HUG-Yoon Jeonghan (Pt.1)

266 26 0
                                    

"Yoon Jeonghan, kau tidak lupa membawa buku catatanku kan?" Tanyaku pada pria yang sedang duduk di kursinya. Kursi paling ujung di kelas yang terkenal sebagai kursi si pembuat masalah.

Sedangkan pria itu masih saja mengobrol dengan teman sebangkunya seolah tak ada seorangpun yang sedang berdiri di sampingnya dan mengajaknya bicara.

"Aku tidak tahu kau bermain sebagus itu. Di dekat rumahku ada lapangan basket. Bagaimana kalau kita bermain lagi besok?" Yoon Jeonghan melakukan tos dengan bersemangat setelah temannya mengangguk setuju.

Pria dengan rambut hitam yang sudah berantakan hasil bermain basket itu pun lalu mengebaskan kerah seragam sekolahnya yang setengah basah oleh keringat. Kemudian, dengan sangat tidak sopan, ia mengangkat kedua kakinya ke meja. Yoon Jeonghan belum mengindahkan perempuan yang masih berdiri di sebelah mejanya dan menunggu jawaban.

"Jeonghan." panggilku sekali lagi, aku mendongak tegap untuk menatapnya.

Tepat pada saat yang bersamaan, kedua mata monoloid Jeonghan juga menatapku. Bola mata coklat gelap itu seolah membesar saat mata kami saling bertemu. Aku relfeks menelan ludah karena gugup. Pria itu menatapku selama tiga detik, lalu, dengan wajah meledek, ia menjawab, "Kalau aku tidak bawa bagaimana?"

"Ah benarkah? Tapi aku membutuhkannya untuk mengerjakan tugas dan tugas itu dikumpulkan besok," balasku pelan.

Tidak ada jawaban, Jeonghan masih menatapku tanpa berkutik. Ia lalu menurunkan kakinya, berpijak tepat di depanku. Setelah itu ia terbatuk sekali, membasahi tenggorokannya. Tangan kanannya kemudian bergerak. Ia menyibak poninya. Menatapku sejenak dengan satu alis terangkat. Lalu ia berdiri tegap. Membuatku refleks menahan napas selama beberapa detik dan mundur selangkah.

"Aku meninggalkannya di rumah. Pergi ke rumahku sore ini kalau kau mau mengambilnya, Gongchaeg (공책)" Gongchaeg adalah nama panggilanku yang dibuat oleh pria menyebalkan itu yang sudah hampir sepanjang semester selalu meminjam buku catatanku, apapun itu mata pelajarannya.

Jeonghan mengambil tasnya, menyampirkan di bahu kanan, kemudian berjalan melewatiku. "Ah satu lagi." Ia berputar kembali. Belum sempat aku menoleh, dengan sengaja, ia menarik ikat rambutku hingga lepas dan melingkarkannya di pergelangan tangan.

"Ambil juga ikat rambutmu," Jeonghan menyeringai sembari memamerkan pergelangan tangannya.

Aku hanya bisa menghela napas. Sudah berkali - kali Yoon Jeonghan, siswa pindahan dari Hwaseong itu mengangguku. Mulai dari lupa mengembalikan buku catatan, melepas ikat rambutku, merampas dan meminum jus apel yang baru ku minum setengah atau belum kusentuh sama sekali, sampai—Ini yang paling sering—mencoret - coret buku catatanku. Bahkan ia pernah menulis namanya besar - besar di halaman depan buku. Aku selalu terkejut setiap kali melihatnya.

***

Hari sudah mulai petang. Sinar matahari menembus jendela kelas, membiaskan cahaya jingga ke lantai dan meja - meja kelas. Kelas sudah setengah kosong. Hanya beberapa siswa yang masih bertahan untuk belajar mandiri, begitupun denganku. Satu jam setelahnya, aku memutuskan untuk pulang. Saat diperjalanan pulang, ketika aku sedang berjalan melewati pertokoan, aku dibuat berhenti oleh hujan yang tiba - tiba turun dengan cukup deras. Dengan segera, aku berlari ke arah sebuah toko dan berteduh di bawah kanopi toko itu. Aku menghela napas berat, bahkan aku mengumpat saat baru ingat kalau aku harus pergi ke rumah Jeonghan untuk mengambil buku catatan. Alamat rumahnya saja aku tidak tahu. Ia hanya pernah bilang bahwa keluarganya memiliki sebuah toko alat musik.

"Ya! Yoon Jeonghan! Aku akan membunuhmu!" Umpatku dengan suara kencang. Paling juga suara ku tertutup oleh suara hujan yang semakin deras. Hawa yang semakin dingin memaksaku menggosokkan telapak tangan dan mulai membuatku bersin - bersin.

Tiba - tiba, sebuah tangan mencengkram pergelangan tanganku dari belakang. Seseorang itu lalu menarikku. Aku sempat tersentak, lalu berputar dengan cepat dan terseret ke dalam toko.

"Kenapa tidak masuk? Kau tau sendiri kau tidak kuat dengan hawa dingin." Ucap orang yang tadi menarikku masuk dengan nada agak tinggi.

Aku terkesiap, bukan karena orang itu yang terdengar marah padaku, tetapi aku lebih terkejut saat menyadari bahwa orang itu adalah Yoon Jeonghan.

"Kau..." bersin yang mendadak datang memutus kalimatku. "Kenapa kau ada di sini?"

***

Ruangannya hangat. Berbeda sekali dengan di depan tadi, harum kayu manis yang lembut memenuhi seluruh ruangan. Membuat siapapun merasa nyaman. Sofa besar di tengah ruangan ini pun sangat empuk. Tembok berwarna krem pucat juga grand piano putih di sisi ruangan membuatnya terasa homey. Aku mengambil napas dalam dan menghela beberapa kali. Tanpa sadar, aku tersenyum simpul karena rasanya begitu menenangkan.

"Ini bukumu." Pria yang tiba - tiba masuk dan merusak suasana itu melempar buku catatanku ke atas coffe table di depanku.

"Jadi ini toko keluargamu. Ruangan apa ini?" Mataku tak bisa berhenti melihat keseliling ruangan. Aku heran kenapa ada ruangan senyaman ini di sebuah toko musik.

"Kau tidak baca di depan tadi? Ini ruang istirahat. Aku tidak tahu kenapa ibuku repot - repot. Tetapi dia bilang ini untukmu. Ambil." Yoon Jeonghan terlihat terpaksa menyuguhkan segelas coklat panas.

"Ah, baiklah terimakasih."

Jeonghan kemudian membanting dirinya ke sofa di sebrangku. Kini tidak hanya aroma kayu manis yang tercium, ada sedikit harum citrus segar tapi juga tidak menyengat saat pria itu melewatiku.

Ruangan senyap sejenak, aku menunduk dan menyesap coklat panasku. Sedangkan Jeonghan, aku tidak melihat dengan jelas dia sedang apa. Aku pun tidak ingin tahu. Hanya terdengar suara pemanas ruangan dan suaraku menyeruput coklat panas. Sampai, sebuah denting piano memecah keheningan. Nada - nada yang keluar dari tuts hitam dan putih itu membentuk sebuah harmoni. Jari - jarinya menari dengan sangat lincah. Tak lama, sebuah lagu keluar dari bibirnya. Yoon Jeonghan, aku tak pernah tau ia bisa bernyanyi seindah itu.

Naegeneun neon haneopsi neomudo sojunghan geol

(Untukku, kau sangatlah berharga)

Oneul harudo himdeureosseul neoege malhaejullae

(Untukmu yang mengalami hari yang berat, aku ingin mengatakan padamu)

Naega issdago sugohaessdago saranghandago

(Bahwa ada aku, kau melakukannya dengan baik, aku mencintaimu)

Kkwak anajundago

(Dan aku kan memelukmu dengan erat)

Himdeul ttaemyeon naegero

(Saat terasa sulit, datanglah padaku)

Angyeodo dwae nado gata

(Aku kan memelukmu karena aku pun begitu)

Sumgigo sumgyeodo

(Tak peduli meski terus kau sembunyikan)

Garyeojiji anhneundan geol aljanha

(Kau tahu bahwa itu tak bisa tertutupi)

Uri seoroneun useul su issge

(Kita bisa saling tersenyum)

-HUG, Seventeen-

To be continued...

Seventeen Imagines (If You Were Sebong's Girls/Women)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang