IF I -Vernon (Pt.1)

201 24 2
                                    

Tuk, tuk, tuk

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tuk, tuk, tuk

Seorang wanita berwajah cantik dibalut kemeja putih dan blazer pastel mengetuk - ngetuk meja cafe dengan telunjuknya. Tangan lainnya menopang wajahnya yang sedang menatap tajam pria di depannya.

"Bisakah kau taruh ponselmu? Ada orang di depanmu yang butuh kau ajak bicara."

Pria blasteran korea-amerika di sebrangnya hanya menundukan kepala dan memasukkan ponselnya ke dalam saku.

"Jadi kau mau bilang apa? Kau bilang penting, tapi kau malah mengabaikanku," protes wanita yang rela menggunakan jam istirahat makan siangnya untuk bertemu pria yang malah sejak tadi membisu.

"Abaikan saja," balas Vernon serak masih dengan kepala tertunduk memandang ujung sepatunya.

(y/n) mendecak sebal. Wanita itu menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. Kedua tangannya menyilang di dada. Matanya menyipit, menatap Vernon dingin "Kau cari mati ya. Moodku sedang buruk, jangan buat lebih buruk!"

Vernon seketika mengangkat kepalanya. Tatapannya tak kalah tajam. Puncak telinganya memerah. Salah satu tangannya bergerak meraih tangan kanan (y/n). Matanya memerhatikan emas putih yang melingkar di jari manis wanita itu. Ditatapnya kembali (y/n) dengan wajah marah dan dahi yang berkerut. "Ini." Vernon menghela napas berat. "Siapa pria itu? Kenapa kau tidak pernah cerita?"

Tak heran Vernon marah. Pria itu sudah mengenal (y/n) sejak sepuluh tahun lalu. Jika ada perlombaan siapa yang paling mengenal (y/n), Vernon pasti pemenangnya. Bahkan orangtua (y/n) akan kalah. Vernon menampung setiap cerita (y/n). Mulai dari rasa morning coffee-nya yang kurang sedap, sampai rahasia ketakukannya akan pancuran air di kamar mandi yang terlihat seperti monster bermata banyak. Namun, kenapa hal sepenting ini justru tidak pernah diceritakan? Dadanya terasa sangat sesak. Hatinya nyeri. Tidak ada yang lebih buruk daripada dihianati orang kepercayaanmu. Apalagi kau mencintai wanita itu.

(y/n) menggigit ujung bibirnya gugup. Ia lalu terdiam sejenak, menundukan kepala, dan menarik napas dalam. Kemudian (y/n) mendongak dan menarik tangannya dari genggaman Vernon dengan cukup kasar. Ia lalu merogoh sebuah foto ukuran 2R dari dompetnya. Di dalam foto, terlihat anak perempuan berkuncir dua sedang memeluk boneka beruang. Di sebelahnya, seorang anak laki - laki bercelana pendek menggenggam erat tangan si anak perempuan. Mereka terlihat sangat senang, dilihat dari senyumnya yang sangat lebar.

"Aku pernah menceritakannya. Joshua, kau tidak ingat dia teman kecilku?"

Kedua bola mata coklat Vernon tak lepas dari potrait lusuh itu. Joshua, tentu ia ingat jelas. Awal mereka bertemu 10 tahun lalu, sepanjang tahun pertama, (y/n) hanya berbicara tentang betapa rindunya ia dengan sosok Joshua. Saat makan di kantin sekolah, (y/n) selalu bilang kalau dulu Joshua suka mentraktirnya ini itu. Ketika pergi ke taman, (y/n) merindukan piknik bersama keluarga Joshua. Vernon tahu persis sosok Joshua akan sangat berbekas di hidup (y/n). Tapi ada satu hal lagi yang Vernon tahu persis.

"Aku tahu dia, dan aku ingat betul kalau kau tidak memiliki perasaan terhadapnya."

"Memang," jawab (y/n) singkat lalu menyeruput vanilla lattenya sambil membuang muka dan melihat ke luar jendela. Alisnya berkerut samar.

Dahi Vernon mengerut semakin dalam. Tatapannya semakin tajam, tetapi wanita yang ditatapnya masih memalingkan wajahnya. Bahunya terangkat, tangannya terbuka. Vernon semakin tidak mengerti. "ya lalu? Kenapa kau menerima lamar...

"Vernon," potong (y/n). Wanita itu kini menatapnya serius. "cinta itu ditumbuhkan bukan dicari. Dan aku sedang menumbuhkan cintaku pada Josh. Mungkin hari ini belum, tapi besok atau lusa aku yakin aku bisa mencintainya." (y/n) beralih menatap Vernon heran. "Lagipula kenapa kau marah? Kalau hanya karena aku tidak menceritakan tentang itu aku minta maaf."

Vernon membuka mulutnya lalu membungkamnya lagi. Ia kehabisan kata - kata. Rahang bawahnya mengeras, tangannya mengepal, rasa marahnya memuncak, tapi tak ada yang bisa disalahkan dari (y/n). Vernon tahu dirinya bukan sekedar marah pada wanita itu. Justru ia lebih marah dan kecewa pada diri sendiri. Dia begitu menyesali semuanya. Dia begitu menyesali dirinya yang pengecut. Dia membenci dirinya yang begitu mudah berangan - angan tanpa berani mewujudkannya. Buat apa membanggakan diri sendiri yang selalu melewatkan setiap kesempatan sampai akhirnya kesempatan itu benar - benar pergi. Tak ada lagi yang bisa diharapkan.

Vernon mengusak rambutnya frustasi. Wajahnya memerah. Hatinya tersayat dalam. Ia lalu menaruh sesuatu di atas meja dengan sedikit membanting.

"Anggap saja hadiah pesta lajangmu. Aku pergi."

***

Dinding serba hitam, alunan lagu yang ramai, lampu neon memancar disana - sini

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dinding serba hitam, alunan lagu yang ramai, lampu neon memancar disana - sini. Puluhan orang berjingkrak di lantai dansa, melompat bersamaan mengikuti beat music. Meja bar sepanjang lima meter penuh. Bartender sibuk mencampur alkohol. Diantara keramaian itu, di sudut ruangan yang paling gelap, Vernon terduduk di sebuah sofa velvet dengan empat botol alkohol di atas meja. Satu botol habis, dan botol kedua sudah setengah kosong. Kepala pria itu tertunduk dalam, rambutnya berantakan, sorot matanya menggambarkan keputusasaan, dan sudah tidak terhitung berapa kali ia menghela napas berat. Pria itu lalu mengambil botol alkohol setengah kosong tadi dengan lesu, berusaha menuangkannya pada gelas dengan tangan gemetar.

"Ya!" seru Jeonghan begitu tiba. Ia berlari kecil dan segera menghentikan tangan Vernon menuang minuman. "Kau cari mati ya! Kau itu tidak kuat minum."

Vernon mendongak, ditatapnya Jeonghan sejenak. Hembusan napas berat keluar dari bibirnya, lalu ia terkekeh sembari memukul - mukul dadanya sendiri. "kau cari mati ya. Hahaha tadi (y/n) juga bilang begitu." Vernon masih tertawa, lalu wajahnya tertunduk, dan Jeonghan bisa lihat dengan jelas air mata menetes lolos jatuh membasahi celana jeans Vernon. "Sepertinya lebih baik mati."

Jeonghan ikut menghela napas panjang. Kemudian pria itu duduk di samping Vernon. Ia menuangkan minuman ke gelas sampai penuh dan meminumnya sendiri. Dielus pelan punggung Vernon yang sudah seperti adik sendiri, lalu ia berkata lembut, "Kalau kau siap bercerita aku ada di sini."

"(y/n) akan menikah, hyung."

To be continued...
-Traissa-Lan

Sebenernya cerita ini udah pernah aku publish dulu, tapi di work lain. Jadi maaf ya kalo ada yang udah pernah baca. Eh tapi aku kembangin lagi ceritanya dan ada yang berubah loh. Jadi jangan lupa baca part ke 2nya juga. Vote dan komen jugaa 😉

Seventeen Imagines (If You Were Sebong's Girls/Women)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang