Twenty Nine

348 25 0
                                    

Denting suara sendok yang beradu dengan piring mendominasi keheningan yang tercipta di sebuah ruang makan di kediaman Whitelaw. Mulut sibuk mengunyah sampai akhirnya makanan di dalam piring habis tak tersisa, barulah lisan diberi kebebasan berbicara. Mengutarakan apa pun yang mengganjal di benak sampai membuat nyenyaknya tidur terusik.

Menumpuk piring, gerakan Vanny yang baru saja akan bangkit dari duduknya, berniat membawa piring kotor ke wastafel terhenti oleh interupsi dari ibu mertuanya. Wanita paruh baya itu meminta Vanny untuk kembali duduk dan membiarkan pekerjaannya diambil alih oleh asisten rumah tangga.

"Kebiasaan lama memang nggak perlu dihilangkan, tapi setidaknya kamu tau menempatkannya. Paham?" Grady menatap Vanny dengan senyuman tipis.

Namun, bagi Vanny yang menerimanya jelas tahu, ada peringatan keras di balik senyuman itu. Sontak, bulu kuduk Vanny meremang. Ayah mertuanya selalu saja berhasil membuat ia merinding. Pria paruh baya itu memang jarang berbicara, namun sekalinya berbicara bisa membuat lawannya mati kutu. Tidak berkutik pada goresan lisan di kali pertama.

"Iya, Pa." Kepala Vanny mengangguk patuh. Segan juga ingin menanggapi lebih. Takut dinilai kurang sopan atau lancang. Alhasil, ia memilih mengiyakan.

"Udah lah, Pa. Lagian, di rumah juga Vanny biasa begitu. Dan memang itu tugasnya seorang perempuan yang udah menjadi istri, 'kan?" Ivan yang merasa ayahnya sudah keterlaluan, angkat bicara. Cukup sudah ia melihat Vanny menderita selama ini oleh tekanan yang datang dari berbagai arah.

Ivan paham, arah tujuan pembicaraan sang ayah. Namun, ia tidak bisa membiarkan Vanny merasa lebih tertekan lagi berada di lingkungan Whitelaw. Cukup kerabat jauh juga rekan bisnis yang mulai berkoar-koar asal keluar seputar gosip miring tentang Vanny, jangan keluarganya pun turut menyudutkan Vanny secara tidak langsung.

Grady meletakkan kembali gelas, sebelum setelahnya menatap Ivan. "Istri bukan pembantu. Dan Papa rasa Vanny sebaiknya sudah mulai belajar tentang bagaimana Nyonya Whitelaw seharusnya bersikap."

Nadanya tenang, tidak tersirat emosi di dalamnya. Namun, justru ketenangan itu yang selalu membuat lawan bicaranya kehabisan kata-kata untuk membalas Grady yang berakhir dengan kemenangan pria paruh baya itu raih.

Sejak pertama kali bertemu Grady, sampai sekarang Vanny masih belum mengenal dengan jelas sifat dan watak ayah mertuanya itu. Entah mungkin karena hubungan mereka yang tidak seakrab antara Vanny dan Shinta atau memang Grady tipe orang yang sulit ditebak sifat aslinya.

"Pelan-pelan, Pa." Shinta membuka suara. Wanita paruh baya itu lantas menatap Vanny dengan lembut. "Apa yang Papa kamu bilang itu benar. Apalagi, sekarang kamu lagi hamil. Harus banyak istirahat dan nggak boleh beraktivitas berlebihan. Kamu juga nggak boleh sampai stress. Tentang berita yang lagi panas-panasnya sekarang, abaikan saja. Sebentar lagi juga bakal hilang tak tersisa." Panjang lebar Shinta berujar. Menjelaskan sekaligus menenangkan.

Hampir mirip Grady, Shinta malah berbicara dengan sangat santai. Seolah-olah berita miring tentang menantunya yang beredar belakangan ini bukanlah sebuah masalah serius. Bukan suatu hal yang perlu dikhawatirkan.

Whitelaw selalu pandai bermain bersih tanpa menampakkan taktik sebenarnya di depan layar. Begitu apik semua susunan rencana yang mereka buat dijalankan. Dan sampai saat ini, bukan sekadar skandal besar yang hilang begitu saja, tapi juga kehancuran para lawan bisnis yang masih menjadi tanda tanya besar.

Vanny bukan hanya sekadar menjadi Nyonya Besar biasa. Ia sudah masuk ke dalam lingkaran konglomerat berdarah dingin. Keluarga yang nyaris seluruh aktivitas di luar merupakan permainan dari skenario yang sengaja dibuat demi menjaga jati diri Whitelaw yang sesungguhnya.

"Jadi, bagaimana? Kalian sudah berbicara baik-baik dengan keluarga Dhananjaya?" tanya Grady sambil menatap Vanny dan Ivan bergantian.

"Ivan sudah bernegoisasi dengan Tuan Dhananjaya," sahut Ivan sambil melirik sang istri sekilas.

Vanny hanya diam. Ia sudah menyerahkan semuanya kepada sang suami. Untuk saat ini, yang terpenting ialah nama baiknya. Lebih baik tidak 'terkenal' daripada harus terkenal akibat sebuah skandal. Karena itu benar-benar memalukan. Belum lagi, sejak Vanny sah menjadi istri Ivan, marga Whitelaw telah melekat di belakang namanya. Marga terhormat yang jelas sekali harus selalu dijaga agar jangan sampai tercoreng oleh setitik noda.

Kemarin, suaminya menemui sang ayah. Entah apa yang mereka bicarakan, tapi Vanny yakin Ivan tahu dan telah menimbang apa yang ia lakukan. Vanny mempercayai Ivan, suaminya.

•••••

Langit malam nampak kelabu tanpa hiasan bintang-bintang. Vanny berdiri di balkon kamar Ivan sambil menikmati semilir angin malam yang berembus sepoi.

Tatapannya kosong. Ingatannya tertarik pada memori di mana Nina masih begitu memperlakukannya bak seorang anak kandung. Begitu penuh kasih sayang. Dan Vanny sangat merindukan semua momen itu.

Entah bagaimana bisa, hubungan keduanya kini bak minyak dan air. Berselisih bahu pun, seumpama dua orang asing. Jangankan saling bertegur sapa, berbalas senyum pun tidak. Begitu miris.

Semuanya terbongkar sudah. Alasan kalimat menusuk hati yang tempo lalu dilontarkan Nina, merupakan luapan atas kekesalan yang membalut rasa cemburu wanita itu terhadap almarhumah istri pertama Aiwin selama ini. Cemburu akibat rasa cinta Aiwin yang ternyata masih berat kepada ibu kandung Vanny, ketimbang dirinya yang masih bernapas dan setia berdiri di sisi pria tersebut.

Selama ini, ternyata sifat baik Nina tidak sepenuhnya tulus. Wanita itu benar-benar berhasil mengelabui Vanny. Karena pada dasarnya, Nina sudah Vanny anggap seperti ibu kandung sendiri. Sayangnya, pemikiran Vanny itu tidak sejalan dengan Nina.

Kematian Via akibat frustrasi akan bayi yang ia kandung tidak memiliki ayah, membuat Nina semakin menggila. Rasa dengki terhadap Vanny yang bisa memiliki semuanya mulai bermunculan ke permukaan. Mungkin karena raaa yang belum pulih 100%.

Diari yang dikatakan oleh Aiwin pun, buatan Nina semata. Benar-benar fitnah yang tidak disangka Vanny akan datang ke kehidupannya. Semuanya masih terasa seperti mimpi. Diam-diam, orang terdekatnya mencoba menusuk Vanny dari belakang. Menghancurkan kehidupan indah yang baru saja perempuan itu bangun.

Yang tidak Vanny ketahui, ia merupakan pewaris dari DJ Group. Hal itu lah yang membuat Nina mendekatinya. Mencoba menaklukkan si pemilik kunci harta karun.

Padahal, Vanny sama sekali tidak berminat menggantikan posisi sang ayah di perusahaan. Ia juga tidak memiliki passion di bidang yang tengah ayahnya geluti. Dan orang lain tanpa mencaritahu terlebih dahulu mulai merancang rencana licik untuk Vanny. Menyusun strategi yang akan membuat Vanny merasa berat memimpin perusahaan dengan berakhir menyerahkan kepemimpinan kepada Nina, selaku istri sah dari Aiwin. Awal hingga akhir, telah terbayang di pikiran.

Sayangnya, mereka lupa siapa suami dari Vanny.

••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Ada yang nungguin?

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 30 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang