One

898 49 2
                                    

    Sejauh mata memandang, orang-orang asik bercengkerama sembari sesekali mengumbar tawa terlatih dalam balutan pakaian mewah lagi ber-merk. Sebagiannya ada yang duduk santai sambil menikmati hidangan yang amat memanjakan lidah. Sebagian lainnya lagi terlihat sibuk berpose maupun berceloteh di depan kamera. Sebagai pengabadian momen, begitu kira-kira maksud luar mereka.

Di tempatnya, si pemilik acara duduk bersisian dalam diam. Netra yang memandang lurus bukan karena tengah mengamati setiap gerak-gerik tamu undangan, melainkan hanya memandang objek tak berarti. Kosong. Hampa. Tanpa arah. Sesekali akan balas tersenyum, ketika menyalami tamu undangan yang terdiri dari kerabat dekat, kerabat jauh, tetangga, rekan kerja, teman satu bagian, serta beberapa tamu lainnya.

Sejak sumpah janji terucap, tiada kata berarti yang keluar dari bibir keduanya. Tidak lebih dari kata sapaan atau sejenisnya. Bukan karena masih merasa asing dengan dunia baru, namun lebih ke rasa tidak percaya, jika kini keduanya terikat kontrak seumur hidup yang tidak hanya disaksikan oleh manusia, namun juga oleh Tuhan yang telah mempersatukan keduanya. Semua rentetan acara bagaikan sebuah mimpi yang menampilkan permainan.

Tidak jauh dari singgasana Raja dan Ratu sehari, berdiri seorang perempuan dengan sorot mata tajam mengarah ke keduanya sembari menggenggam erat sebuah gelas berisi cairan bening kemerahan. Jika dilihat baik-baik, akan terlihat kilatan penuh kebencian yang terpancar di kedua bola mata perempuan tersebut.

 "Seberapa sayangnya lo ke Ivan, mau nggak mau, lo harus ikhlasin dia. Biarin dia hidup bahagia sama kakak lo." Sebuah suara menginterupsi kegaduhan yang disebabkan oleh hati dan pikirannya.

Melirik sekilas, diminumnya sedikit minuman di tangannya sebelum kembali menatap lurus ke arah singgasana. "Lo nggak tau apa-apa soal ikhlas. Jadi, berhenti berucap omong kosong tentang keikhlasan!" tukasnya tanpa repot-repot menatap lawan bicara.

 "Via … kalo lo sayang sama Ivan, lo harus bisa menerima keputusan dia. Iya, 'kan?" Tidak ingin menyerah, laki-laki dengan tubuh dibalut tuxedo abu-abu itu kembali berucap.

 "Keputusan dia? Cih! Lo sama sekali nggak tau apa-apa tentang semuanya!" Bibirnya mengukir senyuman miring seraya menatap sinis lawan bicaranya.

 "Via--"

 "Stop it, Delvin! Jangan bikin gue muak sama lo, ya!" Sebelum laki-laki bernama Delvin itu selesai bicara, Via lebih dulu menyela dengan nada rendah. Tatapannya menghunus manik mata Delvin. Memberikan peringatan lewat sorot tajamnya.

Mengembuskan napas pelan, Delvin kemudian mengedikkan bahunya. Bukan Via namanya jika mudah diberi nasihat atau masukan. Delvin tahu akan hal itu. Sangat tahu, malah. Hanya saja, dia memilih untuk menjadi seolah orang bodoh yang tidak tahu apa-apa. Termasuk pura-pura tidak tahu apa pun mengenai rahasia yang disembunyikan Via. Rahasia besar penentu hidup Via. Sangat disayangkan, sifat keras kepala dan merasa serba bisa Via seringkali membuat Delvin mau tidak mau cemas. Perempuan itu seharusnya sadar, jika hukum setimpal tengah menantinya.

 "Balik nanti mau bareng?" Delvin menawarkan tumpangan bukan karena sekadar basa-basi busuk, melainkan laki-laki itu bisa memastikan jika Via tidak mau menginap di hotel yang sama dengan Raja dan Ratu yang tengah berdiri di singgasananya sambil mengukir senyuman tak sampai ke mata.

 "Hm." Dan sekesal apa pun Via kepada Delvin, ia tidak akan bisa mengabaikan laki-laki yang sudah sejak bangku putih abu-abu diberi gelar playboy itu.

Dan tanpa Delvin dan Via sadari, ada sepasang sorot yang sejak tadi curi-curi melihat keduanya. Sinar matanya sendu menatap Via. Nampak kerinduan tak tersirat yang mungkin terus tertahan tanpa bisa diutarakan. Apalagi alasannya selain karena hubungan keduanya yang bukan seperti kakak beradik? Jangankan untuk dikatakan teman, yang ada keduanya malah lebih tepat dikatakan orang asing.

 "Jangan menampilkan wajah mengiba seperti itu!" desis Ivan yang ternyata diam-diam memperhatikan gerak-gerik istrinya.

Ah, istri. Perutnya seketika mulas mendengar kata sakral yang tak pernah bisa dibayangkannya sebelum ini. Bukan karena dirinya memiliki kelainan, melainkan karena belum ada yang benar-benar tepat dan cocok. Pernikahan antara dirinya dan seorang perempuan di sampingnya yang ternyata satu sekolah ketika bangku putih abu-abu lalu, merupakan rancangan dari dua kepala keluarga. Pendapat, usul, ataupun jawaban baik dari Ivan maupun Vanny tidak akan berguna. Tidak pula akan dipertimbangkan.

Vanny tidak menyahut apa-apa, hanya kembali menatap lurus ke depan. Mengabsen teman-temannya yang turut hadir di wedding party yang sejujurnya sama sekali tidak bisa ia percayai akan semewah sekarang. Bukan rahasia umum lagi, jika baik keluarga Whitelaw maupun Dhananjaya mengeluarkan biaya selangit untuk acara ini. Jika dipikirkan ulang, memang rasanya mustahil keluarga Whitelaw tidak mengadakan pesta penuh kemewahan.

"Akhir minggu ini kita pindah ke rumah baru," kata Ivan memberitahu sekaligus membuka topik pembicaraan setelah sekian lama.

Keduanya berdiri lagi dan lagi saat ada tamu undangan yang ingin memberi ucapan selamat. "Sebelum pindah, tinggalnya di apartemen kamu atau rumah Papa Mama?" tanya Vanny setelah keduanya kembali merasakan empuknya kursi singgasana.

"Mama minta kita stay sementara di rumah sebelum pindah. Tapi, kalau kamu mau tinggal sementara di apartemen, biar nanti aku yang bicarain ke Mama," kata Ivan santai.

Kepala Vanny sontak menggeleng. "Kita tinggal di rumah kamu aja, deh. Nggak enak juga sama Mama," sahut Vanny langsung berubah pikiran.

Ivan hanya mengedikkan bahu. "Senyaman kamu aja," katanya menyahut.

Sekilas, percakapan singkat keduanya barusan berhasil nenarik perhatian hampir seluruh tamu undangan. Terlebih dua pasang mata yang berdiri di salah satu sudut ballroom tengah menatap keduanya lekat dengan pandangan berbeda. Sebelum salah satu bangkit dari duduknya, lalu melenggang pergi. "Gue harap lo segera sadar sama apa yang udah lo lakuin, Vi." Dengan mata yang terus menatap kepergian Via, bibir Delvin bergumam.

"Via mau ke mana?" Vanny tidak bertanya kepada Ivan. Yang barusan keluar dari bibirnya lebih bisa dikatakan sebagai gumaman atau pertanyaan untuk dirinya sendiri.

"Jangan bikin acara jadi keruh!" Ivan dengan tampang yang membuat jiwa meronta ingin melayangkan pukulan, berkata. Lagi-lagi menjadi pengingat otomatis.

Merotasi kedua bola matanya, Vanny mengedikkan bahu acuh tak acuh. Di satu sisi, Ivan benar. Karena seringnya, apa pun yang bersangkutan dengan Via, akan berujung perdebatan. Vanny masih waras untuk merusak hari bersejarah yang meski sejujurnya tidak ia inginkan. Namun, ini lah kenyataannya.

Dia … kini sudah benar-benar menjabat sebagai seorang Nyonya Whitelaw. Istri sah dari Abhivandya Whitelaw. Dan setelah ini, hidupnya akan berubah total. Benar-benar berubah.

•••••~WhiteRose~•••••

Up up up 😄

Sebulan penuh, terus ikuti kisah Vanny dan Ivan, yaaa.

Apresiasi dari kalian berupa vote, komen benar-benar saya harapkan. Jika boleh, tolong share cerita saya. Bagikan ke teman-teman kalian yang merupakan pecinta dunia literasi.

Satu hal lagi, cerita ini saya ikutsertakan dalam challenge menulis yang diadakan oleh Redaksi_Athena

So, jangan sampai ketinggalannnn😍

Salam hangat,
RosIta

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang