HUG-Yoon Jeonghan (Pt.2)

206 27 4
                                    

Tiap bait lagu itu membuatku larut dalam pikiran sendiri. Rasanya memang begitu sesak saat kau mengalami hari yang berat lalu tak ada siapapun di sana untuk mendengarkan segala cerita. Rasanya memang memuakkan saat kau sudah melimpahkan segala usahamu, tetapi tidak ada siapapun di sana untuk sekedar memberimu acungan jempol. Aku hafal sekali rasanya. Mungkin itu juga yang membuatku sulit berteman. Aku tidak ingin membuat mereka kecewa. Aku takut tidak bisa menjadi tempat bersandar yang nyaman. Tiba - tiba sekilas memori terbayang di kepalaku. Memori akan Yoon Jeonghan, si siswa pindahan, untuk pertama kalinya menghampiri mejaku. Kalau dipikir - pikir. Hanya pria itu yang rutin mengunjungi mejaku setiap hari, untuk meminjam catatan pastinya. Hanya dia yang duduk bersamaku di cafetaria untuk sekedar merampas minumanku. Orang itu memang sangat sangat menganggu, tetapi anehnya, aku merasa ada yang hilang saat pria itu tidak masuk sekolah beberapa hari yang lalu karena sakit. Aku menggelengkan kepala, menyanggah pemikiranku sendiri. Tidak, aku tidak merasa kehilangan. Mungkin aku hanya sedang emosional saja saat itu. Lalu aku terdiam lagi, atau aku memang merindukannya. Ah tidak mungkin.

"Y/n-ssi." panggilnya, menyadarkanku dari lamunan. Baru kali ini ku dengar pria itu memanggil namaku, bukan Gongchaeg (공책).

"Kau itu pura - pura tidak tahu atau memang bodoh si?" Yoon Jeonghan beranjak dari kursi piano ke sofa.

"Ne? Apa maksudmu?" Aku menatapnya bertanya - tanya. Pria itu justru menghela napas dan menyibak poninya frustasi.

"Apa kau pernah lihat aku meminjam buku catatan orang lain?" Aku tak menjawab, masih mengerutkan kening penuh kebingungan.

"Aku juga tidak pernah melepas ikat rambut gadis lain. Menurutmu, kenapa aku suka merampas minumanmu? Bahkan aku saja tidak suka jus apel."

"Kau tidak suka jus apel?" celetukku asal. Aku benar - benar tidak mengerti maksudnya.

Pria yang dibalut kaus oversized putih dan ripped jeans itu pun kembali menghela napas. "Aku bahkan melukai tanganku saat membuatkanmu coklat panas."

Aku semakin dibuat bingung. Bukankah tadi dia bilang bahwa ibunya yang membuatkanku coklat panas? Tetapi luka kemarahan di tangannya tidak bisa berbohong.

Yoon Jeonghan lalu beranjak dari duduknya. Tanpa ragu ia berkata,

"Aku menyukaimu, y/n-ssi."

Aku tercekat. Tenggorokanku tiba - tiba terasa kering. Detak jantungku sudah pasti tidak karuan. Aku bahkan tidak sanggup menatap pria itu. Wajahku terasa panas, tetapi hawa di sekitar tiba - tiba juga terasa dingin. Jari - jariku bergetar. Aku tidak percaya, sangat tidak percaya. Apa aku salah dengar?

Baru saja aku ingin meyakinkan diri kalau aku salah dengar, Jeonghan berkata sesuatu yang justru membuatku tahu bahwa pria itu sedang tidak bercanda.

"Aku mengembalikan bukumu. Tapi ini," Jeonghan menunjukan pergelangan tangannya. Ikat rambutku masih melingkar di sana. "akan ku kembalikan saat kau sudah membalas perasaanku."

Setelah itu, bisa - bisanya dia melangkah pergi keluar, meninggalkanku yang masih terpaku di tempat. Bahkan rasanya aku belum berkedip sejak tadi.

***

Hujan pun mereda. Tanpa berkata apapun, Jeonghan mejulurkan sebuah payung lipat. Aku menerimanya dengan canggung. Ia keluar untuk mengambil jaketnya, kembali ke ruangan dan berkata dengan suara datar, "di luar masih gerimis dan sudah gelap. Ayo ku antar kau pulang."

"tidak per..

"aku tidak suka saat orang menolak kebaikan ku." Tanpa diminta, Jeonghan meraih tanganku dan menarikku berdiri. "terutama kau."

Aku pun diam, pasrah mengikuti pria setinggi 178 cm itu keluar ruangan.

Selama perjalanan, tidak ada percakapan. Hanya sekali saat Jeonghan bertanya dimana rumahku.

Awalnya aku sempat berpikir, apa mungkin pengakuannya hanya sebuah permainan atau taruhan dengan teman - temannya. Aku pun sudah berpikir untuk menolaknya. Namun, kenapa pipiku memerah saat menyadari pria itu mencondongkan payung ke arahku dan membiarkan pundak kanannya basah. Kenapa juga jantungnya berdetak cepat hanya karena ia menggenggam tanganku saat kami menyebrang jalan. Aku jadi tidak mengerti dengan perasaanku sendiri.

"ini rumahmu?" tanya Jeonghan membuyarkan lamunanku. Ia melihat ke sekeliling.

"Ah. iya benar." Aku beranjak mendekati pagar. Membuka slot kunci, lalu berbalik untuk berniat mengucapkan terimakasih.

Tetapi ucapan terimakasih itu tertahan di mulutku. Yoon Jeonghan tiba - tiba sudah berdiri di dekatku. Tangannya lalu meraih tenguk leher ku. Jarak diantara kami menipis. Aku spontan menahan napas. Lalu pria itu menenggelamkanku dalam pelukannya. Jeonghan bertambah erat memelukku. Aku yang sudah tidak lagi menahan napas, mencium harum citrus khas grapefruit dan percampuran wangi manis yang lembut menyeruak dari tubuh pria itu. Jujur saja, harum parfumnya seketika membuatku tenang. Aku menghela napas dengan nyaman. Kelapaku pun bersandar di dadanya dengan nyaman. Setelah hari yang berat di sekolah ditambah pengakuannya yang tiba tiba. Betapa herannya aku dengan diri sendiri saat aku justru larut dalam pelukannya dan merasa begitu hangat. Seolah aku telah menemukan obat yang selama ini ku cari - cari.

Masih sembari memelukku, Jeonghan berbisik, "Mungkin kau tidak menyadarinya, tapi aku melewati hari yang berat hari ini. Bisakah kau diam seperti ini untuk beberapa saat lagi. Aku membutuhkan tempat bersandar, dan hanya kau yang terpikirkan olehku."

Aku mengangguk pelan, tidak keberatan sama sekali. Akupun ingin berlama - lama dalam pelukannya. Rasanya begitu hangat. Entah, aku seolah lupa akan sisi Yoon Jeonghan yang begitu menyebalkan. Malam itu memang dingin, tetapi aku, begitupun dengan Jeonghan, saling merasa hangat.

***

"Jeonghan, lihat!" Aku berlari menghampirinya di pelataran sekolah dan menunjukan hasil lukisanku yang diberi nilai A+ oleh guru seni.

Jeonghan melirik lembar kerjaku, menatapku sejenak, melirik lukisanku lagi, dan kembali menatapku dengan datar "Menurutku biasa saja."

Mendengar itu, jelas aku mendengus kesal. Lalu aku memasukkan lukisanku ke dalam file folder yang ku tenteng sejak tadi. Melihatku cemberut, Jeonghan mengusak puncak kepalaku sembari tersenyum lebar memperlihatkan barisan giginya. "Iya, kau memang pelukis paling hebat." Ia memberikan jeda sejenak, lalu meledek, "di kelas, bukan di korea, apalagi dunia."

"kau ada latihan hari ini?" alihku saat melihat bola basket di tangan kanannya.

Jeonghan melirik bola basket itu sekilas, menggelengkan kepala lalu memerhatikan sekeliling. Tak lama, salah satu temannya yang dibalut seragam basket melintas. Jeonghan memanggilnya kencang. "Josh, ambil ini!" bola basket ditangannya pun melambung dan berhasil ditangkap oleh Joshua dengan mulus. "Josh, katakan pada pelatih bahwa aku tidak bisa ikut latihan hari ini. Ada tugas yang harus aku kerjakan."

"Tugas? Tugas apa?" Seingatku tidak ada satupun tugas yang diberikan guru hari ini.

"Tidak ada. Tadi aku berbohong. Jadi, ayo kita kencan hari ini. Kau mau makan apa?" jawabnya tak acuh tanpa rasa berdosa. Aku hanya menggeleng melihat tingkahnya, tetapi di sisi lain wajahku menghangat saat ia menyebutkan kata kencan.

"Bagaimana kalau ttoekbokki atau ramyeon ayam pedas?"

"Baiklah. Oh, tapi kita harus gunting-batu-kertas dulu," timpal Jeonghan yang sudah ancang ancang mengepalkan tangannya.

"Ne? Buat apa?" jawabku heran tapi tetap saja ikut mengepalkan tangan.

Jeonghan mengeluarkan batu sedangkan aku membuka telapak tanganku membentuk kertas. Aku menang, tapi keningku masih berkerut samar tidak mengerti untuk apa permainan ini. Sedangkan Jeonghan lalu tersenyum jahil. Ia melangkah ke arah gerbang sekolah dan berkata sambil lalu "Baiklah, yang menang harus membayar makanannya hari ini."

"Hee? Seharusnya yang kalah yang membayar. Ya! Yoon Jeonghan!"

END

-Traissa-lan

Special thanks buat komentar kemaren yang udah bikin semangat nulis lagi 😙 Thanks juga buat semua readers. Semoga kalian suka cerita kali ini. Jangan lupa vote dan komen

Seventeen Imagines (If You Were Sebong's Girls/Women)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang