Bab 35. Menjemputnya

91 12 2
                                    

Teguh

3 tahun kemudian.

Rasa syukur tak hentinya aku panjatkan ketika baru saja keluar dari pesawat. Aku bisa menghirup udara lagi di tanah serambi mekah, Aceh. Ya, aku sekarang berada di bandara Blang Bintang. Untuk melanjutkan kisah cintaku pada seorang gadis yang tertunda.

Pertama kali ke bandara ini sewaktu bersama teman-teman memakai seragam loreng kebanggaan. Sedangkan sekarang, aku hanya memakai celana jin dan juga kaos polo yang dilapisi jaket cokelat. Kenapa aku ada disini? Karena ingin menjemput pujaan hati yang aku tinggalkan tanpa pamit.

Terakhir yang aku ingat ketika itu, terjadi kontak senjata dan aku terkena dua tembakan, di bahu dan kaki kiri karena menyelamatkan seorang perempuan. Perempuan yang aku selamatkan itu ternyata ibu dari gadis yang aku cintai. Namun, aku tak pernah tahu bagaimana kabar mereka sampai saat ini. Semoga saja dalam keadaan sehat semua, mengingat Aceh dua tahun lalu diterjang bencana yang Maha dahsyat.

Menurut cerita teman-teman, luka tembakku mengeluarkan banyak darah dan membuatku tak sadarkan diri. Sempat di rawat di rumah sakit kota Banda Aceh, dan setelah operasi untuk mengeluarkan peluru kondisiku sempat menurun. ketika itu keluarga langsung meminta agar aku segera di bawa pulang ke Jawa. Menurut cerita teman-teman, gadisku pernah menjengukku di rumah sakit sambil terus menangis dan mengajakku berbicara. Ah, senengnya mendengar cerita itu.

Aku langsung dibawa ke RSPAD atau Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat di Jakarta dan ibu yang selama aku sakit selalu setia menemaniku sampai aku keluar untuk rawat jalan. Lalu pengobatan dilanjutkan di kota Solo tempatku berdinas. Tiga bulan aku dirawat di RSPAD, teman-teman serta keluargaku sudah pasrah jika terjadi sesuatu Yang buruk padaku saat itu. Bersyukur Allah masih memberikanku kesempatan untuk hidup dan bisa menginjakkan kaki ke tanah Aceh ini kembali.

Aku masih tersenyum-senyum sendiri ketika mengingat wajah gadis yang mencuri perhatianku itu. Tiga tahun aku meninggalkannya tanpa kabar, semoga saja dia masih menungguku datang menjemput untuk menyatukan cinta yang sempat tertunda.

"Mak, kulo sampun dugi bandara Aceh, nyuwun donga pangestu," ("Bu, saya sudah sampai bandara Aceh, mohon doa restunya,) aku menghubungi Ibu sesampainya di bandara. Sepertinya pemulihan pasca tsunami sudah mulai terlihat di sekililing bandara.

"Yo, Le. Mugo lancar tekan gone. Ati-ati," (Ya, Nak. Semoga lancar sampai tujuan. Hati-hati,) doa selalu dipanjatkan untuk aku, putra kebanggaannya. Karena memang anak lelaki ibu hanya aku.

Ku nikmati perjalanan untuk sampai ke kampung Seulanga. Masih perlu beberapa jam perjalanan untuk sampai ke desa itu. Namun, perjalanan kali ini sedikit lebih nyaman karena memakai kendaraan roda empat. Fasilitas jalan sudah dilebarkan dan diperbaiki, berbeda pada waktu aku masih tugas di sini tiga tahun lalu. Jalan masih sempit dan becek ketika hujan turun.

Aku membayangkan bagaimana wajah gadis itu ketika melihatku kembali. Apakah senang, sedih? Membayangkan saja aku sudah tersenyum. Atau jangan-jangan dia sudah menikah dan memiliki anak dengan lelaki itu? Ah, pikiranku mulai bercabang sampai di sini.

"Astagfirullah," segera aku beristighfar menyebut Asma-Nya. Allah itu seperti yang hambaNya prasangka kan, jadi aku harus terus berfikir baik pada nasib cintaku.

Semburat senja sudah terlihat dari kaca mobil yang aku tumpangi. Saat seperti ini aku mengingat pertemuanku dengan Seulanga sewaktu di sungai, menungguinya mencuci baju sambil bertukar pikiran. Seperti apa gadis itu sekarang?

Aku sampai di rumah salah satu tetua di kampung ini, Pak Keuchik. Ia menyambut ramah kedatanganku dan orang-orang tidak lagi memandang sinis kedatanganku. Setelah berbincang sebentar, aku disarankan dan mereka mengantarkan aku untuk menginap di rumah Nek Raman dan Istrinya. Di sana aku meminta ijin agar diperbolehkan bermalam di rumahnya, baru besok aku ke rumah Seulanga. Mereka berdua menyambut dengan senang gembira. Ku berikan beberapa buah tangan yang tadi sempat aku beli sewaktu melintasi pasar.

Sebenarnya malam ini juga, aku bisa saja datang ke rumah yang tak jauh dari rumah ini. Namun, tak enak jika malam-malam bertamu. Menunggu beberapa jam lagi untuk berjumpa pujaan hati tidak lah salah. Tiga tahun saja aku bisa menanti, apalagi cuma hitungan saja.

Nek Raman bercerita jika Seulanga juga sepertinya masih menyimpan perasaan itu padaku. Ah, senang sekali rasanya mendengar hal itu. Sepertinya perjalananku ke kampung ini tidak akan berakhir sia-sia.

Istri Nek Raman menyiapkan makan malam, lalu menyuruhku tidur di kamar anaknya yang sudah merantau jauh ke Padang. Sepertinya aku ingin segera waktu cepat berlalu, biar segera melihat pujaan hatiku. Aku berharap kali ini diterima.dengan tangan terbuka oleh keluarga gadis itu. Bukan ditolak dan dianggap musuh seperti di masa lalu.

Subuh menjelang, namun aku sudah terjaga dari pukul tiga dini hari. Karena tidak bisa tidur, akhirnya aku meminta pada sang pemilik kehidupan agar perjalanan cintaku ini seperti yang aku harapkan. Restu kedua belah pihak kami dapatkan dan segera ke pelaminan.

***
Kicau burung di pagi hari menyapa hariku, semilir angin membawa kedamaian dalam suasana pedesaan ini. Udara masih segar terasa di paru-paru penduduk kampung ini. Keadaan lebih aman dari tiga tahun yang lalu. Bersyukur semua dapat diselesaikan dengan damai.

"Sarapan dulu, Nak Teguh," Nek Raman memintaku untuk bergabung sarapan dengan mereka. Menu sederhana, hanya nasi goreng dengan lalap sayur segar. Teh hangat menemani sarapan kami. Kami hening dalam sarapan ini, menikmati sajian masing-masing.

Setelah aku mengucapkan terima kasih, aku pamit untuk ke rumah Seulanga. Setiap langkah menuju rumahnya debaran dalam dada semakin kencang. Ku tatap lama bangunan rumah di depanku, pintu masih tertutup rapat. Mungkin baru ada kegiatan di belakang rumah atau masih bersantai di dalam rumah, perkiraan ku.

Aku mengucapkan basmallah sebelum mengucapkan salam. Kutarik napas panjang untuk menetralkan debaran dalam dada. Kuletakkan kantung plastik yang aku bawa. Setelah menarik napas pelan, aku perlahan mengetuk daun pintu di depanku.

"Assalamualaikum," ku ucap kan salam pertama kali. Beberapa saat aku tunggu tak juga ada yang membuka pintu itu.

"Assalamualaikum," lagi, aku ucapkan salam dan berharap ada sahutan dari dalam rumah.

"Walaikumsalam, sebentar!" Alhamdulillah, bersyukur ada sahutan dari dalam rumah. Itu suara yang aku nanti-nantikan saat ini. Pintu terbuka dan gadis yang aku rindukan itu masih belum mengarahkan tatapannya ke arahku.

"Cari siap... Mas Teguh!" teriaknya histeris lalu menyentuh tanganku ini. Aku hanya terpaku di tempat tanpa melakukan reaksi apapun. Bingung mau bagaimana. Dalam angan ku ingin aku membawa ia dalam pelukan, namun aku masih ingat akan dosa.

"Alhamdulillah, Mas Teguh selamat," ucapnya masih dalam keadaan terisak.

"Iya, Dik. Alhamdulillah aku selamat. Buktinya sekarang ada di sini,"

"Heem!" suara dehaman membuat aku menoleh pada sumber suara itu, dan Dik Seulanga dengan secepat kilat melepas genggamannya dari tubuhku.

"Assalamualaikum, Pak," kuucapkan salam lalu memberikan senyum seramah mungkin pada lelaki paruh baya yang tadi memberikan deheman. Beliau adalah Ayah dari Dik Seulanga. Sejujurnya aku takut ia akan mengusirku lagi kali ini, tapi aku sudah bertekad.

"Jangan bersentuhan, kalian belum boleh," lalu beliau berjalan ke arah kami berdua berdiri.

"Apa kabar Teguh Kuncoro?"

----
Gimana? Udah bisa dibubuhi tanda tamat belum? Tamat di sini aja ya? Atau mau tambahan lagi? Komen di sini coba.

Akhirnya sampai juga di penghujung cerita, kisah ini akan segera menemukan muaranya.

Part ini ditulis partner ku AnikAfni255.

Eh, tau tidak kalian, selama menulis cerita ini Wanita asli jawa ini sempat di kira orang Aceh lho.

Tunggu kejutan terakhir kami.
Salam cinta,

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang