Orchidia POV
Aku mengerjapkan mataku perlahan ketika cahaya silau mengenaiku. Mataku terbuka sempurna ketika menyadari seseorang tengah memperhatikanku. Ah. Mata itu lagi. Aku merindukannya. Ingin berada dipelukan hangatnya.
"Feel better?" Tanyanya sambil mengusap punggung tanganku pelan. Aku hanya mengangguk. Aku tak berani membuka mulutku. Shit. Ini pertama kalinya aku terbangun dengan pria ini disampingku. Aku tak mau membuatnya illfeel. Aku mencoba bangun dari tidurku dan kucoba untuk berdiri. Javaka nampak sigap membantuku.
"Mau kemana?" Tanyanya. Aku hanya menunjuk sebuah ruangan kecil di dalam ruangan ini. Ya kamar mandi. Aku harus mencuci muka dan mulutku. Aku tetap terdiam. Dia membantu membawa tiang infusku lalu masuk ke dalam kamar mandi. Dia mengecek air di washtafelnya. Dia masih di belakangku ketika aku membasuh wajah dan aku berkumur. Lalu aku menatapnya lewat cermin di depan kami.
"Keluarlah. Saya ingin buang air" pinyaku lalu dia mengangguk paham dan keluar. Setelah selesai aku keluar dari sana dan mendapati Javaka terduduk di sofa. Dia mendekatiku dan membantuku kembali ke ranjangku. Javaka masih mengenakan pakaian yang sama seperti semalam. Apa dia tidur disini? Batinku.
"Bagaimana kamu bisa tahu?" Tanyaku penasaran. Dia duduk di ranjangku dengan tangannya menggemgamku. Erat.
"Apa dokter Rian yang memberitahu?" Tanyaku lagi. Dia hanya mengendikkan bahunya.
"Kenapa kamu menyembunyikan ini hmm?" Giliran ku terdiam dengan pertanyaan yang ia lontarkan.
"Sampai kapan kamu menyembunyikan hal ini dari keluarga kamu?" Rasanya suaraku menghilang.
"Kamu gak tau khawatirnya mama kamu? Kamu gak tau khawatirnya saya ketika mendapati apartemen kamu kosong dengan semua panggilan yang kamu abaikan?" Tanyanya sedikit emosi. Lalu aku membayangkan mama yang khawatir membuat air mataku keluar. Tangannya terulur ke wajahku. Menghapus air mata sialan yang tak dapat aku bendung lagi.
"Kamu tau betapa takutnya saya ketika dokter Rian menyuruh saya ke rumah sakit ini hmmm?" Dia mencecarku. Sedangkan aku tak bisa memberinya jawaban.
"Im sorry" hanya itu yang keluar dari bibir keluku. Belum sempat dia menanyakan hal lainnya terdengar ketukan pintu. Javaka beranjak dan membukanya. Terlihat perawat membawa makanan. Dia berpesan pada Javaka agar memastikan aku menghabiskan apa yang ada di nampan itu. Javaka mengangguk paham dan membawa nampan itu ke hadapanku.
"Mau makan sendiri atau saya suapkan?" Tanyanya. Aku mengambil sendok itu lalu mengambil bubur yang terlihat tak menarik itu dan memasukkan ke dalam mulutku. Dia masih memperhatikanku. Lalu aku meletakkan sendokku dengan makanan yang masih tersisa.
"Habiskan" ucapnya.
"Udah kenyang" rajukku.
"Atau saya telepon mama papa kamu sekarang?" Ancamnya dan mau tak mau menghabiskan makanan hambar itu. Aku berdecak kesal dengan ancamannya itu. Dia masih dengan ekspresi datarnya.
"Good girl" ucapnya lalu mengacak-acak rambutku. Aku menarik lengannya mendekat lalu memeluk pinggangnya. Dia menegang.
"Jangan marah" ucapku lirih. Dia hanya mengusap kepalaku.
"Maka jangan membuat saya khawatir" balasnya dengan suara dinginnya. Aku melepas pingganggnya lalu ku tatap mata lelahnya.
"Jangan beri tahu mama & papa hmm?" Pintaku dengan puppy eyesku.
"Morgan?" Tanyanya yang langsung ku jawab dengan gelengan kepala ku cepat.
"So marry me" balasnya. Aku terkejut dengan serangan baliknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonder To Be Loved By You
Romans[HIATUS] Gadis itu terlihat fokus membaca sebuah novel tebal setebal skripsi anak-anak teknik. Namun sebenarnya pikirannya melanglang buana entah kemana. Hingga suara getaran ponselnya mengembalikannya ke tempat seharusnya. Lalu membaca sebuah pesan...