Eleven

247 31 0
                                    

"Maunya kamu sekarang gimana?" Ivan menyodorkan segelas air putih kepada Vanny.

Usai menegak air, Vanny terdiam dengan tangan memegang gelas tadi di pangkuannya. Netranya memandang lurus ke depan dengan tatapan kosong. Pergulatan sedang berlangsung di dalam dirinya. "I don't know," lirihnya kemudian.

"Aku baru tahu, kalau Q Boutique itu milik almarhumah mama." Ivan menyandarkan punggung ke sandaran sofa. "Yaa, kalau aku pribadi juga ngerasa sayang banget, butik sebagus itu dianggurin." Setelah mengatakan itu, dialihkannya tatapan ke arah Vanny. Menatap sang istri yang juga tengah menatapnya.

"Kamu mau bilang kalau aku salah, ya?" Mata Vanny kembali berkaca-kaca.

"Bukan begitu, Van." Ivan menegakkan tubuh. Meraih jemari Vanny untuk ia genggam. "Gini, deh. Kamu nggak mau ngurus butik itu, yang akhirnya pasti bikin mendiang mama sedih, karena usaha yang ia rintis terpaksa gulung tikar bukan karena bangkrut, tapi karena tidak ada penerus. Di sisi lain, papa berinisiatif buat meminta Via yang mengurusnya. Papa juga pasti udah memikirkan hal ini matang-matang. Lagipun, Via lebih paham tentang dunia fashion dibanding kamu."

Sedetik kemudian, Ivan menyesal telah mengucapkan kalimat terakhirnya. Ia tidak menyangka, jika kalimat tersebut dapat membuat endapan emosi di relung jiwa Vanny meledak tidak terkendali.

Brak!

Pintu ruangan Ivan ditutup kencang, setelah sebuah amukan diterima laki-laki itu.

"Van!" seru Ivan sembari bangkit dari duduknya. Menyusul sang istri yang sayangnya sudah memasuki lift.

•••••

Air mata terus mengalir sejak Vanny masuk ke dalam sebuah taksi yang ia berhentikan tidak jauh dari kantor sang suami. Isak nan sarat akan pilu turut meluncur dari bibirnya yang bergetar. Ego perempuan itu benar-benar terluka. Baik ayah maupun suaminya sama sekali seolah tidak bisa memahami perasaan Vanny.

Beberapa kali si sopir taksi melirik lewat cermin tengah mobil. Merasa iba kepada penumpangnya yang nampak tengah menanggung sebuah beban berat. Ingin bertanya ke mana tujuan perempuan di jok belakang pun, si sopir menjadi sungkan. Alhasil, dibawanya berputar-putar Vanny sambil menunggu tangis perempuan itu mereda.

Ponsel di tangan Vanny beberapa kali berdering. Tanpa dilihat lagi pun, Vanny sudah tahu siapa si penelepon.

Entah sudah berapa lama ia menangis di dalam taksi, yang jelas hari sudah berganti malam saat si sopir taksi memberhentikan mobil di depan sebuah warung makan.

"Maaf, Mbak. Hm, ini tujuan Mbak sebenarnya ke mana, ya?"

"Ha?" Vanny berjengit. Netranya bergerak liar sebelum mengembuskan pelan napas. Vanny lantas menyebutkan alamat rumahnya kepada si sopir taksi.

Si sopir izin membelikan keluarganya makanan terlebih dahulu yang dipersilakan oleh Vanny begitu saja.

Sampai si sopir taksi kembali ke dalam mobil usai membeli makanan, Vanny terus menjadikannya pusat perhatian. Seketika, ingatannya tertarik pada sosok sang ayah.

Lagi, air matanya mengalir dalam diam. Ia rindu, tapi tembok yang terbangun di antara keduanya seolah begitu tinggi dan kokoh untuk dihancurkan begitu saja.

Dari dulu, hubungannya dengan sang ayah memang tidak terlalu rapat. Namun, tidak juga serenggang saat ini. Vanny tidak ingin menyalahkan penuh sang ayah atas apa yang telah terjadi. Tentang poligami yang ayahnya lakukan setahun pasca menikahi sang ibu. Namun, ini lah yang ia rasakan. Sebuah rindu bercampur iri.

•••••

"Vanny!" Baru saja selangkah Vanny menapaki lantai rumah, seruan dari seseorang yang sudah cukup lama berbagi atap dan selimut dengannya terdengar.

Kondisi Vanny tidak bisa dibilang baik-baik saja. Mata sembab dengan wajah kusam, rambut yang lepek, pun pakaian yang kusut. Ia kacau. Memprihatinkan.

"Di dalam ada Papa, Bunda, sama Via," ujar Ivan memberitahu.

Langkah kaki Vanny mendadak berhenti. Tubuhnya memaku begitu mendengar siapa tamu yang bertandang ke kediaman mereka malam ini.

"Vanny!"

Belum sempat Vanny membuka mulut untuk bersuara, sebuah suara membungkam mulutnya kembali.

"Astaga! Kamu kacau sekali, Vanny!" Nina memekik histeris, saat melihat keadaan anak tirinya. "Kamu jangan pikirin soal permintaan papamu, ya? Bunda juga nggak setuju, kok." Tidak mau Vanny berspekulasi macam-macam, Nina segera angkat suara kembali.

"Vanny nggak apa-apa kok, Bun." Sebisa mungkin, Vanny menyunggingkan senyuman. "Dan untuk butik almarhumah mama, Vanny serahin ke papa sepenuhnya." Usai mengatakan itu, Vanny melenggang masuk ke dalam rumah. Mood-nya sedang tidak dalam baik mode on. Yang ada, pertengkaran kembali terjadi nantinya.

Tidak jauh dari mereka, Aiwin berdiri diam menatap sang anak yang benar-benar mirip mendiang istrinya. Hanya sifat keras kepalanya saja yang menurun dari Aiwin. Sedetik, netra keduanya beradu pandang. "Apa aku sudah salah mendidiknya?" gumamnya pelan. Seolah-olah, ibu kandung Vanny tengah berdiri di sampingnya. Ikut memperhatikan gerak-gerik anak mereka.

"Biar Ivan yang bicara nanti sama Vanny. Bunda dan Papa nggak usah khawatir, ya?"

•••••

 "Via?"

Mungkin karena kelelahan menangis kemarin, Vanny jadi bangun kesiangan. Bahkan, Ivan sudah berangkat kerja sebelum ia bangun.

Setelah membersihkan diri, niat hati ingin jalan-jalan pagi sembari mencari sarapan. Namun, ketika membuka pintu utama, wajah Via ia temukan. Tengah menatapnya lekat dengan tatapan yang sulit Vanny artikan.

 "Gue mau bicara sama lo," kata Via yang kemudian menyelonong masuk ke dalam rumah.

"Eh?!"

"Lo kira gue mau ngurus butik kuno milik mama lo itu? Nggak! Tapi, karena gue termasuk anak yang berbakti kepada orangtuanya, nggak kayak lo, jadi gue mau nggak mau nurutin apa kata papa." Baru saja Vanny ingin turut duduk di sofa seberang Via, perempuan berstatus adik tirinya itu sudah buka suara. Membuka obrolan pagi mereka yang mungkin akan sedikit panas.

"Lo mau bilang, kalau gue anak durhaka, iya?" Kening Vanny menunjukkan lipatan-lipatan kecil dengan sorot menajam. Akibat pembicaraan kemarin, perasaannya menjadi sangat sensitif.

"Kenyataannya memang begitu, 'kan?" Sebelah alis Via terangkat. Senyum penuh keangkuhan tersungging di bibirnya. "Gue yakin, kalau mama lo pasti nyesel udah ngelahirin anak nggak guna kayak lo." Dengan tanpa merasa iba atau bersalah, Via mencemooh Vanny.

"Jaga bicara lo, Via!" Kedua tangan Vanny mengepal di kedua sisi tubuhnya. Kedatangan Via benar-benar menguji emosi Vanny. Padahal, setelah semalam ia sangat berharap agar perempuan di depannya ini tidak kembali memunculkan wujud di depan Vanny. Sayang, itu semua hanya tinggal sebatas harapan semu.

Dan seperti yang sudah Vanny perkirakan saat pertama kali melihat kedatangan Via, peretemuan mereka pagi itu diakhiri dengan pertikaian.  Jika saja Davina tidak memiliki niat bertandang ke rumah Vanny pagi itu, mungkin salah satu di antara mereka sudah masuk ke rumah sakit.

•••••~WhiteRose~•••••

Up Up Up

Author up awal, nih😋

Jangan lupa vote dan komen, yaaa readers sekalian😉

Salam hangat,
RosIta

KalBar, 12 Nov 2020

White Rose (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang