Bab 36. Hasil Penantian Panjang (Tamat)

241 14 4
                                    

Seulanga

Pesawat baru saja diterbangkan beberapa menit yang lalu. Aku duduk dengan gugup di salah satu bangku, bersebelahan dengan lelaki yang kini sedang menggenggam tanganku. Rasanya jantungku tidak pernah berhenti berdebar setiap kali jemari itu menyelusup di sela-sela jari yang kosong.

Sejujurnya aku sedikit gelisah walaupun ini merupakan perjalanan keduaku naik pesawat. Aku tidak pernah bepergian jauh sebelumnya. Paling jauh, aku hanya pergi ke pusat Kabupaten dengan berboncengan sepeda motor buntut milik warga. Selain itu, banyak waktu aku habiskan di rumah dan membantu di kebun.

Saat pengurusan berkas untuk pengajuan nikah, aku sempat diboyong ke Solo selama dua pekan. Tentu saja dengan segudang jaminan yang harus Mas Teguh penuhi di hadapan sang ayah. Juga kedatangan orang tuanya tiga bulan sebelum keikutsertaan aku kembali ke Solo. Mereka datang untuk lamaran secara resmi.

Ibu dari Mas Teguh adalah orang yang sangat baik dan lembut. Tutur katanya penuh nasihat dan sopan. Dia juga menyambut kedatanganku di keluarganya dengan tangan terbuka. Saudara-saudaranya juga sangat ramah denganku.

Setelah kedatangan orang tua Mas Teguh, baru aku diizinkan terbang ke Solo. Di sana aku tinggal di rumah keluarga Mas Teguh dan Mas Teguh sendiri memilih mengungsi ke rumah saudaranya yang lain untuk menghindari fitnah. Munir ikut bersamaku untuk jaga-jaga Mas Teguh tidak membawa lari diriku bersamanya, kata ayah waktu itu. Yah, namanya juga orang tua yang khawatir pada keselamatan anak gadisnya. Itu merupakan momen terepot seumur hidupku. Bagaimana tidak, aku harus lapor sana sini. Belum lagi mengurus berbagai administrasi yang panjangnya subhanallah.

Saat itu aku hampir menyerah saja, repot dan lelah membuat kami jadi sering berdebat. Namun, cinta membuat aku dan dia tetap bertahan. Walau bagaimana pun, kami sudah berjuang sejauh ini. Tentu akan konyol sekali jika sampai menyerah hanya karena hal sepele saja.

"Masih gugup?" tanya lelaki di samping dengan mengalihkan seluruh tatapannya padaku. Ditariknya tanganku menuju bibirnya, lalu memberikan sebuah kecupan di sana. Lamunanku segera buyar seketika dan digantikan hatiku berbunga-bunga.

"Sedikit," jawabku kikuk.

"Ada Mas di sini."

Aku menarik garis bibir melengkung ke atas. Benar saja, kata-katanya membuat aku sedikit lebih tenang. Lagi-lagi, ia menarik tanganku dan mengecupnya perlahan.

Kini lelaki bernama Teguh Kuncoro ini sudah sah menjadi suamiku semenjak sebulan yang lalu. Setelah rangkaian rintangan yang sangat panjang, akhirnya kami menikah juga.

Setelah pulang dari Solo, orang tua Mas Teguh menyusul ke Aceh bersama rombongan. Seminggu kemudian akad nikah dilangsungkan, sebuah pesta kecil diadakan. Aku tidak bisa menggambarkan dengan kata-kata bagaimana hari itu. Rasanya dadaku membuncah bahagia ketika kata sah diucapkan para saksi saat Ayah dan Mas Teguh selesai mengucapkan ijab kabul. Duniaku terasa sempurna dan lengkap. Harapan yang kukira sudah sirna di telan waktu ternyata datang menampakan wujudnya di saat yang tepat.

Mas Teguh datang di saat aku sudah pasrah pada apapun takdir yang akan menimpaku. Keadaan sudah jauh berbeda pada kedatangannya kembali kala itu. Perang usai dan keluargaku sudah melihat sosok Mas Teguh dengan cara berbeda. Ia diterima dengan tangan terbuka. Dan hari ini, tepat sebulan usia pernikahan kami, aku diboyong ke Solo untuk menemani lelaki bergelar suamiku kini menjalani hidup. Menjadi pendamping yang akan melewati suka duka bersama.

"Tuh kan melamun lagi, Mas dianggurin deh," keluh Mas Teguh membuat tawaku pecah dengan gemas.

"Apa Mas?" tanyaku kali ini dengan memusatkan seluruh atensiku padanya. Mas Teguh tersenyum mendengar pertanyaan ku.

"Senang, gak?"

"Banget."

"Mas masih gak nyangka, hari ini kamu sudah di sini. Jadi istriku yang sangat cantik," pujinya membuat ruam merah mewarnai pipiku.

"Apaan sih, Mas."

"Kok apaan? Mas lagi serius, nih," godanya makin menjadi-jadi. Semenjak menikah Mas Teguh senang sekali menggoda ku dan membuat pipiku merona seketika.

"Jangan gombal, deh."

"Sama istri sendiri gak ada yang larang, kan?"  Mas Teguh mengedipkan matanya dengan genit ke arahku. Membuat bibirku melengkung ke bawah karena cemberut. Tanganku sontak mencubit pinggangnya agar dia tidak lagi mengusiliku.

"Ampun, Dik. Jangan buat Mas banyak gerak, nanti pesawatnya jatuh," ucapan Mas Teguh berhasil membuat rasa gelisah ku kembali. Kan, aku jadi gugup lagi. Jadi, alih-alih menjawab aku malah mengeratkan genggaman tanganku pada jemari besar milik Mas Teguh. Lelaki ini sepertinya mulai menyadari kegelisahanku, ia mengelus pundaku lembut untuk menyalurkan kekuatan.

"Sayang," panggil Mas Teguh terdengar sangat halus.

"Hmm," gumamku enggan menyahut. Aku memang sedikit lebih parno jika bayangan sedang berada di ketinggian sejauh ini. Dua kali penerbangan dulu tidak membantu mengurangi kegugupanku sedikitpun.

"Hei, lihat mata Mas," pinta Mas Teguh. Aku mengangkat wajah dan menatap tepat di manik matanya. Berharap bisa melupakan lagi ketakutan ku selama sisa perjalanan nanti.

"Sekarang arahkan pandanganmu keluar jendela. Lihat, langit senjanya indah sekali dari sini," rayu Mas Teguh dengan tawarannya. Aku penasaran tentu saja, tapi rasa takut masih membuat aku tidak berani.

"Sayang, lihat. Mataharinya sangat indah menghiasi langit berwarna jingga. Lihatlah, rugi kalau kamu tidak bisa menikmati momen ini. Mumpung kita ada di sini," tutur Mas Teguh tanpa memutus kontak mata kami.

Perlahan aku melarikan arah pandangku ke luar jendela pesawat. Benar saja, seketika aku disuguhkan sebuah pemandangan yang sangat menakjubkan. Gumpalan awan yang terlihat seperti gelombang air laut terlihat berwarna keemasan terkena sinar matahari. Di ujung sana, mentari senja bersinar dengan cerah menampilkan warna eksotik jingga di seluruh permukaan laut.

"Indah sekali," ungkap ku begitu saja.

"Kamu tahu, Dik. Senja selalu membuatku teringat padamu selama kita berjauhan dulu. Dik Anga benar-benar mengisi keseluruhan ruang kosong sudut hatiku."

Aku masih diam mendengarkan. Mataku masih menikmati keindahan alam di depan mata. Semburat senja menampilkan sesuatu yang sangat indah untuk dinikmati dari udara setinggi ini. 

"Terima kasih ya, sudah setia menanti Mas sampai selama ini. Aku tidak bisa membayangkan jika harus hidup tanpamu. Mas sayang kamu" ucapnya jujur.

Aku tersenyum mendengar penuturan tulus dari Mas Teguh. Dia selalu tau cara membuat dadaku berdesir di saat yang tepat.

"Anga juga sayang, Mas," balasku malu-malu. Setelah itu tidak ada lagi yang berbicara. Kami berdua hanyut dalam pemandangan indah dari luar pesawat yang begitu memukau senja ini. Perjalanan panjang dan menggelisahkan menjadi perjalanan indah yang tidak mudah terlupakan.

Mas Teguh.

Terima kasih sudah datang menjemput. Terima kasih sudah membuat penantian panjang ini tidak sia-sia. Aku percaya, menjalani hidup denganmu adalah pilihan terbaik dalam hidupku.

I Love You.

TAMAT


Yeay. Akhirnya kata ajaib ini keluar juga. Kali ini beneran tamat ya. Sampai di sini kisah perjuangan Mas Teguh dan Dik Seulanga nya.

Salam cinta dari aku dan AnikAfni255, terima kasih sudah membersamai kami selama proses penulisan ini.

Semoga buku ini bisa naik cetak dan menjadi pilihan favorit kalian dalam bacaan.

See you di cerita selanjutnya...

Love.

Nurul Hidayati MN

Di Batas Senja (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang