai wujud jika aku serius pada gadisku.

Bismillah, kurapalkan doa dalam hati sebelum mengetuk pintu di depanku. Niat baikku harus aku utarakan segera.

"Assalamualaikum!" salamku setelah ketukan pertama. Sepertinya belum ada sahutan dari dalam rumah. Kuketuk sekali lagi pintu itu.

"Assalamualaikum, permisi!" ketukan kedua aku lakukan lagi, sepertinya sudah ada suara dari dalam rumah menyahut salamku.

"Walaikumsalam, ma...mau apa kamu kemari?" Dibukalah pintu itu dan perempuan paruh baya yang aku ketahui beliau ibu Seulanga. Beliau tampak sedikit takut akan senjata yang aku bawa ini.

"Maaf, Bu. Saya bisa bicara dengan Bapak?" kuucapkan maksud kedatanganku. Kuputar senjataku kebagian belakang tubuhku.

"Ada apa kamu datang kemari?" suara ketus itu menyahutiku. Kuarahkan pandanganku pada sosok lelaki yang berada di belakang tubuh Ibu Seulanga. Beliaulah Bapak Seulanga.

"Maaf, Pak. Apa benar Dik Anga sudah dilamar?" tanyaku pada lelaki paruh baya di depanku. Aku berharapa jika aku salah mendengar dari penduduk tadi.

"Benar, tadi malam,"

Jawaban singkat itu membuatku tercekat, rasanya ada sebuah luka yang menyahati hati. Sakit, namun tidak berdarah.

"Bapak dan ibu tahu kan, jika saya dan Dik Seulanga saling mencintai, bagaimana bisa perjodohan ini dilanjutkan?"

"Tidak, sampai kapanpun aku tidak menyetujui hubungan kalian, sebaiknya kamu pergi!"

"Kenapa Bapak sangat membeci kami? Apa yang salah dengan seragam yang kami kenakan ini?"

"Bukannya kita sama-sama ciptaan Allah, menjalankan perintahNya dan menjauhi semua laranganNya."

Sebisa mungkin aku berbicara sesopan mungkin dengan kedua orang tua Seulanga. Tidak ingin menambah citra buruk dimata beliau. Walaupun dalam dadaku berkobar api amarah mendengar gadis yang aku cintai dilamar orang lain.

"Kalian dan kami, itu sangat berbeda, dan kamu dengan Anga tidak bisa bersatu. Sebaiknya kamu cari gadis lain," Lelaki paruh baya di hadapanku ini kekeh dengan pendiriannya. Wajahnya tidak ada ramah-ramahnya padaku. Sekedar melihat wajahku saja sepertinya enggan, pandangannya lurus menuju halaman rumah.

"Saya mencintai anak gadis Bapak, tolong beri saya kesempatan," ucapku setulus hati agar rasa ini bisa dilihat orang tua gadis pujaan hati.

Lelaki paruh baya itu memandangku tajam. Tapi tidak ada tanggapan atas pernyataan perasaanku pada anak gadisnya, pintu rumahnya ditutup rapat dan meninggalkan aku sendiri. Astagfirullah, beginilah kalau cinta tanpa restu orang tua. Bertepuk restu sebelah tangan.

Kutinggalkan rumah itu dengan hati yang, entahlah, tak bisa digambarkan. Sesak rasanya dada ini. Apakah aku harus pasrah dengan nasib cintaku yang sampai disini? Seulanga tak bisa menemuiku lagi. Ayahnya menentang keras hubungan kami.

***

Semilir angin menerpa wajah, menyejukkan. Pagi sampai siang, hari ini mentari tidak terlalu menunjukkan kuasanya. Sejuk, namun tidak dengan hatiku. Gelap terasa, hubunganku dengan Seulangan entah bagaimana rimbanya.

Siang ini aku dipanggil komandan kembali, dan seperti dugaanku, Danton menegurku karena kurang konsentrasi saat bertugas. Memang setelah mengetahui berita lamaran Dik Anga, konsentrasiku buyar. Pikiranku selalu pada kekasihku, Seulanga.

"Kamu masih yakin dengan takdir Tuhan?" pertanyaan Letda Adji membuat kepalaku terangkat.

"Siap, yakin Ndan," sahutku menjawab pertanyaannya.

"Kalau yakin, berarti masih ada harapan. Sesulit apapun ujian cinta yang kalian hadapi, pasti Tuhan akan akan memberikan jalan keluar,"

"Kisah cintamu ini seperti kisah cintaku, Guh. Dulu, orang tua istriku melarangku berhubungan dengan putrinya. Sampai suatu saat istriku nekat kabur untuk mengajakku kawin lari. Namun aku tidak mau dan kuantar kembali pulang pada orang tuanya."

"Lima tahun, Guh. Itu waktu yang tidak sebentar loh, tapi alhamdulillah, sekarang kami sudah menikah. Walaupun, tiga bulan setelah menikah berangkat tugas di sini,"

Aku mendengarkan dengan seksama cerita dari komandanku ini. Ternyata kisah cinta atasanku ini juga lumayan rumit. Tidak seperti apa yang aku lihat, mereka sangat bahagia setelah rentetan ujian sebelum halal.

Beliau juga menasehatiku tentang mengambil hati calon mertua. Walau sekarang hati orang tua Seulanga masih tertutup atas kehadiranku, insyaAllah suatu saat nanti akan terbuka lebar menerimaku. Jangan pernah pesimis dengan sebuah perjuangan hidup. Apapun rintangan dan hambatan, pasti ada jalan. Seperti kata R. A Kartini, habis gelap terbitlah terang. Aku juga yakin, jika suatu waktu nanti dengan ijin Allah, pasti aku dan Dik Anga akan bahagia dengan keluarga kecil kami.

Kata-kata yang paling aku ingat dari pesan Ltda Adji tadi, perjuangkan cintamu seperti memperjuangkan impian dan cita-citamu.

**
"Gadis itu sudah mau nikah? Terus hubungan kalian gimana, Bang?"

"Entahlah, Man," jawabku asal. Meskipun tadi bersemangat setelah mendengar motivasi Letda Adji, kini hatiku gundah kembali. Hatiku benar-benar kacau. Seumur-umur baru kali ini merasakannya.

Bersambung...

Nah, sampai juga di part ini. Menurut kalian, penting gak sih restu orang tua? Dan kalau jadi Teguh, langkah apa nih yang mau di ambil?

Btw, part ini ditulis partner ku AnikAfni255

Jangan lupa vote dan komen ya.

Best Regards,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang