Orchidia POV
Tiga minggu setelah tawaran Javaka, aku belum memberikan jawaban. Javaka pun tak pernah menanyakannya lagi. Tak ada yang berubah setelah kejadian itu. Dia benar-benar memberiku waktu. Meskipun Java bilang kalau dia punya batas waktu, namun nyatanya ia tak mengejar ku untuk segera memberikan jawaban.
Bahkan ketika dia bertanya apakah ada hal yang belum ia ketahui, aku menjawab dalam hatiku. Ada. Namun aku tak berani mengungkapkannya, pun sampai sekarang. Aku akan memberitahunya pasti. Hanya itu yang menjadi keraguannya untuk mengatakan ya dengan tawarannya waktu itu.
Apa yang ditawarkan Javaka terdengar indah ditelingaku. Aku bahkan ingin mengatakan ya pada waktu iti ketika dia mengatakan aku bisa sekaligus melanjutkan S2 ku. Namun lagi-lagi aku berperang dengan batinku sendiri. Aku membayangkan hidup bersama pria itu dan bukan hal yang buruk. Aku harus mencoba.
Pagi ini ketika aku terbangun, aku mendapat pesan dari tante Frisca, mama Javaka. Dia memintaku datang ke rumahnya untuk menyiapkan surprise untuk ulang tahun Javaka yang ke 28. Sunggu aku pun tak tau kalau hari ini adalah ulang tahunnya. Aku pun tersenyum semangat untuk hari ini.
Setelah bersiap dan keluar dari dari apartemenku. Namun tiba-tiba pingganggku sangat nyeri. Aku pun kembali masuk ke apartemenku untuk mencari obatku dan meminumnya. Untuk berjaga aku pun membawa serta obatku. Setelah sedikit reda, aku langsung menuju ke rumah Javaka.
Tante Frisca memintaku membantunya membuat cake dan beberapa makanan lainnya. Dia memberitahukan rencana untuk hari ini. Dia ingin melakukan kejutan ini di apartemen Javaka. Aku pun mengangguk paham. Kami selesai membuat kue dan makanan lainnya sekitar pukul dua siang. Lalu bergegas ke apartemen Javaka untuk menyiapkan semuanya.
Ditengah persiapan itu lagi-lagi aku merasakan nyeri yang sangat buruk. Aku pun izin ke kamar mandi hanya untuk meminum obatnya. Aku menunggu obatnya bereaksi. Namun nihil bahkan setelah hampir 15 menit rasa sakitnya tak kunjung hilang. Aku berkeringat. Sangat lemas ku rasakan. Aku memutuskan untuk keluar dan menemui tante Frisca yang menatap khawatir karena aku di kamar mandi yang cukup lama.
"Kamu tidak apa-apa sayang?" Tanyanya nampak khawatir melihat aku keluar dari kamar mandi.
"Orchid hanya sakit perut. Ini hari pertama haid Orchid tante" bohongku dengan tetap menahan rasa sakitku. Dia mendekatiku lalu mengelus pelan perutku.
"Kamu istirahat saja ya di kamar Java biar enakan" dia menyarankan. Namun aku tak bisa menahan sakit lagi.
"Apa boleh Orchid ke apartemen sebentar untuk mengambil obat Orchid" alibiku.
Tante Frisca langsung mengizinkanku dengan cepat. Dia bahkan ingin mengantarku karena tak yakin aku bisa mengemudi. Namun aku menolaknya dan meyakinkannya kalau aku masih bisa. Ya aku harus segera pergi dari sini.
Dengan rasa sakit yang tetap sama aku memutuskan untuk ke rumah sakit. Beruntungnya tak ada antrian untuk menemui Dokter Rian. Sesampainya di ruangannya aku menjelaskan apa yang aku rasakan. Dia menyuruhku berbaring untuk pemeriksaan. Dia hanya diam lalu terlihat memanggil asistennya dan sedikit berbisik. Lalu perawat itu keluar. Dokter Rian mendekatiku dan membimbingku untuk duduk.
"Saya akan memeriksa kamu lebih lanjut" dia mengambil kursi roda yang ada disisi ruangannya lalu mendudukkan aku disana. Dia mendorongnya hingga kami memasuki sebuah ruangan. Aki menjalani serangkaian pemeriksaan. Mulai dari uri, MRI, dan lainnya yang tak aku paham. Sembari menunggu hasilnya aku mengambil ponselku untuk mengirim pesan pada tante Frisca.
Maaf tante sepertinya Orchid tidak bisa kembali ke sana. Perut Orchid semakin sakit. Nanti jika udah enakan Orchid langsung kesana lagi. Maafkan Orchid sekali lagi.
Tak berselang lama tante Frisca membalasnya dengan mengatakan tak masalah toh persiapannya udah hampir selesai. Dia menyarankan aku untuk istirahat saja hingga pulih. Aku pun sedikit lega. Namun merasa bersalah karena telah membohonginya. Aku tak punya pilihan lain.
Aku melihat Dokter Rian mendekatiku dan membawa ku kembali ke ruangannya. Dia akan menjelaskan hasilnya. Aku duduk dengan gelisah. Rasa cemas menyelimutiku. Tak sabar mendengarkan hasil pemeriksaan sekaligus takut mengetahuinya sendirian.
Dokter Rian mulai menjelaskan secara detail. Aku mendengarkan dengan penub konsentrasi. Lalu dia menyodorkan sebuah kertas. Disana banyak istilah medis yang tidak aku pahami. Aku meminta Dokter Rian untuk menjelaskannya.
"Sakit ginjal kamu naik jadi stadium dua" ucapnya membuat duniaku rasanya berhenti berputar. Aku kalang kabut dalam keterdiamanku. Aku tak lagi bisa mendengar perkataan Dokter Rian selanjutnya. Aku tetap terdiam bahkan saat ku rasakam kursi rodaku mulai berjalan ke sebuan ruangan.
"Kamu bisa berdiri?" Tanya Dokter Rian.
Aku mendengarnya tapi aku tetap membisu hingga akhirnya Dokter Rian mengangkatku lalu membaringkanku di sebuah ranjang. Ku lihat ada beberapa perawat disana. Aku merasakan jarum itu menusukku di lenganku. Seolah menyadarkanku aku pun menoleh ke lenganku. Terlihat seorang perawat tengah memasangkan sebuah infus disana.
Aku mengalihkan pandanganku ke Dokter Rian yang berada di sisi kiriku. Seolah paham dengan isi kepalaku, dia menjelaskan singkat.
"Kamu harus opname hingga nyeri di pinggang kamu menghilang" jelasnya membuatku semakin takut. Takut bagaimana caranya aku mengatakan ini pada mama papa bahkan Javaka.
"Kamu tak berniat memberi tahu keluarga kamu?" Tanya dokter yang menurutku masih berada di umur 30 awal itu. Aku menggeleng lemah. Dia pun paham dan menghargai privasiku.
"Kalau kamu perlu apa-apa kamu bisa memencet tombol ini" jelas Dokter Rian dengan menunjukkan sebuah tombol di sisi kiriku. Aku hanya mengangguk.
"Terima kasih dok telah membantu saya" ucapku sebelum dia mencapai pintu. Dia hanya mengangguk dan menampilkan senyum ramahnya.
Setelah kepergian dokter Rian, kini aku sendiri. Terbaring dengan infus di tanganku, di hari ulang tahun pria yang saat ini benar-benar menguasai hatiku. Beberapa kali aku mendengar deringan dan getaran ponselku. Namun aku tak berniat mengeceknya.
Aku melihat jam dinding disana sudah menunjukkan pukul setengah tujuh malam. Pasti mereka mencariku. Batinku. Aku merasa lelah dan lemas. Lalu mencoba memejamkan mataku. Aku tertidur entah berapa lama hingga aku merasakan ada yang menggemgan tanganku. Sangat erat.
Aku mencoba membuka mataku. Mengarahkan pandangan ke sisi kiriku. Mata biru itu tengah menatapku sendu membuatku ingin berlari dari sini dan bersembunyi. Bahkan mulutku membisu. Ingin sekali aku menyapanya lalu memberi ucapan selamat ulang tahun. Namun bibirku kelu.
Pikiranku kemana-mana memikirkan bagaimana pria ini bisa disini. Bukankah ini yang aku harapkan? Ada yang menemaniku disini? Batinku. Tapi kenapa pria ini. Hatiku sesak menanti respon yang akan pria ini perlihatkan nantinya. Tak ada suara diantara kami. Ku lirik jam dinding di belakang pria ini. Pukul sebelas malam. Ternyata cukup lama aku tertidur hingga tak menyadari seseorang mendatangiku.
"Kejutan mama berhasil?" Tanyaku memecah kesunyian yang kami sendiri ciptakan. Dia masih terdiam dengan pandangan yang sangat sulit ku artikan. Apa dia marah? Batinku khawatir.
"Tidurlah. Kamu butuh istirahat" dia beranjak dari duduknya lalu mencium keningku cukup lama.
"Saya ingin keluar sebentar" ucapnya membuatku semakin galau.
Dia marah. Aku semakin yakin. Aku pun tak bisa mencegahnya ketika di menghilang dibalik pintu itu meninggalkan aroma musk nya di ruangan ini. Air mataku meleleh. Kenapa ini terasa sakit? Bukannya aku yang membuat semuanya seperti ini? Batinku menyalahkan diriku. Aku terjaga hingga pukul 12 malam. Aku menunggu pria itu kembali. Namun hingga kantukku datang lagi, pria itu tak kembali.
Orchidia POV end
....
KAMU SEDANG MEMBACA
Wonder To Be Loved By You
Romansa[HIATUS] Gadis itu terlihat fokus membaca sebuah novel tebal setebal skripsi anak-anak teknik. Namun sebenarnya pikirannya melanglang buana entah kemana. Hingga suara getaran ponselnya mengembalikannya ke tempat seharusnya. Lalu membaca sebuah pesan...