IF I -Vernon (Pt.2)

179 23 4
                                    

Begitu melihat apa yang ada di atas meja, yang tadi Vernon sebut sebagai hadiah, (y/n) tak bisa menahan emosinya lagi. Wajahnya seketika berubah merah. Seluruh tubuhnya gemetar. Kakinya lemas. (y/n) melipat tangan di meja, lalu menenggelamkan wajahnya. Ia tidak peduli lagi dengan orang - orang di sekitar yang memandangnya bingung. (y/n) terisak kencang. Air mata begitu deras membasahi pipi dan lengan bajunya, juga membuat genangan di atas meja. Hatinya hancur. Hancur berkeping - keping. Rasanya sakit sekali, seolah pedang tajam menghantam dadanya. Dirinya tak mengerti dengan semua takdir ini. Semua ini salahnya. Kenapa aku tak menunggu sedikit lagi? Pertanyaan itu menggema di kepalanya, membuat ia mengutuk diri sendiri.

Kejadian seminggu lalu pun terngiang di benaknya. Adegan dan percakapan sore itu terulang dengan sangat jelas. Adegan saat Joshua mendatangi rumahnya dengan pakaian formal. Sore itu, (y/n) tak berani keluar kamar. Ia duduk di tepi ranjang. Kakinya menghentak - hentakkan lantai, gugup. (y/n) tahu, Joshua mungkin datang untuk menagih jawaban darinya.

Tepat satu tahun sebelumnya, Joshua juga datang dengan pakaian rapi. Bukan untuk menemui (y/n). Joshua memberanikan diri bertemu dengan ayah (y/n) demi meminta restu. Saat itu (y/n) berlari ke kamarnya setelah mendengar percakapan mereka. Sampai, Ibunya mengetuk pintu kamar dan memanggil putrinya lembut. Setelah diam sejenak, (y/n) memperbolehkan ibunya masuk.

"Sepertinya kau sudah tahu tujuan Joshua ke sini." Ibunya mengelus punggung (y/n) lembut. "Jadi, bagaimana tanggapanmu?"

(y/n) menggigit ujung bibirnya. Ia menunduk, memandangi jari - jari kakinya, sedangkan kakinya tak bisa berhenti gemetar.

"Apa yang membuatmu ragu? Bukankah dulu kau selalu senang saat Joshua ada di dekatmu?" ucap Ibunya. Matanya tak lepas menatap (y/n) hangat.

(y/n) tercekat dan membeku untuk beberapa saat. Kemudian, seperti mendapatkan sebuah ide, (y/n) mendongak menatap Ibunya. Matanya berbinar. Tangannya lalu meraih telapak tangan Ibunya dan meremasnya pelan. Dengan suara sedikit bergetar, ia berkata, "Eomma, bisakah aku menjawabnya tahun depan?"

Ibunya terkesiap, matanya seketika membesar dan alisnya terangkat. Namun, seolah mengerti perasaan putrinya, ia hanya diam mendengarkan alasannya sembari mengelus punggung tangan (y/n).

"A... aku ingin menunggu seseorang."

Setahun setelahnya—tepatnya minggu lalu—sore itu, adegan tersebut terulang lagi. Ibu (y/n) menggetuk pintu kamar. Lagi, mereka duduk di tepi ranjang. Ibunya juga mengelus punggung (y/n) lembut.

"Sepertinya kau sudah tahu tujuan Joshua ke sini," ucapnya persis seperti tahun lalu.

Namun, kali ini (y/n) tak mampu menjawab. Ia sudah pasrah. Orang yang ia tunggu tak kunjung datang. Bukan benar - benar tidak datang. (y/n) bertemu dengan orang itu hampir setiap hari, bahkan tertawa bersamanya. Tetapi pria itu tak kunjung menyatakan perasaannya, atau hanya (y/n) yang terlalu berharap demikian.

"Bagaimana sekarang? Joshua sudah memberimu satu tahun. Itu waktu yang cukup lama, (y/n)"

Kini Ibunya yang pertama meraih tangan (y/n) dan meremasnya pelan. "(y/n), maafkan Eomma, tapi Ayahmu sudah terlanjur menyukai Joshua. Jadi, bisakah kau berhenti menunggu orang itu? Eomma tahu, sebenarnya kau sudah menunggu dia sejak 9 tahun lalu kan. Itu sudah lebih dari cukup."

(y/n) tak bisa mengelak. Apa yang dikatakan Ibunya tepat menghantamnya dengan kenyataan yang selama ini berusaha ia abaikan dan malah membohongi diri sendiri. Dadanya seketika terasa sesak. Seluruh harapannya luluh lantak. Wanita cantik yang ujung matanya sudah basah itu pun menenggelamkan kepalanya ke dekapan Ibunya. (y/n) tak melakukan apapun selain terisak. Bayangan akan pria dengan bentuk dan bola mata coklat terang yang indah, rahang yang tegas, dan hidung yang mancung tergambar jelas di benaknya. Di telinganya, terngiang suaranya yang rendah tetapi begitu memikat saat pria itu memanggil namanya. Dan sekarang (y/n) diminta melupakan semua itu. Bagaimana bisa?

Ibunya balas mengelus kepala putrinya. Lalu berkata dengan hati - hati, "(y/n), cinta itu ditumbuhkan bukan dicari. Eomma percaya, kau bisa menyayangi Joshua laiknya kau menyayanginya dulu."

***

Barang yang Vernon sebut sebagai hadiah,

Barang yang Vernon sebut sebagai hadiah,

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Jika saja aku mengatakannya sejak dulu. Jika saja." -Vernon

"Jika saja aku lebih bersabar dan menunggunya sedikit lagi. Jika saja." -(y/n)

Jadi siapa yang harus disalahkan?

-THE END
By Traissa-lan

Semoga pada suka cerita ini walaupun banyak kekurangannya ya :((
Jangan lupa vote dan komen 😉

Seventeen Imagines (If You Were Sebong's Girls/Women)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang