Bab 7. Mengambil Hati

76 11 2
                                    

Teguh

Sebagai abdi negara dan hidup berpindah-pindah dari tempat satu ke tempat lain membuat kisah asmara terasa kosong. Makanya teman-temanku memanggil dengan sebutan jomblo abadi. Bukan tidak ada wanita yang suka, namun aku sendiri yang belum membuka hati untuk kaum hawa. Namun, duniawi berubah seketika.

Sejak pertemuanku dengan gadis itu beberapa kali membuat jantung berdetak tak karuan. Seperti jika aku sedang berhadapan dengan musuh di medan perang. Tapi bukan detak jantung dengan rasa takut, melainkan detak jantung yang ada rasa geleyar aneh dalam hatiku. Entah, perasaan apa ini. Baru pertama kali aku rasakan seumur hidupku. Debar itu datang ketika melihat wajah gadis asli Aceh itu. Gadis yang menurut unik.

Tujuanku datang ke sini memang untuk mempertahankan keutuhan negara ini. Namun, jika memang pulang tugas nanti sekalian dengan membawa jodoh, bukankah tidak lebih baik? Ibarat pepatah mengatakan, sekali dayung, dua tiga pulau terlampaui.

Danton memerintahkan untuk mengadakan kerja bakti minggu depan. Itu artinya masih ada beberapa hari lagi aku dan teman-teman mengambil hati penduduk desa Gompong ini. Beberapa bulan tinggal di sini mereka sudah perlahan bisa mereka sudah bisa menerima kehadiran kami. Alhamdulillah, setiap usaha mestinya ada hasil yang sepadan.

Senyum ramah kami setiap berpapasan dengan penduduk yang awalnya diacuhkan perlahan mulai mendapat respons positif. Mereka melempar senyum kembali atau menyapa kami dengan waktu saat berjumpa.

Beberapa warga yang anggota keluarganya semua perempuan dan sewaktu atap rumah bocor, kami yang kebetulan lewat dengan senang hati membantu memperbaikinya.

Aku dan Danton beberapa hari lalu mendatangi rumah perangkat desa untuk menyampaikan rencana kami untuk mengadakan kerja bakti pada hari minggu yang akan datang. Awalnya perangkat desa ragu dengan rencana itu, namun kami tak pantang arang untuk meyakinkannya dan berhasil.

Minggu pagi ini sudah berkumpul di jalan utama kampung. Kami para lelaki bekerja bakti memotong daham dan ranting pohon yang terlalu rimbun dan mencabuti rumput liar. Aku sekarang sedang memegang cangkul untuk mendalamkan parit yang mulai dangkal karena timbunan tanah yang terbawa aliran air saat sedang hujan turun. Kami memakai celana loreng dan juga kaos hijau lengan pendek yang biasa kamu pakai dalam baju seragam. Matahari Uny terik membuat badan kami berkeringat mengalir deras, mengakibatkan otot dada dan perut kami terlihat ketika kaos menempel badan.

Ekor mataku melirik ke arah sekelompok gadis yang sedang menyiapkan konsumsi bagi para pekerja. Kelihatannya mereka sedang asyik. Mereka sedang melihat ke arahku berdiri saat ini.

"Bang Teguh, kayaknya salah satu dari gadis itu suka sama Abang." ucap Wahyu ketika melihat darah gadis itu.

"Iya, Guh. Ada yang suka sama kamu. Namanya Nila kalau nggak salah." Demi ikut menimpali.

"Apa iya?" kulirik sekali lagi ke arah mereka. Tentu saja tatapanku tertuju pada gadis itu. Seulanga, itulah nama gadis itu. Gadis aneh yang begitu membenci tentara. Semoga saja pandangannya berubah dengan melihat kami pagi ini.

Namun, benar kata Wahyu. Ada seorang gadis yang terang-terangan menunjukkan rasa sukanya padaku. Apa dia yang bernama Mila? Aku penasaran dengan Saulanga dan ingin lebih mengenal gadis itu. Kuarahkan pandanganku padanya, tidak disangka. Dia juga melihat ke arahku. Segera aku memberikan senyum simpul. Senyum yang katanya membuat para gadis terpesona karena lesung pipitku yang samar terlihat.

**
Dari seorang informan terdengar kabar jika gerilyawan itu merencanakan penyerangan pada kami. Tentu saja anggota harus siap dan penuh waspada di mana pun berada. Sekarang ini Danton memerintahkan untuk melatih kepekaan dengan menggunakan senjata. Bukan senjata laras panjang yang dipakai. Kami sekarang sedang menggunakan sumpit. Jangan dibayangkan sumpit sebagai alat makan. Melainkan senjata tiup tradisional dari suku dayak yang mendiami sebagian besar pulau Kalimantan. Keahlian ini kami dapatkan sewaktu menjaga perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia.

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang