Twenty Two

245 24 0
                                    

Kicau burung yang saling bersahutan, juga semilir angin yang berembus sepoi menambah syahdu suasana pagi hari itu. Secangkir teh hangat menemani Vanny mengawali hari. Bersantai sejenak di taman belakang, sebelum nanti memulai aktivitas yang menguras tenaga dan pikiran. Sebagiannya lagi, jelas menguras kesabaran yang terus menerus diberikan ujian ketegaran hati.

Masih segar dalam ingatan, setiap kalimat yang terlontar dari bibir sang ayah semalam. Menyesakkan, namun Vanny seolah tak memiliki tenaga lagi untuk meluapkan amarah pada dunia. Pada alur hidup yang benar-benar ahli dalam membangun panggung drama. Menyusun skenario dengan begitu apiknya. Sampai-sampai, sekarang Vanny merasa terbodohi.

Lebih dari itu semua, ia merasa benar-benar menjadi beban juga aib. Jika rahasia itu benar adanya, tidak ada alasan kuat yang membuat dirinya selama ini disembunyikan. Alasan yang ayahnya katakan semalam, benar-benar tidak bisa diterima logika Vanny. Semuanya terdengar konyol.

Mungkinkah itu alasan kenapa selama ini Nina bersikap amat baik terhadapnya? Ataukah memang dari dulu seperti itu?

Vanny sama sekali tidak tahu jawaban atas pertanyaan-pertanyaan yang berkeliaran di kepalanya. Tidak pula menemukan pintu yang di dalamnya terdapat jawaban. Hatinya juga tidak ingin berperasangka yang kemudian jatuh pada fitnah.

Matanya yang memerah, mulai berembun. Gumpalan air di pelupuk mata siap tumpah kapan saja. Sekuat apa pun dirinya, rasa kecewa atas keputusan sepihak sang ayah benar-benar tidak bisa ia terima.

Jika selama ini dia diam, itu karena dia merasa kalau memang dia tidak layak dipublikasikan sebagai keturunan Dhananjaya. Karena ibunya yang meninggal, barangkali. Meski itu pun masih terdengar konyol. Namun, tidak lebih konyol dari alasan ayahnya yang menyembunyikan identitas Vanny hanya karena tidak ingin orang-orang berspekulasi miring terhadapnya. Bukankah dengan identitas dirinya yang sekarang baru terkuak, akan memancing berita miring seputar keluarga Dhananjaya?

"Hei!" Sebuah tangan menepuk pahanya pelan, sebelum si empunya tangan duduk tepat di samping Vanny. "Pagi-pagi malah ngelamun," celetuk orang tersebut yang tidak lain ialah Ivan. Satu-satunya orang yang mengerti kondisi hati Vanny. Setidaknya, untuk saat ini.

Vanny menoleh sekilas, sebelum kembali melempar pandang ke depan. Menatap hamparan bunga mawar putih yang sengaja ia tanam di halaman belakang. "Nggak kerja?" tanya Vanny kemudian.

"Ada yang lebih penting daripada pekerjaan," jawab Ivan seraya menarik pelan kepala Vanny untuk disandarkan ke bahunya. "Nangis aja kalo emang mau nangis. Jangan ditahan," bisiknya kemudian.

"Siapa juga yang mau nangis?" Itu hanyalah sebuah kalimat dusta yang berasal dari bibir Vanny. Karena sedetik setelahnya, isak perlahan keluar. Begitu menyayat hati siapa pun yang mendengarnya.

"Sstt …." Ivan beralih memeluk Vanny. Mengusap punggung sang istri yang bergetar.

"Kenapa? Kenapa Papa nyembunyiin ini semua dari aku? Kenapa?" Perlahan, racauan bercampur isak meluncur oleh lisannya. Bak menorehkan pisau pada tubuh, begitu perih kala didengar rungu.

Ivan tidak bisa terlalu jauh menanggapi perihal masalah yang terjadi di keluarga sang istri, selain menjadi penenang di saat istrinya mulai memberontak.

Dan akhir dari racauan Vanny ialah embusan napas teratur, seperti semalam, saat mereka pulang dari kediaman Dhananjaya. Ketika luapan emosi yang ditahan pecah bersamaan  derai air mata.

Wajar saja, jika kepercayaan diri Vanny amat minim. Mungkin itu faktor dari keluarga yang seolah membuang dirinya. Menanggalkan marga pada nama yang disematkan dengan penuh pengharapan secara tersirat. Membuat sang anak merasa tidak diinginkan. Sikap yang tanpa disadari, menyenggol mental si anak.

•••••

"Semuanya bermula saat Via hampir tertabrak sebuah truck. Mamamu yang saat itu sadar lebih dulu, tanpa pikir panjang berusaha menyelamatkan Via. Sayangnya, yang terjadi malah ia terjatuh di tengah jalan dan semuanya terjadi." Aiwin mengembuskan napas berat. Matanya sudah memerah. Terlihat jelas sorot kesedihan di manik mata pria paruh baya tersebut.

Di tempatnya, tubuh Via menegang. Segenap rasa sesal menyerang benaknya tanpa ampun. "Maksud Papa?"

"Setelah kecelakaan itu, Mama Vanny koma sekitar hampir satu bulan." Nina membantu Aiwin menjawab, melihat kesedihan yang berusaha pria itu tutupi.

Vanny menoleh ke samping kanannya. Menatap Ivan yang tengah menggenggam jemarinya. "Tapi, kata Papa--"

"Saat mamamu sadar, ia ingin jantungnya didonorkan ke Bunda. Saat itu, jantung Bunda memang bermasalah."

Bagai dihantam beribu jarum, baik Vanny maupun Via merasakan kesedihan meski berbeda alasan. Sama-sama tenggelam ke dalam kubangan masa lalu yang menyesakkan. Waktu seolah berhenti, dengan tega membiarkan mereka bak tersayat oleh mata pisau nan tajam.

"Kamu tau sendiri, dari kecil publik tidak mengetahui, jika Papa memiliki anak dari istri pertama Papa. Semuanya karena kamu sudah tinggal bersama nenekmu di Bandung sejak kecil. Terlebih, kelahiranmu pun tidak tercium oleh publik, karena mamamu yang tidak ingin publik heboh." Aiwin kembali membuka suara. Mau tidak mau menarik perhatian Vanny. Membuat perempuan itu fokus menatap sang ayah. Ingin mendengar penjelasan lebih jauh lagi.

"Berbeda dengan pernikahan sampai kelahiran Via yang selalu disorot publik dan menjadi perbincangan hangat hampir setiap saat." Aiwin menghela napas pelan. Menatap putri sulungnya lekat. "Papa hanya ingin menjaga kamu agar tidak dikomentari publik dengan hal-hal negatif--"

"Bukannya dengan publik yang baru mengetahui belakangan, jika Vanny adalah anak Papa bisa membuat mereka lebih berkomentar miring?" Tanpa sadar, Vanny menyela. Menatap lekat sang ayah.

"Kamu tidak tahu--"

"Dan memang dari dulu Vanny sama sekali tidak tahu apa-apa. Ada tapi seolah tidak ada." Vanny beranjak berdiri dari duduknya.

"Sayang," panggil Nina mencoba menenangkan anak tirinya.

"Bahkan rahasia sebesar ini Vanny baru Papa kasih tahu sekarang! Sebegitu tidak pentingnya, Vanny di mata Papa?!"

"Van!" Ivan berdiri, memegang bahu Vanny yang ekspresi wajahnya mengeras. Perempuan itu tengah menahan emosi.

"Papa nggak tahu, bagaimana Vanny selama ini menjalani hidup! Papa nggak tau! Mandiri salah satu kedok Vanny untuk menyembunyikan luka yang Papa berikan, sekaligus tetap menjaga nama baik Papa!" Dada Vanny naik turun. Napasnya tersengal. Emosi sudah menguasai perempuan itu.

"Jaga bicara kamu, Vanny!" Aiwin mengangkat pandangan. Menatap nyalang sang anak. Seperti waktu-waktu lalu, saat keduanya mulai tidak satu jalan pikiran.

"Vanny memang tidak sesempurna Via, tapi Vanny tetap anak Papa! Anak kandung Papa!" Menarik napas panjang, Vanny berusaha mengontrol sedikit emosinya. "Maaf, Vanny pamit." Setelahnya, perempuan itu melenggang yang kemudian disusul Ivan.

Bak kaca yang dilempar batu, hati Vanny kala malam itu berderai. Tebarkan serpihan yang melukai jantung. Begitu tidak berdaya, tapi bumi tetap harus ia pijak. Sekalipun badai besar menerpa jalannya.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Mohon maaf jika seringnya double up. Kondisi author lagi kurang baik.
Kemarin, sakit author kambuh lagi, dan membuat author terpaksa harus diinfus meski dari rumah.

Mohon do'anya😌

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 24 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang